NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 — Rayuan yang Menguji Kesabaran

​Sejak Dion memerintahkan penyelidikan (di Bab 5), suasana di penthouse tidak lagi dingin, melainkan mendidih. Keheningan yang biasa terasa kaku kini terasa seperti jeda sebelum badai. Dion menghabiskan hampir seluruh waktunya di ruang kerja yang terlarang, ponselnya selalu di tangan. Aira tahu, ia sedang menunggu laporan. Dan Aira tahu, ketika laporan itu datang, semua akan runtuh.

​Aira mulai tidur dengan tidak nyenyak. Setiap denting lift pribadi, setiap suara pintu ruang kerja yang terbuka, membuat jantungnya melonjak.

​Tugas Dion di ArgaCorp sedang berada di puncaknya. Ada merger besar yang mengancam posisi perusahaan dan Dion harus bekerja tanpa henti untuk memastikan ia tetap memegang kendali. Stres, kelelahan, dan kurang tidur mengubah Dion menjadi lebih murung, dan sedikit lebih rapuh.

​Malam itu, sekitar pukul sebelas, Aira sedang berada di ruang keluarga, menonton berita bisnis—ironisnya, berita tentang kesuksesan Dion—ketika lift berdentang.

​Dion melangkah keluar. Penampilannya kacau. Dasi mahalnya sudah longgar tergantung di leher, kemejanya kusut, dan matanya merah karena kelelahan. Dia tidak lagi memancarkan dominasi yang dingin; dia memancarkan frustrasi yang berbahaya.

​Aroma whisky tajam tercium samar. Dion jelas minum, meskipun ia masih terlihat sadar sepenuhnya. Alkohol hanya melunakkan bentengnya, tidak merobohkannya.

​Aira mematikan televisi, merasakan ketegangan yang tiba-tiba.

​Dion berjalan melewatinya, menuju dapur. Ia meraih botol whisky dari bar marmer, lalu menuangkannya lagi ke dalam gelas kristal. Gerakannya kasar, marah.

​“Kau tidak tidur?” tanya Dion, tanpa menoleh. Suaranya serak dan berat.

​“Saya baru saja akan tidur,” jawab Aira, berdiri.

​“Tidur sana,” perintah Dion, meneguk minuman itu sekali tegukan. “Aku tidak mau melihatmu.”

​Aira seharusnya menurut. Ia seharusnya menghilang ke kamarnya, mengunci pintu, dan membiarkan Dion tenggelam dalam amarahnya sendiri. Tetapi, ia tidak bisa. Melihat Dion dalam kondisi yang begitu terdesak—kelemahan yang nyata—membuat naluri Aira untuk menenangkan muncul.

​Naluri itu murni naluri keperawatan, bukan perasaan romantis. Dion tampak seperti seseorang yang akan jatuh sakit jika ia tidak berhenti.

​“Anda seharusnya makan, bukan minum,” kata Aira, melangkah ke dapur, menjaga jarak aman. “Minum dalam keadaan perut kosong hanya akan memperburuk stres.”

​Dion membanting gelasnya di meja. Denting keras itu mengejutkan Aira, tapi ia tidak bergerak mundur.

​“Kau tahu apa-apa tentang stresku, Aira?” bentak Dion. Matanya menatap Aira dengan kemarahan. “Kau tidak tahu rasanya memegang kendali atas ribuan nyawa dan ratusan miliar aset. Kau hanya tahu cara menghabiskan uang.”

​Aira merasa sakit hati, tapi ia menelannya. “Saya tahu rasanya memegang kendali atas satu nyawa, Tuan Arganata. Dan itu jauh lebih berharga dari semua aset Anda.”

​Kata-kata Aira, lagi-lagi, menusuk Dion tepat di tempat yang ia paling tidak ingin disentuh: kelemahannya. Dion membenci ketika Aira tampak lebih bermoral, lebih tenang, dan lebih kuat darinya.

​Dion berjalan keluar dari dapur, bergerak cepat. Aira mengira ia akan pergi ke ruang kerjanya.

​Namun, Dion berhenti tepat di depan Aira. Jarak di antara mereka hilang. Aira bisa mencium aroma whisky dan parfum mahalnya, yang kini terasa begitu mengancam.

​“Kau selalu berbicara tentang hal-hal yang tidak kumiliki,” desis Dion, suaranya mengandung campuran emosi yang kacau: kemarahan, frustrasi, dan gairah yang mulai menyala karena alkohol. “Ketenangan. Ketulusan. Cinta.”

​Dion mengangkat tangannya, meraih rahang Aira dengan cengkeraman yang kuat namun hati-hati. Ia memaksa Aira untuk mendongak, matanya terkunci di mata Aira.

​“Kau berpikir kau adalah benteng moral, kan?” tanya Dion, napasnya panas. “Kau berpikir kau lebih baik dariku. Kau berpikir kau bisa menolakku.”

​Aira tidak bisa bersuara. Ia hanya bisa menatap mata Dion, melihat pergulatan di dalamnya. Ia tahu Dion tidak sedang berbicara tentang kontrak atau utang; ia berbicara tentang dominasi dan hasrat yang tidak bisa ia akui.

​“Aku lelah, Aira,” kata Dion, suaranya tiba-tiba melunak, hampir seperti gumaman pengakuan. “Aku lelah menjadi sempurna. Aku lelah menjadi baja. Aku ingin merasa… sejenak saja, bahwa aku tidak sendirian.”

