Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Bab 12
Beberapa hari setelah insiden di vila Kota K, Aryo kembali menjalani rutinitas seperti biasa di kantor tempatnya bekerja. Ia terlihat tenang, seperti tidak pernah terlibat dalam kejadian berbahaya apa pun. Namun, di balik ketenangannya, banyak mata mulai memperhatikan gerak-geriknya, terutama Carlo, sang kepala divisi di lantai 22 yang terkenal perfeksionis dan penuh rasa ingin tahu.
Sejak menonton rekaman lengkap aksi heroik Aryo saat menumpas para perampok di Money Changer, Carlo mulai mencurigai bahwa ada sesuatu yang tidak biasa pada pria itu. “Siapa sebenarnya kau, Aryo?” gumamnya sambil menatap layar komputer. Ia bahkan sempat turun ke lantai 20, dan tanpa sengaja melihat Aryo berbincang akrab dengan Chris di depan direktur Lilia. Pemandangan itu membuat rasa penasarannya semakin besar.
“Apa hubunganmu dengan Bu Lilia dan Pak Kamal?” pikir Carlo, alisnya berkerut. Ia masih belum bisa percaya kalau Aryo adalah tunangan Meliana. Ia mencoba mencari informasi lewat jaringan data internal dan bahkan situs pencarian global, tapi hasilnya nihil. Tidak ada riwayat apa pun tentang seseorang bernama Aryo Pamungkas. Seolah-olah pria itu muncul entah dari mana. “Semakin aneh saja,” desis Carlo, menatap layar kosong. “Orang dengan kemampuan seperti itu... tidak mungkin hanya orang biasa. Aku akan bongkar jati dirimu, Aryo.”
---
Pagi itu, sebelum Aryo berangkat ke kantor, Meliana menelpon dan memberitahu bahwa siang nanti Thania akan datang berkunjung. Ia diminta untuk menjemput temannya itu di lobi. Seperti biasa, Aryo datang lebih awal dan menunggu di bawah. Begitu lift terbuka, muncullah sosok perempuan dengan gaya elegan dan senyum menggoda.
“Hai, Aryo ganteng. Ketemu lagi, ya,” sapa Thania sambil menggoyangkan tangan kecilnya.
“Hai juga, Thania manis. Nanti Meliana sudah menunggumu di atas,” balas Aryo dengan sopan, meski senyumnya membuat gadis itu menunduk malu.
“Aw... jangan bilang begitu keras-keras. Kalau Meliana dengar, bisa-bisa aku dibunuh,” katanya sambil tertawa kecil.
Aryo pura-pura mengunci bibirnya dengan gerakan tangan, membuat suasana lift terasa ringan. Tapi begitu lift bergerak naik, Thania menatapnya dengan pandangan lebih serius. “Kalian sudah mulai dekat?” tanyanya penasaran.
“Belum,” jawab Aryo dengan nada tenang. “Masih seperti biasa. Antara sopir dan majikan, ada jarak yang harus dijaga.”
“Kamu terlalu rendah hati,” ujar Thania, menepuk lembut bahunya. “Cepat atau lambat, Meliana pasti akan sadar siapa kamu sebenarnya.”
Aryo hanya tersenyum samar. Kata-kata Thania seolah menyimpan makna lain.
---
Begitu sampai di ruangan Meliana, Thania langsung membuka obrolan seperti biasa, dengan topik utama yang tak jauh-jauh dari satu nama: Aryo.
“Aku tetap berpegang pada kesan pertamaku,” ujar Meliana dengan nada tegas. “Aku tidak percaya sama Aryo. Orang itu... mata keranjang. Bukan laki-laki baik.”
“Kamu sudah pernah kasih dia kesempatan membuktikan diri belum?” tanya Thania, sedikit kesal.
“Buktinya sudah cukup, Thania,” balas Meliana, menatap jendela.
“Tapi kalian kelihatan akrab waktu di lantai dansa. Serius deh, aku sempat mengira kalian sudah baikan dan mungkin kembali jadi pasangan.”
