Selama tiga tahun ini, Hilda Mahira selalu merasa tertekan oleh ibu mertuanya dengan desakan harus segera memiliki anak. Jika tidak segera hamil, maka ia harus menerima begitu saja suaminya untuk menikah lagi dan memiliki keturunan.
Dimas sebagai suami Hilda tentunya juga keberatan dengan saran sang ibu karena ia begitu mencintai istrinya.
Namun seiring berjalannya waktu, Ia dipertemukan lagi dengan seorang wanita yang pernah menjadi kekasihnya dulu. Dan kini wanita itu menjadi sekretaris pribadinya.
Cinta Lama Bersemi Kembali. Begitu lebih tepatnya. Karena diam diam, Dimas mulai menjalin hubungan lagi dengan Novia mantan kekasihnya. Bahkan hubungan mereka sudah melampaui batas.
Disaat semua permasalahan terjadi, rahim Hilda justru mulai tumbuh sebuah kehidupan. Bersamaan dengan itu juga, Novia juga tengah mengandung anak Dimas.
Senang bercampur sedih. Apa yang akan terjadi di kehidupan Hilda selanjutnya?
Yuk ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reuni
Malam pun tiba. Dimas pulang seperti biasa, dengan alasan lebur ia selalu sampai rumah lewat jam 09.00 malam. Dan selama itu pula Hilda setia untuk menunggu kepulangan suaminya tersebut.
"Lembur lagi Mas?."
"Iya."
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?."
"Tanya apa?."
"Kenapa tadi siang Mas menyuruh Novia ke rumah untuk mengambil berkas?."
"Ya karena berkas itu memang ketinggalan. Dan aku butuh mendesak untuk meeting."
"Kenapa Mas tidak menelponku saja? biasanya kan jika ada berkas ketinggalan, aku yang selalu mengantarkannya ke kantor."
"Permasalahannya beda Hilda.. Siang tadi, posisinya tuh aku sudah ada di lokasi meeting. Kalau aku menelponmu Untuk mengantarkan berkas itu, kamu pasti akan kebingungan mencari lokasinya. Kalau Novia kan dia sudah tahu lokasi meetingnya di mana, Jadi bisa cepat sampai."
"Tapi kamu kan bisa kasih tahu aku dimana tempatnya?."
"Ah, tempatnya itu ribet. Lagi pula kamu juga belum pernah ke sana. Pasti susah nyari alamatnya."
"Memangnya di mana sih Mas tempatnya? sepertinya rahasia banget sampai aku nggak boleh tahu?."
"Bukan rahasia, tapi..."
"Tapi apa.? Tapi kamu takut kan kalau aku ganggu waktu kalian berdua?."
"Apa maksut kamu?."
"Kenapa kamu tidak bilang kalau Novia adalah mantan pacarmu dulu?."
Deg
"Dari mana kamu tahu?."
"Itu tidak penting Mas. Yang harus kamu jawab adalah, kenapa kamu gak bilang soal Novia?."
"Maaf sayang. Tapi aku nggak mau buat kamu khawatir dan curiga."
"Hh.. Justru dengan kamu tidak bercerita, itu malah menimbulkan kecurigaan bagiku Mas."
"Apa yang perlu kau curigai? Novia adalah masa laluku."
"Dan karena dia masa lalumu. Makanya aku mempermasalahkan itu. Dengan bertemunya kalian setiap hari, bukankah tidak menutup kemungkinan jika cinta kalian akan bersemi kembali?."
"Pikiranmu terlalu berlebihan." Seru Dimas sembari masuk ke kamar mandi, meninggalkan Hilda yang masih memendam emosi.
****************
Semenjak pertengkaran malam itu, sikap Dimas menjadi berubah. Bukannya semakin menyayangi dan memanjakan Hilda, ia justru mendiamkan istrinya.
Jika biasanya Dimas mengenakan baju kantor yang di persiapkan Hilda, ia selalu mengambil sendiri baju yang di kehendakinya.
Masakan yang selalu dihidangkan oleh Hilda, suka itu Dimas tak pernah menyentuhnya, apalagi untuk memakannya.
Jangan tanyakan Bagaimana sikap Ibu Mayang, wanita paruh baya itu pastinya mendukung 100% keputusan putranya. Hilda benar-benar merasa seperti orang asing di rumah itu.
Saat Dimas hendak masuk ke dalam mobil, Hilda menghadangnya dengan cepat.
"Ada apa? Aku buru-buru."
"Mas Bolehkah aku ikut acara reuni sekolah nanti sore?."
"Terserah kamu!."
"Kalau begitu, Bisakah kamu menemaniku datang ke acara itu?."
"Tidak bisa, aku sibuk! Pergilah sendiri."
"Baiklah." Sahut Hilda dengan wajah lesu. Angan-angan memperbaiki hubungan dengan Sang suami akhirnya gagal. Ia pun menelpon sahabat lamanya, mengajak untuk datang bersama ke acara reuni tersebut.
Sore pun tiba. Hilda yang sudah selesai berdandan segera keluar rumah. Dengan santai, Ia menyusuri jalanan berapal dengan sedikit bersenandung kecil menuju ke perempatan jalan raya dimana tempat ia dan sahabatnya janjian.
