NovelToon NovelToon
Gara-gara Kepergok Pak Ustadz

Gara-gara Kepergok Pak Ustadz

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Pernikahan Kilat / Action / Cinta setelah menikah
Popularitas:45.3k
Nilai: 5
Nama Author: Imelda Savitri

"Nikah Dadakan"

Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.

Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?

Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?

Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mancing

Leyla mengangguk mantap, lalu dengan nada bercanda tapi tegas menambahkan, “Dia cari uang banyak-banyak itu buat siapa lagi kalau bukan buat istrinya, ya kan?”

Bu Mita, yang dari tadi masih tercengang dengan jumlah sarapan Kaan yang 'jutaan' itu, akhirnya buka suara, “Tapi... kasihan juga Kaan bu. Harus nanggung ini itu. Belum lagi buat orang tuanya."

Mendengar itu, Leyla dengan santainya mengibaskan rambut pendeknya ke belakang seperti bintang iklan sampo, padahal hanya ada kipas angin tua yang berderit pelan di pojok dapur.

“Uang dia?” ujarnya sambil tertawa pelan. “Bu, bagi saya Kaan itu kayak anak ayam. Duitnya belum ada apa-apanya dibanding orangtuanya ini."

Murni dan bu Mita sama-sama mengerutkan dahi.

Leyla melanjutkan dengan percaya diri, “Saya dan suami saya tuh punya usaha sendiri. Pendapatan kami... Alhamdulillah, gak pernah ngerepotin Kaan sama sekali. Justru dia yang sering merepotkan kami." katanya sambil terkekeh.

“Selama ini dia kerja tuh buat siapa lagi? Buat dirinya sendiri aja. Makanya, sekarang waktunya dia belajar tanggung jawab. Punya istri, punya keluarga. Dan uangnya itu ya buat kamu, Murni. Kamu bukan beban, kamu justru tujuannya dia cari uang."

Murni terdiam, hatinya bergetar. Belum pernah ada yang bicara seperti itu padanya. Sementara bu Mita hanya bisa mengangguk pelan, merasa seperti baru melihat dunia baru, dunia di mana besan perempuan bisa lebih manja dari anak gadisnya sendiri.

Begitu makanan selesai disiapkan, bu Mita mengangkat nampan besar dari dapur. Nampan bulat dari besi itu dipenuhi lauk pauk sederhana, seperti sayur bening, sambal terasi, serta tempe goreng yang masih mengepul hangat. Di tangannya yang terbiasa memikul beban rumah tangga, nampan itu tampak ringan, meski hatinya tetap diliputi gugup menjamu besan dari negeri jauh.

Di belakangnya, Leyla turut membantu, membawa dua baskom kecil berisi nasi putih. Langkahnya ringan dan percaya diri, meski kakinya terdengar berdecit setiap kali menyentuh lantai.

Sementara itu, Murni berjalan pelan dengan langkah tertatih, tangannya menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangannya. Melihat itu, Kaan langsung bangkit dari duduknya dan cepat-cepat menghampiri. Tanpa berkata apa-apa, ia menyodorkan lengannya untuk membantu Murni berjalan hingga ke tikar ruang tamu.

Lalu mereka semua duduk mengelilingi nampan. Ruang tamu sederhana yang hanya beralas tikar anyaman kelapa itu seketika terasa hangat oleh kebersamaan.

Bu Mita mulai membagikan piring satu per satu. Ia menunduk sedikit, dan tersenyum malu.

“Maaf ya, makanannya sederhana aja. Namanya juga orang kampung, nu. Gak ada makanan mewah seperti di kota... apalagi luar negeri.”

Leyla tertawa kecil dan menepuk lembut tangan bu Mita. “Justru ini yang kami suka. Makan ramai-ramai begini tuh bikin hati hangat.”

Ia menoleh ke semua yang duduk melingkar, lalu berkata, “Di Turki juga ada kebiasaan seperti ini. Kami duduk bareng, satu nampan besar di tengah, semua ambil dari nampan itu. Biasanya makan pakai tangan. Rasanya lebih dekat... Dan lebih kekeluargaan.”

Wajah bu Mita mulai berbinar, merasa sedikit lega.

“Wah... sama ya ternyata, saya kira cuma orang kampung aja yang makan bareng gini.”

Leyla tersenyum lebar. “Kadang budaya kita tuh mirip-mirip, cuma beda tempat aja.”

Kaan melirik Murni yang masih canggung, lalu menyodorkan lauk ke piringnya.

