Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Di Bawah Kabut Merapi
Villa keluarga Adhitama di Kaliurang berdiri seperti raksasa yang tertidur di tengah hutan pinus. Bangunan bergaya kolonial Belanda itu memiliki dinding batu kali yang kokoh, jendela-jendela tinggi berteralis besi, dan cerobong asap yang sudah lama tidak mengepulkan asap.
Bara memarkir mobil di halaman berumput yang basah. Begitu mesin dimatikan, suara alam langsung mengambil alih: desau angin yang menerpa daun pinus, rintik hujan yang menimpa atap seng, dan nyanyian serangga malam.
"Turun," kata Bara pelan, suaranya terdengar sangat lelah.
Kaluna membuka pintu mobil. Udara dingin pegunungan langsung menusuk tulang, membuatnya menggigil seketika meski sudah memakai jaket. Kabut tebal menyelimuti pekarangan, membuat jarak pandang tak lebih dari lima meter.
Bara mengeluarkan koper-koper mereka dari bagasi, lalu berjalan menaiki undakan teras batu. Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci kuno berukuran besar yang terbuat dari kuningan.
Klik. Kreeeek.
Pintu kayu jati yang berat itu terbuka dengan derit panjang, seolah memprotes karena dibangunkan dari tidur panjangnya.
Bara meraba dinding, mencari sakelar lampu.
Klik.
Lampu gantung kristal di ruang tengah menyala redup, memancarkan cahaya kuning yang hangat namun suram. Ruangan itu besar dan berbau apek—aroma khas rumah tua yang jarang dihuni, campuran debu, kayu tua, dan lembap. Perabotan ditutupi kain putih, menciptakan kesan hantu yang sendu.
"Penjaga villa seharusnya membersihkan ini seminggu sekali," gumam Bara sambil menarik kain penutup sofa dengan kasar, menerbangkan debu ke udara. "Tapi sepertinya Pak Man malas naik ke atas."
Kaluna masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya untuk menghalau angin malam. Matanya menyapu ruangan itu. Tidak banyak yang berubah. Lukisan pemandangan Gunung Merapi masih tergantung di atas perapian. Kursi goyang rotan masih ada di sudut.
Tempat ini penuh memori. Di sofa itulah dulu Bara pernah memetik gitar sambil menyanyikan lagu tidur untuk Kaluna. Di karpet tebal itulah mereka pernah bermain monopoli semalaman sambil tertawa-tawa.
"Kamar tidur ada di lantai atas," kata Bara, membuyarkan lamunan Kaluna. "Pilih saja mau kamar yang mana. Aku ambil kamar ujung dekat balkon."
"Oke," jawab Kaluna canggung.
Bara meletakkan koper di dekat tangga, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa yang baru saja dibukanya. Ia menyandarkan kepala, memejamkan mata, dan memijat pelipisnya. Perjalanan delapan jam menyetir sendiri jelas menguras tenaganya.
Kaluna berdiri ragu. Ia ingin naik ke kamar, tapi melihat Bara yang kelelahan membuatnya tidak tega.
"Bara?" panggil Kaluna pelan.
"Hm?" Bara bergumam tanpa membuka mata.
"Kamu lapar?"
Satu mata Bara terbuka. Ia menatap Kaluna. "Sedikit. Tapi jam segini di Kaliurang nggak ada GoFood, Kaluna. Warung sate kelinci di depan juga pasti sudah tutup."
"Di dapur ada bahan makanan?" tanya Kaluna. "Dulu Eyangmu selalu stok mie instan di lemari bawah tangga."
Bara menegakkan duduknya. "Entahlah. Coba cek."
Kaluna berjalan menuju dapur di bagian belakang rumah. Dapur itu bergaya vintage dengan ubin tegel motif kunci dan lemari kayu jati yang dicat hijau pupus. Kaluna membuka lemari bawah tangga.
Benar saja. Ada satu kardus Indomie Goreng dan beberapa kaleng sarden.
"Ada mie instan!" seru Kaluna dari dapur. "Dan ada telur di kulkas, meski entah masih bagus atau tidak."
Bara muncul di ambang pintu dapur, melipat tangan di dada. "Tes rendam di air. Kalau tenggelam berarti masih bagus."
Kaluna melakukan tes itu. Telurnya tenggelam. Aman.
"Mau aku buatkan?" tawar Kaluna.
Bara terdiam sejenak, menatap punggung Kaluna yang sibuk mencari panci. Pemandangan ini... terasa begitu domestik. Begitu menyakitkan karena terasa sangat benar.
"Boleh," jawab Bara singkat. "Aku nyalakan perapian dulu. Udaranya dingin sekali."
