 
                            Keputusan gegabah membuat Sekar harus menderita, suami yang ia terima pinangannya 5 tahun lalu ternyata tak membawanya ke dalam kebahagiaan. Sekar harus hidup bersama ibu mertua dan kedua iparnya yang hanya menganggapnya sebagai pembantu.
Sekar yang merasa terabaikan akhirnya memilih kabur dan menggugat suaminya. Bagaimana kisah selanjutnya?
Ikuti ceritanya setiap episode. Aku mohon jangan di lompat. Terima kasih 🙏🏼
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mami Al, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian Keduabelas
Sekar memanaskan sisa lauk yang kemarin, ia lalu menyajikannya dihadapan suaminya berserta sepiring nasi putih dan segelas air putih.
Sekar lalu menyuapi Arya dengan lauk telur ceplok dan kecap sembari membiarkan putranya itu memainkan mainannya.
Sebelum berangkat kerja, Reno menyodorkan uang 20 ribu kepada Sekar. Ia meminta istrinya agar tidak usah masak karena sorenya ia terlambat pulang.
"Memang Mas Reno mau ke mana sepulang kerja?" tanya Sekar.
"Ada teman yang lagi berulang tahun, dia rencananya mau ngajak kami makan-makan," jawab Reno.
"Kalau aku enggak masak, bagaimana makan malam kami?" tanya Sekar lagi.
"Masak telur dadar atau telur ceplok aja biar hemat," jawab Reno.
"Ya sudahlah!" Sekar tampak pasrah dan menerima jawaban suaminya.
Reno pun berangkat kerja menggunakan sepeda motornya yang ia beli 5 tahun lalu.
Setelah suaminya berlalu, Sekar melangkah ke warung nasi Pak Karman. Di sana ia membeli nasi uduk dengan lauk ayam goreng dan telur ceplok sambal ijo.
Sesampainya di rumah, Sekar menyantapnya sembari menemani anaknya bermain. Hari ini dirinya merasa bebas dan senang karena dapat menikmati makanan yang hanya bisa ia lihat ketika mertua, ipar dan suaminya rasakan.
Meskipun Sekar capek harus bekerja di luar rumah tetapi ia bahagia sebab memiliki uang sendiri tanpa perlu meminta kepada suaminya yang pelit.
Jam 10 pagi, Sekar dan putranya berangkat ke rumah Bu Hanna. Sesampainya, ia segera melakukan pekerjaannya sebagai seorang pembantu.
Kebetulan Bu Hanna akan mengadakan acara, Sekar pulang sedikit terlambat karena membantu Bibi Lena menyiapkan kebutuhan konsumsi.
Jam 2 siang, para tamu keluarganya Bu Hanna berdatangan satu persatu. Sekar pun dengan sigap menata aneka kue di meja.
"Sekar, apa kamu bisa mengambil kue ke alamat ini?" Hanna menunjuk sebuah kartu nama.
"Bisa, Bu!" kata Sekar.
"Tolong, kamu ambilkan, ya!" pinta Hanna.
"Iya, Bu."
"Pergilah naik ojek, ongkosnya nanti saya yang bayar!" ucap Hanna.
Sekar pun berangkat ke toko kue yang diperintahkan oleh Bu Hanna. Sekar diantar ojek yang menjadi langganan Bibi Lena jika ke pasar atau ke minimarket.
Sesampainya di sana, Sekar membawa secarik kertas bukti pembayaran pemesanan kue. Ia lalu menyodorkan kertas tersebut kepada salah satu pegawai toko.
"Sekar!"
Menoleh ke belakang, Sekar menutup sekilas mulutnya tak percaya. Ia lalu berkata lirih, "Maya!"
"Apa kabar?" Maya mendekat dan memeluk Sekar.
"Aku baik!" Sekar terlihat senang bertemu dengan wanita dihadapannya.
Maya, 26 tahun, teman Sekar semasa sekolah menengah atas. Keduanya merupakan tetangga satu kampung dan Maya juga sempat menjadi rekan kerja Sekar meskipun cuma 6 bulan.
Keduanya mengobrol singkat mengenai keberadaan mereka di kota ini. Namun, karena keterbatasan waktu Sekar tak dapat bercerita panjang.
Maya lalu menawarkan diri akan mengunjungi Sekar di rumah mertuanya tetapi Sekar menolaknya dengan alasan tak dapat dijelaskan. Sekar menyuruh Maya menemuinya selepas dirinya bekerja sekitar jam 2 siang di kediaman Bu Hanna.
"Jika kamu tidak sempat, aku akan ke toko ini," kata Sekar.
"Baiklah, kalau begitu minta nomor telepon kamu!" pinta Maya.
"Aku enggak punya handphone!" kata Sekar lagi.
"Hmm...ya sudah, besok dan lusa aku masukkan kerja pagi. Kita bisa bertemu di jam siang," ucap Maya.
"Baiklah," kata Sekar.
Sekar kembali ke rumah Bu Hanna membawa pesanan wanita berusia hampir mendekati kepala 4 itu. Tamu juga sudah ramai memenuhi kediaman Bu Hanna.
Sekar memberikan kotak kue kepada Bibi Lena. Ia kemudian mencari keberadaan Arya yang tak dibawa saat pergi ke toko.
