SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesantren dan Kengerian yang Nyata
🕌 Kelas Fiqih
Bulan telah berganti, dari Januari yang penuh darah menjadi Maret yang dingin.
Setelah perdebatan sengit dengan Paman Hasan dan Bibi Laila, yang akhirnya mengambil hak asuh, Sinta dan Alim dipindahkan dari rumah ke Pondok Pesantren Tahfiz Al-Huda. Keputusan itu diambil untuk "menyelamatkan" sisa-sisa iman mereka.
Alim, meski berat, berusaha menyesuaikan diri. Namun, Sinta adalah sebaliknya.
Di dalam ruang kelas santri putri yang sunyi, Sinta duduk di barisan belakang. Ia menopang dagunya dengan tangan, pandangannya diarahkan ke luar jendela, pikirannya melayang entah ke mana. Wajahnya tampak bengong dan tidak menunjukkan sedikitpun minat untuk mendengarkan. Ia kini memakai kembali jilbab, tetapi bukan karena ketaatan, melainkan paksaan.
Di depan kelas, Ustadzah Halimah, seorang guru paruh baya yang tenang, sedang menjelaskan pelajaran. Topik hari itu terasa menusuk telinga Sinta.
"Anak-anakku sekalian," kata Ustadzah Halimah dengan suara lembut namun tegas. "Kita sudah sampai pada bab Barzakh. Kita semua tahu, setelah roh meninggalkan jasad, kita akan menghadapi realitas pertama dari akhirat, yaitu alam kubur."
Ustadzah itu menutup buku di tangannya. "Kengerian siksa kubur itu melampaui segala siksaan di dunia. Bayangkan! Setelah dua malaikat, Munkar dan Nakir, datang, jika kita tidak bisa menjawab pertanyaan, kubur akan menghimpit jasad kita sampai tulang-belulang berantakan. Dinding kubur yang dingin akan menjadi lautan api. Akan ada ular-ular besar yang mematuk dan memakan habis daging kita. Itulah balasan bagi hamba yang lalai, bagi yang menuhankan dunia dan melupakan Penciptanya!"
Sinta menarik napas panjang, mengeluarkan suara dengusan kecil yang cukup keras di antara keheningan kelas.
"Ustadzah," potong Sinta, nadanya mengesalkan dan penuh cibiran. Ia tidak berusaha menyembunyikan ketidakpercayaannya.
Ustadzah Halimah menoleh, terkejut dengan interupsi itu.
"Saya mau tanya, Ustadzah. Ini kan cerita tentang yang di masa depan, di alam gaib, yang kata Ustadzah mengerikan," Sinta berbicara dengan nada datar dan dingin. "Kami harus takut sama hal yang belum tentu terjadi, yang cuma janji. Saya tidak mengerti, Ustadzah. Kenapa kita harus takut pada ancaman yang tidak terlihat?"
Semua mata santri tertuju pada Sinta. Suasana kelas menjadi sangat tegang.
Ustadzah Halimah menghela napas, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan dan keprihatinan. Ia meninggalkan mejanya dan berjalan perlahan, langsung menghampiri Sinta di barisan belakang.
Ustadzah Halimah berdiri di samping Sinta, menatapnya dengan mata teduh.
"Sinta, Nak," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Kita tidak tahu yang namanya kematian. Kematian itu bukan janji masa depan, tapi bisa datang setiap detik. Mungkin besok. Atau bahkan hari ini, setelah kamu keluar dari kelas ini. Kamu tidak melihat, tapi Ayah dan Ibumu sudah melihat alam itu."
Wajah Sinta mengeras ketika nama orang tuanya disebut.
"Kamu jangan main-main dengan siksa kubur, Nak. Ancaman itu nyata. Ketakutan pada Allah harus lebih besar daripada ketakutan pada apa pun di dunia ini."
Sinta yang masih mengesalkan, menatap Ustadzah Halimah dengan tatapan menantang, sama sekali tidak gentar.
Ia langsung menjawab, suaranya lantang dan menusuk.
"Oh ya? Kalau begitu, Ustadzah," tanya Sinta, mengabaikan tatapan syok dari santri lain. "Mengerikan mana? Disiksa kubur dengan ular dan api yang cuma cerita? Apa dimatiin dengan bom yang meledak tepat di depan mata, tubuh Bapak dan Ibu saya hancur luluh lantak?"
Sinta menghentikan ucapannya, memberikan jeda dramatis yang berat.
"Saya sudah lihat kengerian yang nyata, Ustadzah. Dan itu terjadi pada orang yang paling taat beragama di keluarga kami," kata Sinta, menyeringai getir.
Ustadzah Halimah terdiam. Wajahnya yang damai seketika menjadi pias. Ia membuka mulutnya, mencari kata-kata, tetapi tidak bisa menjawab. Realitas brutal yang diucapkan Sinta telah meruntuhkan semua teori fiqih yang ia ajarkan.
Tepat pada saat keheningan yang canggung dan menyakitkan itu, bel berbunyi nyaring. Jam istirahat tiba.
Sinta segera berdiri, melangkahi kursi tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Ustadzah Halimah yang masih terpaku di tempatnya.
Ia berjalan menuju taman belakang pesantren. Di sana, Sinta yang sekarang selalu duduk sendiri. Ia merenung tanpa henti. Wajahnya selalu ditekuk, dipenuhi rasa kesal yang membara.
Rasa kesal itu bukan hanya pada ajaran pesantren, tapi pada dirinya sendiri. Ia kesal karena dipaksa memakai kembali jilbab, kesal karena harus menghafal ayat-ayat yang kini terasa palsu di telinganya, dan paling utama, ia kesal karena ia masih belum bisa membalas dendam atas kehancuran keluarganya.🚪 Kepahitan dan Terowongan
Sore itu, udara di Pesantren Al-Huda terasa dingin menusuk, seolah mencerminkan kekosongan di hati Sinta. Ia duduk di bangku kayu dekat lapangan sambil memandang jauh ke gerbang utama.