“Makan yang banyak. Kamu perlu tenaga.” ucapnya singkat dengan suara pelan yang hanya didengarkan oleh Murni saja.

.

.

.

Sejak tadi, Leyla tampak paling lahap di antara semuanya. Tangannya berkali-kali mencolek sambal terasi dengan kerupuk ikan, lalu menikmatinya dengan wajah puas.

Ayah Kaan, yang sedari tadi hanya mengambil lauk secukupnya, memperhatikan istrinya dengan alis sedikit terangkat.

"Kamu makan sambal itu terus," gumamnya dengan aksennya yang masih terdengar jelas. "Itu... pedas, ya?"

Leyla tertawa kecil sambil mengambil lagi kerupuk. "Pedas, tapi enak banget. Kamu coba deh, Jon."

Jonathan tampak ragu sejenak, lalu dengan ekspresi penasaran, ia mengambil secuil sambal dan meletakkannya di atas nasi. Setelah mencicipinya, ia terdiam dua detik... lalu-

"Hff-!" Wajahnya langsung memerah.

Ia buru-buru meneguk air putih yang ada di depannya.

“P-pedas sekali...” katanya dengan suara parau, membuat semua orang menoleh.

Leyla tertawa sambil menepuk pelan punggung suaminya. “Berani juga kamu, akhirnya nyobain sambal!”

Kaan yang melihat itu awalnya sudah mengangkat kerupuk dan hampir mencolek sambal, tapi langsung mengurungkan niatnya.

Murni yang duduk di sampingnya tampak santai. Ia menyuap nasi, lauk, dan sambal tanpa ragu, sambil sesekali menggigit kerupuk. Dahi Murni mulai berkeringat, tapi ia tetap makan dengan nikmat.

Kaan menoleh ke arahnya, dan menyipitkan matanya ketika melihat betapa lahapnya istrinya itu makan sambal.

Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Murni,

“Jangan banyak-banyak makan pedas. Nanti perut kamu sakit.”

Murni terkekeh kecil, lalu berbalik menatap Kaan sambil menutupi mulutnya agar tidak terdengar oleh yang lain.

“Aku udah biasa, Mas. Lidah kampung,” ujarnya sambil tersenyum jail.

Kaan menghela nafas dan menggeleng pelan.

.

.

.

Di tengah keasyikan mereka makan dan berbincang, suara langkah kecil terdengar dari arah depan rumah.

“Mak, Adit la-" suara anak laki-laki itu tiba-tiba terhenti saat pandangannya tertumbuk pada dua wajah asing di ruang tamu.

Tatapannya membulat, lalu buru-buru menunduk. Di belakangnya, seorang anak lelaki lainnya ikut berhenti dan sama-sama tertegun.

Keduanya berdiri diam, canggung, seolah tak tahu harus bagaimana di tengah keramaian yang tak biasa itu.

Bu Mita segera menghabiskan suapan terakhirnya, lalu menyeka mulut dengan ujung kerudungnya, lalu bangkit mendekati kedua putranya.

“Adam, Adit, mandi dulu gih. Cepet, abis itu makan. Tuh, ada lauk enak,” katanya sambil mendekati mereka dan membelai kepala Adit, si bungsu dengan lembut.

Dua bocah laki-laki berbaju merah putih itu hanya mengangguk pelan, wajah mereka masih malu-malu.

“Iya, Mak...” gumam Adam.

Mereka pun berjalan masuk ke dalam rumah, sesekali menoleh ke belakang dan bertemu pandang dengan Leyla dan Jonathan yang hanya tersenyum hangat.

Leyla sempat membisik pada Murni,

"Itu adik-adikmu? Manis sekali mereka..." katanya dengan nada lembut.

Murni tersenyum tipis dan mengangguk.

“Iya, yang satu kelas enam SD, yang satunya kelas tiga SD.”

"Aww,” Leyla menaruh tangannya di dada, ekspresi senangnya tulus. “Aku suka anak kecil. Rumah ini penuh sekali ya, penuh cinta.”

.

.

.

Tak terasa, malam hari pun tiba, meskipun tidak setenang yang diharapkan. Bu Mita sempat kesusahan membujuk kedua orang tua Kaan agar mereka mau tidur di kamarnya.

Ia sudah menyiapkan kasur tipis dan seprai bersih, menyuruh mereka untuk istirahat di kamar utama sementara dia dan suaminya akan tidur di ruang tamu. Namun tentu saja, Leyla dan suaminya tak langsung setuju. Ia merasa tak pantas, sebagai tamu justru merepotkan pemilik rumah.