Meliana mendengus pelan. “Kamu tahu apa yang dia bisikkan waktu itu?”
“Apa?” Thania mencondongkan tubuh.
“Dia bilang... aku harum.”
Thania spontan mengernyit. “Itu pujian, Mel. Kamu pikir apa?”
“Itu kalimat orang yang ingin meniduriku,” jawab Meliana datar.
“Ya ampun, teori dari mana itu?” Thania menepuk dahinya. “Lagian selama di vila, dia gak macam-macam kan? Bahkan waktu kamu tidur pun dia jaga jarak. Aku lihat sendiri. Serius deh, Aryo Pamungkas itu laki-laki yang baik. Seratus delapan puluh derajat dari Jerry Zola.”
“Dia cuma pura-pura baik,” ujar Meliana sambil menyilangkan tangan di dada. “Aslinya, dia berandalan.”
“Berandalan?” ulang Thania, tak percaya.
“Iya, lihat saja cara dia bertarung. Brutal, liar. Itu bukan gaya orang baik-baik.”
Thania geleng-geleng kepala dan menatap temannya lekat-lekat. “Kamu kebentur apa sih? Logika sama hatimu gak sejalan.”
“Sudah ah, jangan bahas aku terus. Katanya kamu mau cerita sesuatu,” potong Meliana, mencoba mengalihkan topik.
---
Thania menarik napas panjang. “Orangtuaku masih ngotot supaya pertunanganku dengan Jerry Zola diteruskan.”
“Aku bisa paham kenapa kamu benci banget sama dia. Kelakuannya memang... di luar batas,” kata Meliana lembut. Dalam hatinya, ia sadar, tidak mungkin membandingkan Jerry Zola dengan Aryo.
“Aku ini korban bisnis, Mel. Papa terlalu ambisius.”
“Ya wajar. Keluarga Zola itu konglomerat besar. Aset mereka di luar negeri banyak, bisnisnya juga mendunia. Banyak perempuan yang pasti rela ngantri demi dinikahi Jerry, ganteng pula.”
“Iya, memang ganteng. Bahkan lebih dari Aryo kalau soal tampang. Tapi tahu gak? Dia itu penjahat kelamin. Aku pernah tangkap basah dia di hotel dengan dua perempuan sekaligus.”
Meliana sampai ternganga. “Astaga. Parah banget.”
“Makanya aku bisa bilang Aryo itu cowok baik. Aku punya pembanding jelas. Percaya deh, kamu gak salah dijodohin sama dia, meski dia bukan siapa-siapa.”
Meliana menunduk. “Aku belum siap menikah, Thania. Belum siap terikat.”
“Nikah bisa nanti. Tapi pertunangan itu tanda niat baik. Aku yakin keselamatan kamu bakal lebih terjamin kalau ada Aryo di sisimu. Coba kasih dia kesempatan.”
Wajah Meliana memerah. Kata-kata itu membuat hatinya berdebar. Tapi di kepalanya masih tersisa satu bayangan: ekspresi Aryo yang kala itu sempat menatap rok yang tersingkap angin. Gambar itu tak mau hilang dari ingatannya, membuatnya bingung antara jijik dan penasaran.
---
“Kalau soal kamu, gimana caranya biar pertunanganmu batal?” tanya Meliana balik.
“Satu-satunya cara? Ya kalau Jerry Zola mati,” jawab Thania setengah bercanda. “Atau dibunuh orang karena kelakuannya yang bejat.”
“Ya Tuhan, Thania. Serem banget doamu.” Baru kali ini Meliana mendengar sahabatnya berbicara sekejam itu.
“Ya mau gimana lagi? Aku gak bisa hidup sama orang kayak dia.”
“Semoga aja ada jalan keluar. Aku doain kamu bisa bahagia dengan orang yang kamu mau. Kita berdua harus bisa.”
“Aamiin, Mel.” Mereka berpelukan erat, saling memberi kekuatan.
---
Saat mereka berpisah, Thania sempat melirik Aryo yang berdiri di depan pintu, menjaga dengan sikap waspada. “Mel, kamu gak penasaran sama masa lalunya dia?” tanya Thania.
