Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Setidaknya lebih baik dari kemarin
Sinar matahari yang lembut menembus tirai kamar dan jatuh di wajah Arum. Helaan napasnya pelan, matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Dunia di sekitarnya terasa buram sesaat sebelum perlahan menjadi jelas, bau obat, aroma kayu dari furnitur kamar, dan suara burung dari taman belakang menyelinap masuk.
Dia mengerjap pelan, berusaha mengingat apa yang terjadi. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, tapi begitu matanya menoleh ke sisi ranjang, pandangannya terpaku.
Reghan duduk di kursi roda, tertidur di sana. Kepala pria itu sedikit menunduk, satu tangannya masih menggenggam tangan Arum dengan kuat seolah takut kehilangan. Di atas meja kecil di dekatnya, ada segelas air putih yang sudah setengah kosong dan kain kompres yang mulai mengering.
Dia mengangkat sedikit tubuhnya, menatap tangan mereka yang masih bertaut. Jemari Reghan besar dan kuat, tapi hangat. Dia mencoba menarik tangannya perlahan agar tidak membangunkan pria itu, namun genggaman itu justru mengerat.
“Jangan pergi...” suara berat itu keluar di antara tidur Reghan, pelan tapi cukup untuk membuat Arum terpaku.
Arum menatap wajahnya lebih lama. Ada lingkar hitam di bawah mata Reghan, kulit pucat, dan rambut yang berantakan. Mungkin pria itu tidak tidur semalaman. Ia teringat samar-samar dalam igauannya tadi malam , tentang ibu, ayah, dan suara seseorang yang menenangkannya.
'Apakah itu Reghan?'
Senyum kecil muncul di bibir Arum tanpa sadar. Dia menyentuh jemari Reghan dengan lembut, mencoba melepaskan diri tanpa membangunkannya. Tapi Reghan bergerak, matanya perlahan terbuka. Tatapan mereka bertemu, Reghan tampak kebingungan sesaat, lalu cepat-cepat menarik tangannya dan menegakkan tubuh.
“Kau sudah bangun.” Nada suaranya masih berat, tapi tak lagi setajam biasanya.
Arum menunduk, suaranya kecil. “Terima kasih ... sudah menjagaku.”
Reghan tak menjawab, dia memalingkan wajah, tapi rahangnya mengeras menahan sesuatu yang tak ingin diungkapkan.
“Dokter bilang kau hanya kelelahan,” ucapnya akhirnya, datar. “Jangan terlalu memaksakan diri. Aku tidak mau direpotkan lagi.”
Arum hanya tersenyum tipis. “Baik, Tuan.”
Namun, sebelum pria itu sempat berbalik, Arum menambahkan pelan,
“Dan terima kasih … karena tidak benar-benar sekejam yang Tuan tunjukkan.”
Reghan terdiam, suasana di kamar mendadak sunyi. Tatapan matanya sedikit berubah, ada sesuatu di sana, semacam perasaan yang belum siap ia akui. Pria itu akhirnya berdeham pelan, menghindar.
“Kau seharusnya istirahat. Aku … ada urusan dengan Ayah di ruang kerja.”
Dia memutar roda kursinya pelan, keluar dari kamar tanpa menoleh lagi. Tapi langkah itu meninggalkan jejak samar, sesuatu yang tidak pernah Arum lihat sebelumnya dari seorang Reghan Argantara, yaitu sebuah bentuk kepedulian terhadapnya.
Ruang makan besar keluarga Argantara pagi itu terasa lengang. Aroma teh melati dan roti panggang masih sama, tapi suasananya berbeda. Tak ada suara berat Tuan Argantara yang biasanya memberi perintah, tak ada sosok Reghan dengan tatapan tajamnya, dan tak ada Oma Hartati yang suka menegur dinginnya suasana.
Yang tersisa hanya tiga orang, Elion, Alena, dan Maya duduk di meja makan panjang dengan Arum yang datang paling terakhir. Gadis itu menunduk sopan, mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang warna lembut. Tangannya gemetar sedikit ketika ia menarik kursi, merasa canggung di antara orang-orang yang sejak awal tak pernah benar-benar menerimanya.
“Duduklah, Arum,” ucap Maya dengan senyum lembut yang terasa terlalu manis untuk jadi tulus. “Kau harus makan banyak, wajahmu pucat sekali. Kudengar kau pingsan kemarin?”
Arum tersenyum kecil. “Ya, Nyonya. Hanya kelelahan sedikit.”
“Elion,” panggil Maya sambil menatap putranya, “kau sebaiknya berterima kasih juga. Arum sudah banyak membantu Reghan selama masa pemulihannya.”