Sebenarnya sang sahabat ingin menjemput hingga ke rumah, namun Hilda menolak. Karena ia malas saja menjawab semua pertanyaan kepo dari mertuanya yang nanti pasti akan berjuang penghinaan terhadap dirinya.
"Udah dari tadi?." Tanya Reva sahabat Hilda saat SMA.
"Gak kok. Baru saja sampai."
"Berangkat sekarang?."
"Okey."
Reva adalah sahabat Hilda sejak SMA. Bisa dibilang, Reva terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Saat masih zaman sekolah, Reva seringkali ingin membantu Hilda dalam masalah ekonomi terutama, tapi seringkali juga Hilda menolak. Prinsip wanita ini tidak ingin merepotkan orang lain meskipun itu sahabatnya sendiri.
"Hilda, aku cuma di Indo seminggu nih, ntar temenin jalan-jalan ya?."
"Kemana?."
"Ke mana aja yang penting happy."
"Ya udah nanti aku izin sama suamiku dulu ya."
"Kalau nggak boleh, ntar aku culik aja kamunya, biar bisa nemenin aku."
"Hye... dasar!."
Sesampainya lokasi reuni, Reva dan Hilda turun dari mobil dan berjalan santai menuju pintu masuk ruang serbaguna. Namun baru beberapa langkah memasuki pintu, kepala Hilda tiba-tiba terasa pusing.
"Hilda kamu kenapa?."
"Gak tahu nih, tiba-tiba kepalaku pusing banget."
"Pusing banget ya? Apa lebih baik kita balik keluar dan ke rumah sakit aja?."
"Eh jangan dong! ini kan reuni kita. Lagi pula kan kamu pengen banget datang ke acara ini."
"Iya sih, tapi kesehatan kamu tuh lebih penting Beb.."
"Tenang aja, aku nggak papa kok. Ayo kita masuk."
"Yakin?."
"Hhmm.."
Akhirnya Reva dan Hilda pun melanjutkan langkah mereka memasuki ruangan serbaguna yang disewa untuk acara reuni tersebut. Acara yang begitu mewah dan sangat meriah. Banyak sekali yang membawa pasangan masing-masing. Bahkan juga ada yang sudah membawa anak.
Ah sungguh romantis, melihat sepasang suami istri sedang menggandeng tangan putri kecilnya, benar-benar keluarga yang harmonis. Kira-kira kapan ya aku bisa seperti itu? Batin Hilda.
"Dorrrr!!! Melamun terus, ntar kesambet baru tahu rasa lu."
"Apaan sih? Siapa juga yang melamun."
"Ngeles aja! mukamu tuh nggak pantas kalau buat bohong."
"Masak sih?."
"Butuh cermin buat ngaca Bu?."
"Nggak perlu, mau ngaca seribu kali juga muka aku tetep kayak gini aja."
"Lagi pula ngelamunin apa sih? Udah punya suami ganteng, kaya, baik, sayang pula sama kamu. Apalagi yang dipikirin?."
"Anak." Jawab Hilda spontan.
"Anak? maksutnya?." Reva mengerutkan keningnya.
"Oh, bukan apa apa. Maksut aku, anak itu (sambil menunjuk anak perempuan yang tadi dia lihat), ya anak itu cantik dan lucu sekali ya" sahut Hilda mengalihkan perhatian.
"Kamu lagi tertekan ya? Atau kamu lagi dituntut untuk memiliki anak?" tanya Reva yang langsung mengerti keadaan sahabatnya.
"Aku.."
"Siapa yang menuntut memiliki anak? suami kamu?."
"Mertua aku."
"Jangan terlalu kamu pikirkan, kamu bisa Stress nanti. Kalau kamu stres, itu justru bisa menghambat kehamilan kamu. Kamu harus happy. Buat suasana hatimu bahagia. Okey?."
Hilda hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Satu sisi, ia ingin sekali bercerita kepada sahabatnya demi mengurangi beban yang sedang ia pikul. Tapi di sisi lain, ia tak sanggup menceritakan masalahnya pada orang lain. Ia malu karena sebagai wanita belum bisa membahagiakan suami dan mertua karena ia belum sempurna sebagai seorang wanita.
Tak ingin larut dalam kegalauan, Hilda pun mengajak Reva untuk berbaur dengan teman-teman lain. Saling tertawa dan bersenda gurau, saling bertukar pengalaman, juga saling bertukar nomor telepon dan alamat.
Saat mereka sedang asyik mengobrol, datanglah seorang wanita dengan gaun yang mewah. Rambut yang tergerai dan menjuntai pun menambah kesan anggun pada wanita tersebut. Semua mata menatapnya kagum.
Tapi tidak dengan Hilda. Ia justru menatap wanita itu penuh amarah. Apalagi saat melihat wanita itu tengah menggandeng seorang laki-laki yang sangat familiar baginya. Bukan hanya familiar, bahkan Hilda sangat mengenal siapa laki-laki itu.
Tangannya terkepal erat dan..
.
.
.