Ini kisah nyata tapi kutambahin dikit ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Beberapa tahun telah terlewati begitu saja. Tapi tidak membuat remaja seperti Ella melupakan kejadian itu begitu saja. Sampai saat ini pun Ella sudah duduk di bangku kelas 12 SMA kejadian di rumah Sendi waktu itu masih segar di ingatan.
Sampai-sampai Ella tidak bisa memendam kejadian itu sendirian. Ella memilih berbagi kisah dan menceritakan kejadian itu pada temannya, Dita.
"Sumpah lo El?" tanya Dita tak percaya.
Kini Dita dan Ella berada di kantin sekolah. Ella sengaja memilih menceritakan kejadian itu saat istirahat sekolah saja. Inginnya sih ingin cerita secepatnya tapi Ella baru bisa memberanikan diri untuk cerita sekarang ini.
Ella mengangguk. "Sumpah, gue juga nggak menyangka banget. Lo tahu nggak Dit? Gue berasa trauma tahu nggak sih? Gue kaya nggak bisa dengar suara bentakan gitu semenjak kejadian di rumah Sendi waktu itu,"
"Wah..."
Dita menggeleng kepala merasa sangat tak menyangka. Soalnya baru kali ini Dita mendengar suatu hal yang bisa sampai bikin temannya satu itu mengatakan trauma. Berarti kejadian waktu itu sungguhan mengguncang kewarasan Ella. Seketika Dita merasa bersalah dan menyesal karena sudah pergi meninggalkan Ella sendirian pada waktu itu.
"Maaf ya El," seru Dita dengan tulus.
Ella menatap Dita, bingung. "Maaf untuk?"
"Maaf karena gue udah ninggalin lo waktu itu. Gue beneran minta maaf. Gue nggak tahu kalo lo tetap bertahan di sana dan melihat kejadian itu sendirian. Gue menyesal dan merasa bersalah. Seharusnya gue nggak ninggalin lo gitu aja. Maaf ya El maaf banget," tatap mata Dita terlihat berkaca-kaca membuat Ella ingin tertawa.
"Gue serius El. Jangan ketawa begitu. Gue beneran ngerasa bersalah banget."
"Hahaha..." dan akhirnya tawa Ella tak bisa di tahan lagi melihat keseriusan Dita yang meminta maaf padanya dan bahkan Dita nyaris menangis. "Awalnya emang gue kesel banget sama lo Dit. Tapi ya enggak yang sampai segitunya sih. Nggak papa lagi. Lo nggak usah minta maaf segitunya, gue udah maafin lo lama malahan. Udah jangan begitu ah, cengeng lu,"
Dita cemberut karena di tertawakan, tapi Dita juga merasa lega karena Ella sudah memaafkannya. "Makasih ya El. Terus gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ya cowok itu. Siapa namanya tadi?"
"Sendi."
"Nah iya Sendi. Gimana kabar dia sekarang? Kayaknya dia nggak satu sekolahan lagi sama kita deh,"
"Nah itu dia. Semenjak kejadian itu gue juga nggak pernah ketemu sama dia lagi. Dan lo juga, kan? Di sekolahan dulu juga nggak pernah liat dia lagi kan?"
Dita mengangguk. "Iya juga sih ya,"
...----------------...
Brakkk
Brakkk
Brakkk
Suara gedoran yang cukup keras membuat Sendi terbangun dari tidurnya. Sendi mengucek kedua mata sambil menguap. Pelan Sendi menyibak selimut coklat yang dia pakai untuk menghangatkan badan di saat tidur kemudian turun dari ranjang menuju pintu kamar.
"Beraninya kamu nyuri uang Bapak!"
Pintu baru saja di buka oleh Sendi dengan keadaan yang masih mengantuk, tiba-tiba langsung mendapat kalimat tuduhan seperti itu?
Oh
Sendi syok!
Matanya melotot.
"Uang Bapak hilang seratus ribu. Kalau bukan kamu yang ambil, siapa lagi?! Di sini cuma ada kamu sama Bapak!" teriak Roni dengan begitu kencang sampai Sendi yakin jika tetangganya pasti bisa mendengarnya juga.
Sendi meradang, Sendi marah.