Elion menoleh, bibirnya tersungging tipis. “Tentu saja,” katanya, namun nada bicaranya mengandung sesuatu yang lain lebih mirip penilaian daripada rasa terima kasih.
“Dan karena kau sudah jadi bagian dari keluarga ini, aku ingin meminta bantuan kecil padamu Kakak ipar.”
Arum mendongak perlahan. “Bantuan apa, Tuan Elion?”
Elion menegakkan tubuhnya, melirik sekilas ke arah Alena yang duduk di sampingnya. “Aku dan Alena akan menikah bulan depan, dan aku ingin Kakak ipar ikut membantu persiapannya. Kakak ipar bisa membantu memilih bunga, dekorasi, atau apapun yang cocok untuk hari besar itu. Anggap saja sebagai latihan menjadi bagian dari keluarga besar Argantara.”
Kalimat itu terdengar lembut, tapi bagi Arum yang duduk di kursi bawah meja besar itu rasanya seperti tekanan yang halus. Ia tahu maksud Elion bukan sekadar meminta bantuan, melainkan menegaskan posisi, kau hanya pelayan, tapi kini terikat keluarga ini. Kau tetap di bawah kami.
Alena, dengan senyum kecil yang tak pernah benar-benar ramah, menatapnya sambil mengaduk teh di depannya.
“Aku harap kamu tidak salah paham, Arum. Aku dan Elion hanya ingin suasana pernikahan ini terasa lebih ... kekeluargaan. Lagipula, aku tahu kau punya selera yang cukup halus, itu akan membantu.”
Nada suaranya manis, tapi tatapan matanya tajam dan menusuk. Arum mengangguk sopan.
“Baik, Nona Alena. Saya akan bantu semampu saya.”
Maya tertawa kecil, menutupi senyum puasnya dengan tisu.
“Bagus sekali. Kau cepat belajar, Arum. Rumah ini butuh seseorang yang tahu tempatnya.”
Suara denting sendok dan piring menjadi satu-satunya hal yang terdengar setelahnya. Tak ada percakapan, hanya helaan napas samar dan tatapan-tatapan yang saling menyelidik.
Sementara itu, di ruangan lain.
Oma Hartati duduk di kursi rotan dekat jendela, menatap cucunya yang duduk di kursi roda dengan pandangan lembut namun penuh kekhawatiran. Udara pagi itu terasa hangat, sinar matahari menembus tirai tipis, memantulkan cahaya ke wajah Reghan yang tampak tenang tapi sulit dibaca.
“Reghan,” ucap Oma pelan, “kau dengar sendiri kan tadi? Ayahmu bicara tentang posisi CEO itu lagi. Katanya ... kalau kau bisa memberikan keturunan, dia akan mempertimbangkan untuk mengembalikan posisi itu padamu.”
Reghan diam, tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya jemarinya yang mengetuk pelan pegangan kursi rodanya. Oma melanjutkan dengan suara pelan, seolah takut melukai perasaan cucunya.
“Oma tahu itu syarat yang tak adil. Tapi begitulah ayahmu … dia selalu menilai segalanya dari hasil, bukan perjuangan. Kau jangan terlalu dipikirkan, Reghan.”
Masih tak ada jawaban. Reghan hanya menatap ke luar jendela, matanya memandangi taman di mana Arum sering duduk saat sore hari. Entah kenapa, dalam kepalanya tiba-tiba muncul bayangan wajah wanita itu, matanya yang lembut, suaranya yang pelan, dan tatapan pasrah ketika menemaninya beberapa hari terakhir.
'Kalau dia hamil … apakah anak itu akan mirip denganku? Atau lebih mirip dia?'
Pikiran itu datang tanpa bisa ia hentikan, membuat sudut bibirnya terangkat samar, ada senyum yang jarang sekali muncul.
Oma memperhatikan perubahan kecil itu dan mengernyit pelan.
“Reghan … kau baik-baik saja dengan semua ini?” tanyanya lembut. “Oma tahu syarat itu berat. Tapi Oma percaya, tak ada yang mustahil jika Tuhan berkehendak.”
Reghan menatap Oma sejenak, lalu menghela napas. “Oma,” ucapnya tenang, “bolehkah aku bertemu Arum sekarang?”
Oma tersenyum, sedikit lega. “Tentu boleh. Kau ingin Oma panggilkan dia?”
Reghan menggeleng pelan. “Tidak perlu. Aku yang ingin menemuinya sendiri.”
Suara roda kursi berputar pelan, bergesek di lantai marmer. Wajah Reghan tetap tanpa ekspresi, tapi dalam hatinya, sesuatu mulai bergerak campuran antara penyesalan, harapan, dan rasa yang belum bisa ia beri nama.
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,