Alim menghampirinya, membawa dua gelas teh hangat. Ia menyerahkan satu kepada Sinta, yang diterima tanpa ucapan terima kasih.
"Kenapa Kakak bikin Ustadzah Halimah diam tadi?" tanya Alim pelan.
Sinta menyesap tehnya. "Dia cuma ngomong kosong, Lim. Itu enggak penting."
Sinta menoleh tajam ke arah adiknya. "Buat apa aku harus berada di sini? Semua yang diajarin hanyalah khayalan saja. Janji-janji surga dan ancaman neraka. Kita sudah lihat kenyataan, Lim. Kenyataan di dunia jauh lebih kejam daripada semua cerita siksa kubur mereka!"
Sinta berdiri, membuang sisa tehnya ke tanah. "Aku bosan. Aku balik ke rumah."
Alim segera berdiri, panik. Ia tahu kakaknya tidak sedang bercanda.
"Kak! Mau ke mana?!" seru Alim, berusaha menahan lengan Sinta.
"Ke rumah kita, Lim. Aku mau ambil barang-barangku. Aku enggak mau ada di sini lagi," jawab Sinta, mencoba melepaskan tangannya.
Wajah Alim seketika berubah muram, lebih dari sekadar kesedihan. Ia menatap Sinta dengan rasa bersalah yang mendalam.
"Kita... kita enggak punya rumah lagi, Kak," kata Alim, suaranya tercekat.
Sinta terdiam. Tangannya berhenti melawan. "Maksudmu?"
"Rumah kita, Kak," lirih Alim. "Rumah di dekat pasar itu... sudah dijual sama Bude Laila dan Paman Hasan."
Mendengar itu, Sinta merasakan kepalanya berdenyut. Rasa marahnya yang baru saja mereda kini meledak lagi. Ia kembali lagi ke adiknya, mendekat, dan berbisik penuh kemarahan.
"Tuh kan! Apa aku bilang? Benar! Itu yang aku pikirkan! Mereka bilang ini tempat terbaik untuk kita, untuk keselamatan agama kita!" Sinta menunjuk ke arah asrama. "Si Bude itu taat agama, shalatnya rajin, selalu bicara soal keikhlasan. Kenapa dia melakukkan begini?! Apakah di agama mengajarkan ini?! Mengambil hak yatim piatu?!"
Sinta menghela napas, matanya penuh kebencian. "Semua itu dusta, Lim. Agama cuma dipakai buat topeng. Aku enggak percaya lagi sama siapa pun di sini."
Sinta tiba-tiba berbalik dan mulai berjalan cepat menuju batas belakang pesantren, yang dibatasi oleh tembok tinggi dan pepohonan rimbun. Di antara pepohonan itu, tampak gelap sebuah lubang: pintu masuk menuju gorong-gorong atau saluran air yang tua.
Ia terus berjalan, menuju ke sebuah terowongan yang gelap dan sempit di bawah tembok pembatas.
"Kak! Mau ke mana?!" tanya Alim, ketakutan setengah mati. "Itu tempat sampah! Itu terowongan tua!"
Sinta tak peduli. "Aku mau keluar dari sini. Aku mau lihat, seberapa jauh aku bisa lari dari semua kepalsuan ini."
Alim mencengkeram tangan kakaknya. "Aku takut, Kak! Itu gelap, bau, dan kotor!"
"Takut apa, Lim? Takut sama kegelapan? Lebih menakutkan mana terowongan ini atau kenyataan di luar sana?" Sinta menarik tangannya, matanya keras. "Ikut aku. Kita buktikan kalau yang kotor di dunia ini enggak bisa mengalahkan kita!"
Sinta memaksa Alim untuk ikut. Ia menyeret Alim yang gemetaran ke mulut terowongan. Bau apek, kotoran, dan lembap langsung menyambut mereka.
Mereka berdua berjalan membungkuk di dalam kegelapan itu. Setelah beberapa meter masuk, Alim mulai terisak, tetapi Sinta terus berjalan, menantang dirinya.
Namun, semakin lama berada di dalam terowongan, Sinta mulai merasa ada yang salah. Udara di sana sangat minim, pengap. Bau busuk yang ekstrem terasa menyesakkan paru-parunya.
Sinta sesak. Bukan hanya sesak napas fisik, tapi juga sesak ketakutan yang tiba-tiba muncul. Kegelapan total di sekelilingnya, bau busuk yang menyerupai bau bangkai, dan perasaan terhimpit membuat pikirannya melayang kembali ke kata-kata Ustadzah Halimah dan Pria Berjubah Hitam: Kubur akan menghimpit jasad kita...
Rasa takut terhadap hal yang tak terlihat itu, rasa sesak yang persis seperti yang ia bayangkan jika terkurung di ruang sempit, mendadak lebih menakutkan daripada ledakan di siang hari.
Sinta berteriak tertahan. Ia berbalik tiba-tiba, menarik Alim bersamanya, dan berlari lagi ke depan, keluar dari terowongan itu, kembali ke cahaya terang.
Ia berlari dan berhenti di tempat semula, terengah-engah, tubuhnya gemetar bukan karena dingin, tapi karena kepanikan.
Saat Sinta dan Alim mengatur napas, mereka melihat lapangan dan area di sekitar terowongan itu sudah ramai. Sudah pada kumpul para santri dan guru-guru pengurus pesantren. Paman Hasan berdiri di tengah kerumunan, menatap mereka dengan wajah marah dan kecewa.
Mereka tahu, Sinta dan Alim kembali membuat masalah.