“Penasaran sih, iya. Tapi ya... gak penting.”
“Lho, gimana gak penting? Dia calon suamimu. Gimana kalau aku suruh orang buat selidikin?”
“Ngapain ribet. Aku tinggal tanya Papa Kamal aja.”
Meliana menatap sekilas ke arah Aryo, hatinya tak bisa berhenti bertanya—benarkah perasaan laki-laki itu tulus?
“Oh, bener juga. Papamu pasti tahu siapa dia sebenarnya.”
---
Tak lama, Kamal datang menghampiri. “Aryo, ada waktu sebentar?”
“Siap, Pak.” Aryo berdiri tegak, memberi hormat.
Kamal melongok ke dalam ruangan Meliana. “Maaf, Mel, Papa pinjam Aryo dulu ya.”
“Oke, Pa.” Meliana melambaikan tangan.
Mereka berjalan menuju ruang rapat yang terkunci otomatis. Begitu pintu tertutup, wajah Kamal berubah serius. “Ada yang terjadi waktu kalian di Kota K?”
Aryo menceritakan semuanya: dari kejadian di klub malam, pengejaran di jalan, sampai keberhasilannya melumpuhkan para penyerang.
Kamal menatapnya tajam. “Saya dengar ada sebuah jeep ditemukan di pinggir jalan dengan empat pria tewas tertembak. Itu bukan ulahmu kan?”
Aryo kaget. Dalam pikirannya, ia langsung menduga itu pasti ulah Gaston. “Tidak, Pak. Saya tidak membawa senjata,” jawabnya pelan. Ia bahkan tak sanggup mengakui bahwa sejak dulu ia trauma memegang pistol.
“Saya harap begitu,” ucap Kamal pelan. “Tapi ada hal lain. Beberapa orang sedang mencoba menyelidiki siapa kamu sebenarnya. Kamu bikin masalah dengan siapa?”
Aryo menggeleng. Dalam hati ia tahu akar masalahnya pasti dari Gaston, bukan dari Tendi ataupun Charles, yang kini tunduk pada perintah Armai Codet. “Tidak ada, Pak. Saya tidak cari gara-gara.”
“Kamu kenal dengan Jerry Zola?”
“Pernah ketemu. Waktu itu saya antar Meliana ke rumah Thania, pas ada pesta. Jerry datang tanpa undangan.”
“Ada keributan?”
“Ada, tapi bukan saya yang memulai. Dia diusir bodyguard rumah Thania.”
Kamal mengangguk. “Baik. Empat pemuda yang tewas itu ternyata anak buah Jerry Zola. Keluarganya sekarang mencurigaimu. Jadi hati-hati. Saya percaya kamu kuat, tapi tetap waspada. Lindungi Meliana, apa pun yang terjadi.”
“Siap, Pak. Saya akan lebih berhati-hati.”
“Oh ya, ini.” Kamal menyerahkan kunci mobil. “Mulai hari ini kamu antar Meliana pakai mobil ini saja. Jangan lagi pakai mobilnya dia. Biar lebih leluasa. Dan carilah tempat tinggal baru yang lebih layak. Saya tahu kosmu sempit, apalagi gak ada garasi. Nanti sekretaris saya urus biayanya.”
“Wah, terima kasih, Pak. Tapi saya masih bisa atur, gak usah repot-repot.”
“Sudah, anggap saja ini ucapan terima kasih karena sudah menjaga anak saya. Lagipula kamu kan calon menantu saya,” ujar Kamal sambil menepuk bahunya dengan kehangatan yang tulus.
“Terima kasih banyak, Pak,” kata Aryo, menunduk dalam.
Begitu keluar, ia duduk sebentar di kursi dekat pintu ruangan Meliana. Pandangannya kosong, pikirannya penuh badai. Hidup yang semula tenang kini terusik lagi. Ia mengepalkan tangan. “Gaston... kau cari gara-gara. Aku akan menemukanmu. Dan kali ini, aku tidak akan ragu.”
Bersambung.