​Kalimat itu, diucapkan dalam bisikan yang begitu rentan, merobohkan pertahanan Aira. Ia melihat retakan di wajah CEO yang dingin itu. Aira merasakan dorongan yang kuat untuk mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya, menghapus kelelahan yang nyata di sana.

​Tapi ia ingat Arvan. Ia ingat kebohongan.

​“Anda tidak perlu mencari kehangatan dari saya,” bisik Aira, menjaga suaranya tetap stabil. “Saya tidak bisa memberikannya.”

​Penolakan lembut itu memicu Dion kembali ke sisi gelapnya. Kerentanan yang baru saja ia tunjukkan menghilang, digantikan oleh kemarahan yang membakar.

​Dion mendorong Aira ke dinding terdekat. Bukan dorongan yang kasar, tapi tegas, menempatkan tubuh Aira dalam penjara tembok dingin dan tubuh panasnya.

​“Kau adalah istriku,” desis Dion, menekan tubuhnya lebih dekat, membuat Aira merasakan setiap otot dan setiap ancaman. “Kau berutang padaku. Kau tidak berhak menolakku.”

​Dion mencondongkan tubuhnya. Kepalanya semakin mendekat. Aira bisa merasakan napasnya menyapu bibirnya.

​Ini dia.

​Momen yang ia takuti sejak ia menandatangani kontrak itu. Momen di mana hasrat terlarang akan menyatukan kembali ayah dan ibu dari benih yang tak terucap.

​Aira memejamkan mata. Ia merasakan kehangatan yang mendekat, aroma yang membuat otaknya mabuk. Ia seharusnya melawan, menamparnya, berteriak. Tapi di balik semua ketakutan, ada rasa rindu yang asing, rasa rindu pada kehangatan dan kepemilikan yang ia dapatkan empat tahun lalu dari pria yang sama.

​Namun, ia teringat wajah Arvan yang polos.

​Aira membuka matanya. Ia menatap Dion, air mata tertahan di pelupuk matanya.

​“Tuan Arganata,” bisik Aira, suaranya nyaris tidak terdengar, namun dipenuhi keputusasaan yang tulus. “Jangan lakukan ini. Jangan buat saya membenci Anda lebih dari yang seharusnya.”

​Kata ‘benci’ itu—diucapkan di tengah jarak bibir yang hanya sejengkal—menampar Dion dengan keras. Itu adalah kata yang paling ia takuti.

​Dion terdiam. Ia menahan napas. Tangannya masih memegang rahang Aira, tubuhnya masih menekan tubuh Aira di dinding, tetapi seluruh energinya tiba-tiba terhenti. Ia melihat kesakitan di mata Aira, bukan kepura-puraan.

​Dion menutup matanya sejenak. Keinginan itu membakar, namun pengakuan Aira tentang kebenciannya, ditambah rasa jijik yang ia rasakan pada dirinya sendiri karena menggunakan posisi kekuasaannya, membuat Dion mundur.

​Ia mundur perlahan, seolah ia baru saja menyentuh bara api yang panas. Ia melepaskan cengkeramannya dari rahang Aira.

​“Pergi,” perintah Dion, suaranya rendah dan dipenuhi rasa malu yang tersembunyi. Ia tidak menatap Aira. Ia menatap kakinya sendiri, seolah ia baru saja menginjak ranjau.

​Aira tidak menunggu dua kali. Ia berbalik, berlari ke kamarnya, mengunci pintu, dan ambruk di lantai. Ia terengah-engah, bukan karena lari, tapi karena emosi yang kacau. Ia selamat. Tapi ia tahu, ia hanya menunda eksekusi.

​Di luar kamar, Dion berdiri di lorong marmer, tangannya terkepal. Ia mengutuk dirinya sendiri. Ia benci menunjukkan kelemahannya, dan ia benci menunjukkan hasratnya yang tak terkendali pada wanita yang ia yakini pembohong.

​Ia berjalan cepat ke ruang kerjanya, mengambil teleponnya, dan memanggil kepala keamanannya lagi.

​“Bagaimana laporan tentang anak itu?” tanyanya, suaranya keras.

​“Tuan,” kata suara di seberang, “kami mendapatkannya. Anak itu bernama Arvan. Kami punya fotonya, dan rincian Ibunya. Kami sedang memproses….”

​“Kirimkan padaku sekarang,” potong Dion. “Semua yang kau punya. Foto. Nama. Rumah sakit tempat dia dilahirkan. Semuanya. Aku ingin tahu siapa dia, dan mengapa wanita itu begitu melindungi kebohongannya.”

​Dion menutup telepon. Ia berdiri di depan jendela, tangannya memegang segelas whisky lagi. Ia tahu, setelah laporan itu datang, tidak akan ada lagi rayuan yang menguji kesabaran. Yang ada hanyalah perang.

​Ia tidak tahu, bahwa laporan itu tidak hanya akan mengungkapkan Arvan adalah putra Aira, tetapi juga bahwa ia sendiri adalah Ayah anak itu. Laporan itu adalah bom waktu yang sudah siap meledak.

​Dion menenggak whisky-nya. Ia merasa panas, frustrasi, dan sangat sendirian.

​Ia melihat Aira di matanya. Kau adalah milikku.

​Ia mengutuk hasratnya.

​Ia tidak sadar, bahwa hasratnya bukan hanya didorong oleh kepemilikan, tetapi oleh ikatan darah yang tak terucapkan yang memanggilnya kembali kepada keluarganya.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!