Dua puluh menit kemudian, aroma mie goreng bercampur bawang goreng menguar di ruang tengah, mengalahkan bau apek rumah tua.
Bara sudah berhasil menyalakan perapian. Api menari-nari di balik jeruji besi, menghangatkan ruangan yang beku.
Kaluna datang membawa nampan berisi dua piring mie goreng dengan telur mata sapi setengah matang—persis seperti selera Bara—dan dua gelas teh manis hangat.
Bara duduk di karpet tebal di depan perapian, kakinya diluruskan. Ia sudah melepas jaket denimnya, menyisakan kaos hitam yang membungkus tubuh tegapnya.
"Makan di sini aja ya," kata Kaluna, meletakkan nampan di atas meja kopi rendah. "Meja makannya kotor banget."
Bara mengangguk. Ia mengambil piringnya. Uap panas mengepul. Tanpa basa-basi, ia menyuapkan mie itu ke mulutnya.
Kaluna memperhatikannya dengan was-was. "Gimana? Keasinan?"
Bara mengunyah perlahan, lalu menelan. Ia menatap Kaluna. "Pas. Telurnya juga pas. Kuningnya masih cair."
Kaluna tersenyum lega. Ia mengambil piringnya sendiri dan duduk di sisi lain meja kopi, menjaga jarak aman sekitar satu meter dari Bara.
Mereka makan dalam diam, hanya ditemani suara kayu bakar yang meletup-letup dan hujan yang semakin deras di luar. Namun, kali ini keheningannya tidak terasa berat. Mungkin karena efek perut kenyang, atau karena kehangatan api, ketegangan di antara mereka sedikit mencair.
"Kamu masih ingat cara nyalain perapian itu," komentar Kaluna, memecah sunyi.
Bara menatap api. "Aku belajar banyak hal lima tahun ini, Kal. Termasuk cara bertahan hidup sendirian di rumah sebesar ini."
Kaluna meletakkan garpunya. Kalimat itu terdengar menyedihkan.
"Maaf soal tadi siang," ucap Kaluna tiba-tiba. "Soal aku marah-marah di mobil tentang desain Emas dan Marun. Aku... aku nggak tahu kalau kamu punya rencana cari pengrajin lokal."
Bara menoleh, menatap Kaluna lekat. Cahaya api memantul di mata cokelatnya, membuatnya terlihat lebih lembut.
"Kamu selalu begitu, Kaluna," ujar Bara pelan. "Selalu cepat mengambil kesimpulan. Cepat marah. Dan cepat lari."
Kaluna menunduk, menatap mie gorengnya yang tinggal setengah. "Aku lari karena aku pikir itu satu-satunya jalan keluar, Bar."
"Jalan keluar buat siapa? Buat aku? Atau buat rasa bersalahmu?"
Pertanyaan itu menohok. Kaluna tidak menjawab.
Bara menghela napas, meletakkan piringnya yang sudah bersih. Ia memutar tubuhnya sedikit menghadap Kaluna.
"Soal desain itu," kata Bara, nadanya berubah serius tapi tidak bermusuhan. "Aku tidak mau berbohong. Siska memang menekanku. Keluarganya memegang 40% saham proyek ini. Kalau aku menolak permintaannya, dana akan ditarik. Proyek berhenti. Kamu, timmu, ratusan tukang di lapangan... semua akan kehilangan pekerjaan."
Mata Kaluna membelalak. "Bara... kenapa kamu nggak bilang?"
"Karena aku tahu kamu," jawab Bara, senyum tipis yang pahit muncul di bibirnya. "Kalau kamu tahu Siska mengancamku, kamu akan melakukan hal bodoh. Kamu akan melabraknya, atau kamu akan mundur dari proyek supaya aku tidak perlu repot. Dan aku tidak mau itu terjadi."
"Kamu melindungiku?" tanya Kaluna lirih.
"Aku melindungi investasiku," elak Bara cepat, kembali gengsi. "Kamu arsitek terbaik yang aku punya. Mencari penggantimu di tengah jalan akan membuang waktu."
Kaluna tahu itu bohong. Atau setidaknya, bukan seluruh kebenarannya. Bara melakukan ini karena dia masih peduli.
"Terima kasih," ucap Kaluna tulus. "Dan maaf aku bilang kamu menjual jiwamu. Aku tarik ucapan itu."
Bara terkekeh pelan. Tawa yang asli, bukan tawa sinis. Suara tawa itu membuat hati Kaluna berdesir.
"Terlambat. Hatiku sudah terluka parah," canda Bara sarkas, tapi matanya tersenyum.