"Kami tidak bisa bu. Masa kami yang tamu malah tidur di kamar, sementara ibu sama bapak harus tidur di luar?” ucap Bu Kaan sambil geleng-geleng kepala.

“Tapi rumah ini sempit, bu. Di luar juga nggak ada tempat yang layak selain di ruang tamu, itu juga cuma tikar,” ujar bu Mita, mencoba meyakinkan.

Cukup lama mereka saling berbincang dengan nada saling menghargai, penuh sopan santun khas ibu-ibu yang sama-sama keras kepala. Sampai akhirnya Leyla tersenyum, lalu mengangguk mengalah. Ia memutuskan tidur di kamar itu bersama suaminya, meski masih terlihat agak canggung.

.

.

.

Hari pun terus berganti, dan tak terasa sudah tiga hari berlalu sejak kedatangan kedua orang tua Kaan. Leyla dan suaminya ternyata sangat menikmati tinggal di kampung. Mereka tidak terlihat risih sedikit pun, justru terlihat betah ketika mengenali kampung tersebut.

Hal itu membuat bu Mita dan pak Aryo merasa lega. Mereka sempat khawatir kedua tamu itu akan canggung atau tidak nyaman dengan suasana kampung yang sederhana.

Begitupun dengan luka di kaki Murni yang juga sudah membaik, kini ia sudah bisa berjalan seperti biasa, meski masih sedikit pelan.

Namun, pagi itu wajah Murni tampak murung. Ia baru saja mengirimkan SMS kepada atasannya, menyampaikan bahwa ia memutuskan untuk berhenti bekerja.

Sebenarnya, ia ingin menyampaikannya langsung, namun sang bos sedang berada di kota. Jadi ia pun hanya bisa mengirim pesan dengan penuh hormat melalui SMS saja.

Murni menggigit bibirnya. Ada rasa tidak enak di hatinya. Ia takut jika atasannya marah karena keputusan itu, meski ia tahu... akan lebih tidak pantas bila ia terus memaksakan diri bekerja dalam kondisi yang tidak memungkinkan.

Murni duduk di tepi kasur dengan wajah cemas, menatap layar ponsel jadulnya yang kini gelap. Ia menarik napas pelan, berusaha menenangkan hatinya, namun tetap saja pikirannya terus melayang pada pesan yang baru saja ia kirimkan itu.

Tanpa ia sadari, pintu kamar berderit pelan. Kaan masuk perlahan, lalu berdiri sejenak, memperhatikan Murni yang tampak begitu serius. Ia mendekat dan menepuk pundak Murni dengan lembut.

Murni tersentak kecil, dan langsung menoleh. Namun ekspresi terkejutnya perlahan melunak saat menyadari siapa yang datang.

“Ibu memanggil." Ujar Kaan singkat.

Murni mengangguk pelan, lalu bangkit berdiri dan berjalan bersamanya menuju dapur. Di sana, bu Mita dan Leyla tampak duduk berdampingan sambil mengupas bawang merah. Senyum santai terlukis di wajah mereka, seperti dua sahabat yang sedang berbagi resep rahasia dapur.

Leyla melirik Murni dan menyapanya dengan hangat, “Good morning, sweetheart.”

“Pagi, bu.” Balas Murni dengan senyum kecil, lalu duduk di kursi kosong di dekat mereka.

Setelah beberapa saat, bu Mita menoleh ke arah Murni dan berkata, “Gimana kalau kamu mancing aja hari ini? Sekalian cari angin segar.”

Murni tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk.

“Boleh juga, mak.”

“Saya bisa ikut?” Sahut Kaan tiba-tiba dari belakang, membuat Murni menoleh cepat.

Belum sempat Murni menjawab, dua adiknya yang tengah duduk di sudut dapur sambil menyantap sarapan langsung berseru hampir bersamaan,

“Mancing?! Kita ikut! Kita ikut!”

.

.

.

Matahari sudah naik cukup tinggi saat mereka tiba di tepi sungai. Udara pagi yang segar menyambut, disertai suara gemericik air yang mengalir tenang di antara bebatuan.

Murni duduk jongkok di tepi sungai bersama Adam dan Adit, dua adik laki-lakinya itu tampak bersemangat sejak tadi. Mereka bertiga sibuk mengais-ngais tanah basah di dekat akar pohon, membuat Kaan yang duduk tak jauh dari situ memandangi mereka dengan ekspresi bingung sambil memegang pancing bambu.

Adam yang sedari tadi memperhatikan lubang itu, akhirnya berdiri. “Udah pas nih, kak.”

