NovelToon NovelToon
Kau Hanya Milik ARUNA

Kau Hanya Milik ARUNA

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Aru_na

"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12.Pilih mana, menikah lahir atau batin?

Arza terbahak-bahak, suaranya menggema memenuhi seisi ruangan hingga tubuh tegapnya bergetar hebat. Air mata tampak menyilaukan di sudut matanya yang menyipit karena tawa yang tak tertahankan.

"Hmm, kamu ini benar-benar lucu, Runa," ujarnya di antara sisa-sisa gelak tawanya yang perlahan mereda. Sementara itu, Aruna masih membeku di tempatnya, sorot matanya nanar menatap sang dokter yang baru saja tertawa terbahak-bahak setelah ia lontarkan tuduhan pedas 'antek-antek Walid'.

"Anda yang lucu, Dokter," balas Aruna dengan nada kesal yang tak bisa disembunyikan. "Di mana-mana, orang akan menikahi gadis yang dicintainya, bukan malah... Ah, sudahlah, percuma berbicara dengan antek-antek Walid!"

Arza tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari Aruna. Bahkan, makanan lezat yang ada di hadapan mereka seolah tak lagi menggugah seleranya. Ada sorot mata yang sulit dibaca, sebuah perpaduan aneh antara geli yang masih tersisa dan sesuatu yang terasa lebih dalam, lebih mengusik.

"Baiklah," kata Arza akhirnya, suaranya kini jauh lebih tenang, meskipun jejak-jejak tawa masih terasa menggelitik di dalamnya. "Saya berikan kamu dua pilihan lagi. Bagaimana?"

Aruna mendongak, menatap dokter itu dengan dahi berkerut dalam. Namun, belum sempat ia merespons, telinganya menangkap suara riuh rendah dari luar ruangan. Suara-suara itu semakin mendekat, bercampur dengan langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa dan gumaman percakapan yang ramai.

"Penghulu beserta warga sudah datang," ujar Arza, nada bicaranya kini berubah menjadi lebih mendesak, seolah waktu tak lagi berpihak padanya. Ia bangkit dari duduknya dan tanpa ragu meraih tangan Aruna, mencoba menariknya dengan lembut namun pasti untuk keluar dari ruangan itu.

"Ayo, kita keluar."

Namun, Aruna menahan langkahnya. Ia mencengkeram erat ujung ranjang dengan kedua tangannya, menolak untuk bergerak seinchi pun. Tubuhnya menegang, menolak perintah yang tersirat dalam genggaman tangan Arza.

"Tunggu!" serunya, suaranya meninggi, bercampur antara keterkejutan dan penolakan. "Anda tidak bisa seperti ini, Dokter. Ini pemaksaan!"

"Benarkah begitu?" Arza menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Aruna dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada secercah kesedihan di sana, namun dengan cepat tertutup oleh lapisan ketegasan. "Kita sudah membuat perjanjian, bukan? Dan saya punya buktinya."

Dengan gerakan cepat dan terukur, Arza merogoh saku jas dokternya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Layarnya menyala, menampilkan sebuah video yang tengah diputar. Aruna terbelalak melihat dirinya di layar itu, tengah berbicara dengan Arza. Ia ingat percakapan itu, percakapan yang kini terasa begitu jauh dan asing, seolah terjadi dalam mimpi buruk yang kini menjelma menjadi kenyataan yang pahit.

"Tidak! Aku tetap tidak mau! Jangan paksa aku!" Aruna mencoba dengan sekuat tenaga melepaskan genggaman tangan Arza, namun cengkeraman dokter itu terlalu kuat, bagai belenggu yang tak bisa ia patahkan. Ia meronta, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun tenaganya jelas tak sebanding dengan kekuatan laki-laki di hadapannya.

Dokter Arza menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tegas yang belum pernah Aruna lihat sebelumnya. Tanpa melepaskan tangannya, ia melangkah menuju sebuah lemari kayu di sudut ruangan dan membukanya. Aruna mengikuti setiap gerakannya dengan tatapan penuh tanya, kecemasan, dan firasat buruk yang semakin menggerogoti hatinya.

Arza mengeluarkan sesuatu dari dalam lemari. Sebuah baju yang tidak cukup bahan. Aruna mengenali baju itu. Jantungnya berdegup kencang, iramanya tak karuan, seolah ada genderang perang yang ditabuh di dalam dadanya. Firasat buruk yang sedari tadi menghantuinya kini menjelma menjadi kenyataan yang menakutkan.

"Baik," ucap Arza, suaranya kini dingin dan tanpa emosi, bagai es yang menusuk hingga ke tulang sumsum. "Jika kamu tidak mau menikah secara lahir dengan saya di hadapan penghulu dan saksi, maka kita akan menikah batin saja seperti Walid. Bagaimana?"