Sekar sempat panik karena tak melihat putranya, namun ia tetap tenang karena tak mau membuat suasana di rumah Bu Hanna menjadi heboh.
Langkah Sekar berhenti kala melihat Arya, senyuman lega terukir di bibirnya. Arya terlihat sedang berbicara dengan seorang wanita paruh baya.
Sekar lantas mendekati keduanya, "Arya, Ibu dari tadi mencarimu!"
Wanita paruh baya itu sejenak menatap Sekar dengan dalam. Ia kemudian bertanya, "Ini anak kamu?"
"Iya, Bu." Jawab Sekar tersenyum.
"Tampan sekali dan Ibunya juga cantik!" puji wanita itu.
"Terima kasih, Bu!" Sekar kembali tersenyum.
"Perkenalkan nama saya Ratna!" wanita itu mengulurkan tangannya.
"Sekar, Bu!" kata Sekar menyambut uluran tangannya Ratna.
"Kamu bekerja di sini?" tanya Ratna.
"Iya, Bu," jawab Sekar lagi.
"Sudah lama?" tanya Ratna lagi.
"Baru satu bulan," jawab Sekar.
Ditengah obrolan keduanya, Bibi Lena datang menghampiri. Ia menyuruh Sekar untuk membantunya membuat minuman yang sudah habis. Sekar lalu berpamitan kepada Ratna melanjutkan pekerjaannya.
Sekar sampai di rumah jam 5 sore, ia segera memandikan putranya. Ia lalu memberikan Arya makanan yang ia bawa dari rumah Bu Hanna.
Karena mertuanya tidak ada di rumah, Sekar sedikit lebih santai. Ia memilih tak menyapu dan mengepel di sore hari. Alasannya, rumahnya juga tak terlalu kotor.
Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam, Reno belum juga pulang. Sekar tak memperdulikannya, ia lebih baik menghabiskan waktu istirahatnya dengan menonton siaran televisi sembari mengunyah buah jeruk.
Jam 10 malam, Reno pun pulang. Sekar yang belum tertidur lalu membukakan pintu, tanpa bicara sepatah katapun Sekar kembali ke kamar dan memejamkan matanya.
***
Keesokan harinya, Sekar menghidangkan sepiring nasi dan lauk telur ceplok dengan kecap manis di atasnya dihadapan suaminya.
"Kenapa cuma ini?" tanya Reno heran.
"Bukankah Mas Reno bilang kalau kita tidak boleh terlalu boros," jawab Sekar.
"Ya, tapi enggak telur ceplok begini juga, Sekar!" kata Reno.
"Mas Reno mau apa? Ayam semur? Oseng kambing? Udang balado? Atau ikan bakar?" tanya Sekar dengan senyuman menyindir.
"Memangnya ada?" tanya Reno serius.
"Sini uang Mas Reno lima puluh ribu!" jawab Sekar sembari membuka telapak tangannya.
"Kamu ini bagaimana, sih? Suaminya kerja bukannya dikasih makan enak!" protes Reno.
"Aku juga kerja, tapi enggak pernah dikasih makan enak!" balas Sekar menyindir.
"Kamu 'kan punya uang," kata Reno.
"Iya, tapi buat aku dan Arya saja," ucap Sekar.
"Kalau begitu, uangku juga untukku saja!" kata Reno lagi.
"Mas, aku ini istrimu dan Arya adalah anak kandungmu. Seharusnya kamu mengutamakan kami daripada ibu dan adik-adikmu!" Sekar akhirnya meluapkan kekesalannya mumpung tak ada mertua dan iparnya.
"Ibuku yang melahirkan aku dan adikku itu adalah tanggung jawabku. Apalagi ayahku sudah meninggal!" jelas Reno lantas beranjak berdiri.
"Memang ibumu yang melahirkan kamu, tapi aku yang sudah melahirkan anakmu!" kata Sekar dengan nada tinggi.
"Jadi, kamu menganggap ibu dan kedua adikku adalah beban?" tanya Reno lagi.
"Iya. Kamu selalu mengutamakan mereka daripada kami. Adik-adikmu itu sudah dewasa, mereka bukan anak kecil lagi. Seharusnya mereka bisa berpikir dengan mencari pekerjaan bukan mengharapkan kakaknya saja!" jawab Sekar penuh emosi.
Reno geleng-geleng kepala dengan jawaban istrinya.
"Mas, aku capek. Aku memilih bekerja di luar mencari uang karena tidak bisa menikmati uangmu secara utuh. Aku hanya mendapatkan sisanya saja!" ungkap Sekar dengan air mata menetes.
"Jadi, kamu mau semua gajiku?" tanya Reno dengan nada tinggi.
"Aku cuma mau kamu adil!" jawab Sekar terisak.
"Jika kamu tidak mau lagi bersamaku, silahkan pergi dari sini!" ucap Reno dengan menggebrak meja dan membuat Sekar terperanjat.
Reno yang sangat kesal lantas berlalu, mengambil helmnya. Ia pun berangkat kerja tanpa sarapan.
Sekar terduduk di kursi sembari memegang dadanya dan air mata yang terus mengalir. Hatinya begitu sakit, berharap suaminya memahami dirinya ternyata malah berbalik.