Ia melangkah ke arah aliran sungai yang tenang, lalu memetik sehelai daun keladi lebar. Dengan sigap, ia menciduk air menggunakan daun itu seperti mangkuk darurat.

Dari saku celananya, Adam mengeluarkan sebungkus garam dapur, lalu menuangkannya ke dalam air di daun keladi, dan mengaduknya perlahan dengan jarinya hingga larut.

Tak lama, ia kembali mendekat ke tempat Murni dan Adit menggali, lalu menyiramkan air garam itu ke dalam lubang yang baru saja dibuat.

Kaan mendekat karena penasaran dengan hal apa kegunaan air larutan garam itu. Ia tampak sedikit bingung, antara kagum dan heran.

Tak butuh waktu lama setelah Adam menyiram air garam ke tanah, cacing-cacing mulai bermunculan, menggeliat keluar dari lubang-lubang kecil di tanah yang lembap.

Murni, dengan gerakan santai seperti sudah terbiasa, memunguti satu per satu cacing itu lalu meletakkannya di atas daun keladi lebar yang tadi digunakan Adam. Daunnya yang hijau dan lebar kini jadi tempat penampungan umpan alami yang tampak... yah, menjijikkan bagi sebagian orang.

Kaan, yang sedari tadi memperhatikan, mendadak bergidik sambil mengerutkan dahi.

“Kita akan pakai itu untuk mancing?”

Murni menoleh sambil tersenyum lebar. “Iya lah. Ini umpan paling ampuh. Ikan sungai mana ada yang bisa nolak cacing hidup.”

Kaan menatap cacing-cacing yang menggeliat di atas daun dengan ekspresi penuh ketidaksukaan.

“Kenapa mereka harus... begitu... lentur dan berlendir?” gumamnya pelan, setengah bicara ke diri sendiri.

Murni terkekeh kecil, lalu meminta pancingan miliknya yang pegang Kaan.Kaan pun segera menyerahkannya, dan memperhatikan bagaimana Murni dengan penuh percaya diri mengambil satu cacing, lalu mengaitkannya ke kail pancing dengan gerakan cepat dan terlatih. Seolah-olah ia sudah biasa melakukannya.

Setelah itu, Murni berdiri, dan langsung melemparkan kailnya ke arah sungai dengan gerakan ringan, dan benangnya jatuh dengan percikan kecil di permukaan air. Tak jauh darinya, Adam dan Adit juga melakukan hal serupa dengan gaya khas anak-anak yang penuh semangat dan sedikit berisik.

Sementara itu, Kaan masih berdiri diam, memegangi pancingnya sendiri. Ia melirik cacing-cacing itu sekali lagi, lalu menoleh ke arah sungai... dan kembali menatap cacing. Ia tidak bergerak sama sekali untuk memancing.

Murni yang menyadarinya, menancapkan ujung pancingnya di tanah, lalu berjalan mendekat.

“Mas, kenapa ndak mancing?”

Kaan menatap Murni, lalu ke cacing. “Apa tidak ada umpan lain? Seperti... roti, nasi, atau kerupuk mungkin?”

Tatapan jijik yang terpampang jelas di wajah Kaan membuat Murni langsung tertawa kecil. “Mas Kaan geli, ya?”

Kaan tidak menjawab. Tapi diamnya itu sudah lebih dari cukup sebagai pengakuan.

.

.

.

Setelah sempat geli-geli sendiri, akhirnya Kaan bisa ikut mancing juga setelah Murni membantu memasangkan cacing itu ke kail pancingnya.

Dan tanpa terasa, waktu sudah bergulir beberapa jam. Mereka berempat tampak tenang dan betah memancing di sungai. Suara aliran sungai, dan canda tawa Adit dan Adam sesekali terdengar, serta hembusan angin yang sejuk membuat suasana semakin terasa damai.

Beberapa waktu itu mereka berhasil mendapatkan tiga ekor ikan, dua dari Adit, dan satu dari Murni. Sementara Kaan dan Adam masih belum beruntung, tapi tak satu pun dari mereka merasa kesal. Justru momen itu membuat obrolan mereka semakin riuh dan kesempatan Kaan mengenal Murni yang ternyata punya sifat heboh, meski awalnya Kaan mengira Murni itu tipe orang yang tertutup dan pendiam.

Namun, damai itu tiba-tiba pecah.

Dari arah jalan setapak di pinggir sungai, beberapa bapak-bapak muncul tergesa-gesa. Wajah mereka tampak panik, dengan mereka yang datang dengan tergesa-gesa sembari membawa ember dan jeriken kosong.