Mata Aruna membelalak, tubuhnya menegang seketika. Ia merasakan lemas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah darahnya berhenti mengalir. Ucapan Arza barusan bagai petir di siang bolong, menghantamnya dengan kekuatan yang tak terduga, membuatnya terperanjat dan hampir kehilangan kesadaran.

"Jangan macam-macam!" desis Aruna, suaranya bergetar hebat menahan amarah, ketakutan, dan keputusasaan yang bercampur aduk.

"Silakan pilih," balas Arza datar, mengabaikan keterkejutan dan air mata yang mulai mengalir di pipi Aruna. "Keputusan ada di tanganmu."

Aruna terdiam membisu, otaknya berusaha keras mencerna situasi yang begitu absurd dan menakutkan ini. Ia dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mengerikan, sama-sama merenggut kebebasannya dan masa depannya. Menikah secara resmi dengan laki-laki yang jelas-jelas memaksanya, atau... menikah batin? Apa sebenarnya yang ia maksud dengan 'menikah batin'? Pikiran-pikiran liar dan menakutkan mulai berkecamuk di benaknya, membuatnya semakin panik dan putus asa.

"Bagaimana bisa kita menikah?" tanya Aruna akhirnya, suaranya tercekat. "Bahkan orang tua saya juga tidak ada, pernikahan ini tidak akan sah!" Aruna masih berusaha mencari celah untuk menghindari mimpi buruk ini.

"Kamu tidak memiliki orang tua, Aruna," balas Arza dengan nada datar, seolah mengingatkan sebuah fakta yang tak terbantahkan. "Kamu berasal dari panti asuhan, apa kamu juga tidak ingat?"

Aruna menggelengkan kepalanya lemah, mencoba mengingat-ingat masa lalunya yang buram. Namun, setiap kali ia mencoba memfokuskan pikirannya, kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut, seolah ada palu godam yang menghantam tempurung kepalanya dari dalam.

"Jangan memaksa lagi, kamu bisa makin sakit," ujar Arza tiba-tiba dengan nada khawatir. Ia mengulurkan tangannya dan mengelus-elus lembut kepala Aruna, sentuhan yang tak terduga itu membuat Aruna terharu dan tanpa sadar mendongak menatap mata laki-laki di hadapannya.

Entah kenapa, berada di dekat orang ini, meskipun dalam situasi yang mengerikan ini, ada perasaan nyaman dan aman yang aneh menyelimutinya. Ia sama sekali tidak merasa takut pada Arza, kecuali dengan perjanjian pernikahan yang tiba-tiba dan memaksanya ini.

"Aruna, ayolah," bujuk Arza dengan suara lembut, menggenggam tangan Aruna semakin erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Penghulu sudah datang, dan kau masih perlu dirias." Tanpa menunggu jawaban, Arza menarik Aruna keluar dari kamar rawat itu, menuju sebuah kamar lain yang telah disiapkan. Di dalamnya, sudah ada seorang tukang rias dengan peralatan lengkap yang siap untuk mempercantik Aruna.

"Wah, calon pengantinnya sangat cantik!" seru perias yang bertubuh agak gemulai itu dengan nada ceria. "Hanya perlu sedikit polesan, akan membuat dia menjadi Cinderella dalam semalam!" Ocehan riang perias itu entah kenapa membuat Aruna merasa sedikit lebih santai, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan.

"Cepat ya, Tante, waktunya sudah tidak banyak," ujar Arza dengan nada mendesak kepada perias itu. Laki-laki gemulai itu mengangguk-angguk cepat, mengiyakan perkataan Arza. Kemudian, Arza keluar dari kamar setelah memberikan Aruna sebuah gaun pengantin berwarna putih yang sangat indah, gaun yang tampak mewah namun terasa asing di tangannya.

"Aruna, kamu sangat beruntung," kata perias itu sambil mulai memoles wajah Aruna dengan lembut. "Dokter Arza sangat baik, dia pasti akan membahagiakanmu."

Aruna tidak menjawab. Pikirannya masih berkecamuk, dipenuhi keraguan dan ketidakpastian. Apakah keputusan yang ia ambil ini sudah benar? Apakah ia bisa mempercayai laki-laki yang telah membawanya ke dalam situasi yang menakutkan ini? Rasa nyaman dan aman yang sempat ia rasakan kini bercampur dengan keraguan yang mendalam. Ia merasa seperti bidak catur yang tak berdaya di tangan pemain yang tak terduga. Masa depannya kini terasa buram dan tak pasti, tergantung pada langkah selanjutnya yang akan diambil oleh dokter Arza.

1
Zudiyah Zudiyah
,hemmm sangat mirissss
rofik 1234
Perasaan campur aduk. 🤯
Aruna: benarkah?😁
total 1 replies
Shinichi Kudo
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
Aruna: terima kasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!