"Kalo aku beneran nyuri uang Ayah, POTONG TANGAN AKU SEKARANG JUGA...!!!" Suara Sendi juga tak kalah nyaring. "Aku berani sumpah. Aku nggak nyuri uang Ayah! Kalo aku beneran nyuri uang Ayah aku nggak bakal bingung begini. Aku nggak akan bingung buat beli bensin nggak bingung buat bayar sekolah aku, Yah..!!!"
Suara lantang Sendi membuat Roni terdiam tapi wajahnya masih menunjukan kemarahan. Tanpa mengatakan apapun lagi Roni pergi dari hadapan Sendi. Roni keluar rumah tapi tepat di luar rumah sana Roni menggerutu yang masih bisa Sendi dengar tapi Sendi tak tahu jelas Ayah bicara apa.
Dug
"Arghhh...!"
Sendi mengerang dia menendang kusen pintu kamarnya yang sudah keropos di bagian paling bawahnya. Sendi kesal Sendi marah. Bagaimana tidak? Sendi baru bangun dari tidur dan masih dalam keadaan sangat mengantuk dia belum sadar sepenuhnya dari rasa kantuk itu. Lalu, Ayahnya menuduhnya mencuri? Mencuri uang miliknya? Ayah macam apa yang menuduh anaknya sendiri mencuri?
"Arghhh...!"
"Brengsek!"
Sendi tidak bisa untuk tidak mengumpat. Semenjak kematian Ibu entah mengapa hidupnya terasa sangat menyedihkan?
Di luar rumah, mbak Kiki yang memang rumahnya tak jauh dari rumah bapaknya mengusap dada, tentu saja Kiki mendengar pertengkaran adik dan bapaknya di pagi hari ini. Bahkan bukan hanya sekali ini saja tapi sudah terjadi berulang kali. Entah itu di pagi hari siang hari sore hari atau malam hari.
Klek
Kiki membuka pintu rumah bapak. Dia langsung berjalan menuju kamar Sendi. Di lihatnya Sendi tidak ada di kamarnya.
"Mbak,"
Kiki menoleh dan mendapati Sendi di belakangnya sudah memakai baju lusuh untuk ke kebun. Kiki memeluk Sendi rasa khawatir yang sempat hadir karena tak mendapati Sendi di kamarnya kini menghilang.
"Ya ampun, Dek. Kamu nggak papa kan?" tanya Kiki masih memeluk Sendi dengan rasa sayang antar saudara.
"Emangnya aku kenapa mbak?" suaranya terdengar biasa saja tapi tatap mata dan raut wajahnya tak bisa berbohong kalau Sendi sedang sedih.
"Mbak denger kamu berantem sama bapak lagi. Kali ini apa yang di ributkan? Mbak khawatir," sambil melepas pelukan Kiki mengajak Sendi untuk menuju rumahnya yang hanya berjarak dua meter saja dari rumah bapak.
"Ayah nuduh aku nyuri uangnya mbak," jawab Sendi mereka kini sudah duduk di kursi ruang tamu rumah Kiki.
"Ya Allah..." Kiki kembali mengusap dadanya Kiki merasa tak menyangka jika bapaknya berkelakuan seperti itu. Tega-teganya bapak menuduh anaknya sendiri mencuri uangnya. "Uang berapa yang hilang sampai nuduh kamu begitu?"
"Seratus ribu katanya. Tapi sumpah mbak. Aku nggak nyuri uang Ayah. Aku rela di potong tangannya kalau aku beneran nyu---"
"Dek!" sentak Kiki. "Kamu jangan ngomong begitu!"
Mata Sendi memerah Sendi kembali tersulut amarah. "Aku nggak takut! Aku berani sumpah po.cong karena aku nggak nyuri! Kalo aku beneran nyuri uang Ayah, aku berani ma.ti..!"
Plakkk
Kiki menampar Sendi.
"Sendi...!" sentaknya. "Mbak nggak suka kamu ngomong kayak gitu. Mbak nampar kamu karena omongan kamu sudah ngelantur.."
Sendi menyentuh pipinya yang terasa panas dan sakit. Matanya memerah dan mengembun. "Nggak ada yang sayang sama aku selain ibu. Semenjak kematian ibu aku selalu salah di mata Ayah. Ayah nggak sayang sama aku. Entah salahku apa,"
"Kenapa kamu nggak sekolah?"
Kiki sengaja mengubah topik pembicaraan agar Sendi tidak berlarut dalam kesedihan.
"Aku nggak punya uang. Bensin abis."
Ya Allah..
Untuk yang kesekian kalinya Kiki mengusap dada.