Salah satu dari mereka langsung menunduk ke sungai, menyelamkan ember dan menciduk air secepat mungkin.

Spontan Murni berdiri.

“Pak! Ada apa?” Tanyanya kaget, melihat ekspresi cemas dan tegang yang tercetak di wajah mereka.

Salah satu dari bapak itu menjawab dengan tergesa, “Kebakaran! Ada rumah yang kebakaran!”

Jantung Murni seketika berdegup kencang.

Kaan pun ikut berdiri, “Di mana?”

Dan jawaban yang keluar langsung menghantam dada Murni.

“Rumah kamu, Murni!”

1
Nar Sih
ahir nya murni muncul lgi
Batsa Pamungkas Surya
up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up up
Batsa Pamungkas Surya: owh seperti ituuuu
total 2 replies
Nar Sih
ternyata kaan bisa juga ya mkn dan berbaur dgn karyawan nya ,contoh pimpinan yg baik nih ☺️
Nar Sih
oalah murni,,kmu kok lucu bener yaa,ahir nya kmu tau kan arti dari tulisan kaan yg di kirim pada mu,semagat murni terus dekati kaan sampai bnr,,jdi suami mu yg seutuh nya💪☺️
Lucy: hihi iya kak, murni kudu maju teros jangan kasih kendor
total 1 replies
luvvuyy🙈
aduhhh jd salah paham ni pstiii😭
Lucy: puasti/Chuckle/
total 1 replies
Baby Vell
hai thor aku makpir
Baby Vell: iya ka
total 2 replies
luvvuyy🙈
haiii
Lucy: hii kak😌 makasih loh udh coba baca, aku masih baru soal nulis novel pernikahan gini kak, kalau ada yg gak msuk akal, kasih tau aja ya😋
total 1 replies
Novi Susianti
sampai aku cari arti "l feel the same"😃😂
Lucy: /Chuckle//Chuckle/
total 1 replies
Nar Sih
bersabar lah murni ,dan yakinlah pasti lama,,kaan juga cinta pada mu trus kmu bisa punya ank juga dri nya
Nar Sih
semoga dgn iseng nya savelda bisa membuat hubungan kaan dan murni lebih baik lgi
Lucy: moga aja kak😁
total 1 replies
Nar Sih
lanjutt kak ,bikin murni kuat dan tangguh hinga pantas bersanding dgn kaan
Batsa Pamungkas Surya
kok saya waktu SMA di kasih pelajaran seperti itu ya
saya lulus SMA th 1997
Batsa Pamungkas Surya: ea sich.. mungkin di kira anak anak bisa lihat di google
total 2 replies
Nar Sih
bingung dgn sikap kaan ,yg kata nya suami tpi aneh ..ngak ada manis nya ,sabar ya murni kamu harus kuat dan jdilah wanita tangguh
Nar Sih
kasihan murni nya mesti sabar dan di paksa bljar kuat demi sebuah status istri dri keluarga harington ,semagatt murni kmu pasti bisa💪💪
Lucy: pasti kak. kak, kira-kira tulisannya bener gak sih? soalnya aku akhir" ini kena writing block bah, jadi bingung mau menjabarkan alur nya gimana😭
total 1 replies
Nar Sih
lama ngk up ahir nya hadir lgi walau cerita nya kadang membuat ku bungung kak thorr
Lucy: hehehe makasih udh rajin baca kak
total 1 replies
Nar Sih
masih bingung dgn murni dan kaan kak thorr
Lucy: kak, maaf ya, beberapa hari ini aku kayaknya belum bisa up😞 karena kesibukan lamaran kerja kak, tapi ku usaha kan up dua hari nanti
total 1 replies
Nar Sih
siip lanjutt kakk
Ray Aza
jangan terlalu lama berkutat dgn konflik sayang, keburu pembacanya kabur nanti. konflik boleh tp hrs dibarengi alur cerita yg berkembang jg jgn berhenti dikonflik trs. nti kek cerita seblmnya, kelamaan di mslh klimak cerita malah ga dpt. pas tokoh utama menang mlh rasanya jd b aja
Lucy: oke deh, thanks masukannya🫶
total 1 replies
Nar Sih
ternyata org yg kelihatan baik ternyata musuh ,dan untung nya ada yg nolongin murni disaat yg tepat
Nar Sih
sebetul nya sku bingung dgn crita ini kak ,masih penasaraan dgn siapa kaan kok murni ikut jdi korban nya
Lucy: masih berlanjut kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!