Suasana menjadi hening lagi, tapi kali ini hening yang nyaman. Kaluna memberanikan diri menatap Bara lebih lama. Dalam cahaya temaram api unggun, Bara terlihat lebih manusiawi. Garis-garis keras di wajahnya melunak.
"Kamu capek banget ya, Bar?" tanya Kaluna impulsif.
Bara menyandarkan punggungnya ke sofa di belakangnya, merentangkan kaki panjangnya. "Menjadi CEO itu melelahkan, Kal. Setiap keputusan yang aku ambil mempengaruhi nasib ribuan karyawan. Kadang aku kangen jadi mahasiswa yang cuma pusing mikirin tugas besar studio."
"Atau pusing mikirin mau makan sate padang atau nasi gila," tambah Kaluna sambil terkikik.
Bara ikut tersenyum. "Ya. Masa-masa sederhana."
Bara menatap Kaluna. Rambut wanita itu diikat asal-asalan, ada noda saus kecil di sudut bibirnya, dan dia memakai sweter rajut kebesaran. Dia terlihat... seperti rumah.
Tanpa sadar, tangan Bara terulur. Jari telunjuknya menyentuh sudut bibir Kaluna, menghapus noda saus itu.
Kaluna tersentak. Sentuhan kulit Bara yang hangat membuat aliran listrik menyengat di sekujur tubuhnya. Dia membeku, menatap mata Bara yang kini gelap dan intens.
Jarak mereka hanya satu meter, tapi rasanya tarikan gravitasi di antara mereka begitu kuat.
Tangan Bara tidak berhenti di situ. Ia menyelipkan anak rambut Kaluna ke belakang telinga, gerakannya lambat dan hati-hati.
"Kenapa kita harus serumit ini, Kal?" bisik Bara, suaranya serak dan rendah. "Kenapa kita tidak bisa kembali ke masa di mana masalah terbesar kita cuma mau makan apa?"
Napas Kaluna tercekat. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama yang menghantuinya setiap malam.
"Karena kita sudah dewasa, Bara," jawab Kaluna bergetar. "Dan lukanya... lukanya sudah terlalu dalam."
"Luka bisa sembuh," bantah Bara. Tangannya kini turun, membelai pipi Kaluna dengan punggung jarinya. "Asal diobati. Bukan ditinggalkan."
Wajah Bara mendekat. Aroma mint dan kayu bakar menguar dari tubuhnya. Kaluna bisa melihat keraguan di mata pria itu—perang batin antara keinginan dan logika.
Kaluna tahu ini salah. Bara punya Siska (meski terpaksa). Kaluna punya harga diri. Tapi malam ini, di villa terpencil yang dingin ini, logika rasanya tidak berguna.
Kaluna memejamkan mata, sedikit mencondongkan tubuhnya. Memberi izin tanpa suara.
Napas Bara menerpa wajahnya. Bibir mereka tinggal beberapa sentimeter lagi.
DUAR!
Suara petir menggelegar di luar, diikuti oleh padamnya lampu seketika.
Gelap total. Hanya cahaya api perapian yang tersisa, menciptakan bayangan panjang yang menari di dinding.
Mereka tersentak menjauh, kaget setengah mati.
Bara mengumpat pelan. "Sial. Listriknya turun. Pasti gardu di depan tersambar petir."
Momen itu pecah berantakan.
Kaluna menarik napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang mau copot. Dia bersyukur pada petir itu. Jika tidak, dia pasti sudah mencium Bara, dan besok pagi segalanya akan menjadi seribu kali lebih canggung.
"Aku... aku cek lilin di dapur," kata Kaluna panik, buru-buru berdiri dalam kegelapan.
"Duduk diam di situ," perintah Bara tegas. Ia menyalakan senter ponselnya. "Biar aku yang cek sekering. Jangan jalan-jalan dalam gelap, banyak barang antik mudah pecah."
Bara berdiri, mengusap wajahnya kasar—mungkin frustrasi karena momen tadi terganggu, atau bersyukur karena diselamatkan oleh alam.
"Habiskan tehmu, lalu naik ke kamar," ujar Bara tanpa menoleh, berjalan menuju pintu belakang dengan senter. "Kunci pintumu. Besok kita berangkat subuh ke Kotagede."
Kaluna duduk sendirian di depan perapian, memeluk lututnya. Tubuhnya masih gemetar.
Hampir.
Mereka hampir melewati batas itu.
Dan yang paling menakutkan bagi Kaluna bukanlah ciuman itu sendiri, melainkan fakta bahwa dia menginginkannya. Dia menginginkan Bara kembali, dengan segala kerumitan dan risiko yang ada.
Di luar, hujan turun semakin deras, seolah ingin menghapus jejak-jejak perasaan yang sempat terungkap di ruang tengah villa tua itu.
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️