Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Warna jingga pada langit telah berubah menjadi biru muda, matahari mulai naik ke titik tertinggi di atas angkasa dengan memancarkan cahaya yang membuat setiap makhluk hidup merasakan kehangatan sangat tiada tara—mengusir sisa-sisa hawa dingin yang berada di udara.
Di dalam sebuah ruangan kelas salah satu gedung universitas, kini terlihat sosok Aira sedang menulis serta menjelaskan materi pembelajaran pada hari ini, membuat setiap mahasiswa serta mahasiswi diam untuk mendengarkannya dengan sangat saksama.
Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi Azka, lantaran ia saat ini sedang memikirkan tentang mimpi yang beberapa jam lalu baru saja dirinya alami, sembari terus-menerus menatap ke arah Aira—tanpa mendengarkan atau pun memperhatikan semua materi pembelajaran yang sedang diberikan oleh dosen perempuannya itu.
“Entah kenapa … aku ngerasa gerak-gerik ibu Aira hari ini beda banget … kayak … kayak dia lagi jaga dan berusaha menyembunyikan sesuatu … tapi aku nggak tahu itu sesuatu apa,” batin Azka, sedikit mengerutkan keningnya sambil mengeratkan genggaman pulpen pada tangan kanannya.
Di depan kelas sana, Aira berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersikap normal, walaupun dirinya pelan-pelan mulai merasakan sensasi sangat tidak enak pada perutnya—seolah ada sesuatu yang ingin segera dirinya keluarkan dari dalam sana melalui bibir mungilnya.
Aira berhenti sejenak, menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, berusaha menahan sedikit lebih lama rasa tidak enak pada bagian perutnya.
“Tahan … please … anak mama … tolong jangan bikin mama susah. Mama harus ngajar … Jadi, tolong pengertiannya,” batin Aira, seolah sedang mencoba untuk berinteraksi dengan sang calon buat hati, sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya sambil berusaha mengukir senyuman lebar—guna menutupi rasa aneh yang kemungkinan besar terlihat pada wajah cantiknya.
Menit demi menit berlalu, Aira terus-menerus berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan fokusnya. Namun, setiap kali dirinya membuka slide baru dan mulai menjelaskan, gelombang mual itu datang lagi—lebih kuat, lebih menusuk—hingga membuat kedua alisnya tertekuk samar, meski dengan sangat cepat dirinya luruskan kembali.
Suasana ruangan kelas yang hening membuat setiap detak jantungnya terdengar begitu sangat keras di telinga. Aira meremas ujung meja sambil terus-menerus berusaha mengukir senyuman lebar, seolah semuanya baik-baik saja.
Sekitar lima belas menit berlalu, Aira sesegera mungkin mengakhiri kelas pada pagi hari ini setelah semua materi pembelajaran dirinya sampaikan dengan begitu sangat baik. Ia bergegas bangun dari atas tempat duduk, lantas buru-buru melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan kelas—dengan membawa semua barang miliknya—tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada para mahasiswa serta mahasiswinya.
Melihat hal itu, membuat Azka spontan mengerutkan kening sempurna. Ia ingin sesegera mungkin mengejar Aira guna mengetahui sesuatu yang sedang disembunyikan oleh dosen perempuannya itu, tetapi sesegera mungkin mengurungkan niat saat tiba-tiba saja mendengar suara Rhea sedang memanggil namanya dari arah kiri.
Azka spontan mengalihkan pandangan ke arah kiri, melihat sosok Rhea yang sudah berdiri tepat di sampingnya sambil menatap ke arah pintu keluar ruangan kelas.
“Tumben banget ibu Aira nutup kelas kayak gitu … nggak kayak biasanya,” gumam Rhea, menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantiknya ke belakang telinga, sebelum mengalun pandangan ke arah Azka, “Az, ke studio, yuk … temenin gue nge-cover lagu … soalnya gue mau buat konten.”
Azka mengangguk pelan sebagai jawaban, meskipun pikirannya sama sekali tidak berada di tempat itu. Ia masih terus memikirkan sosok Aira—cara dosennya itu berjalan secara tergesa-gesa, wajah cantiknya yang entah kenapa terlihat sangat pucat, dan bagaimana pandangan mata perempuan itu bahkan tidak sempat menatap ke arah kelas barang sedetik pun sebelum pergi.
“Az?” panggil Rhea sekali lagi, sembari menepuk pelan lengan sahabat baiknya itu.
“Oh—iya, iya. Ayo,” balas Azka dengan sangat cepat, seraya memaksa untuk mengukir senyuman kecil. Ia segera bangun dari atas tempat duduk, mengambil tas, dan mulai berjalan keluar bersama Rhea.
Akan tetapi, langkah kaki Azka tanpa sadar mulai melambat saat melewati koridor panjang tempat Aira tadi berlalu. Ia bisa merasakan jejak-jejak kegelisahan yang tertinggal di udara—sekilas saja, tetapi cukup untuk membuat dada cowok itu tanpa aba-aba mulai terasa sesak.
“Kenapa beliau pergi buru-buru kayak gitu? Wajahnya kelihatan nggak enak banget … ada apa sebenarnya sama ibu Aira?” batin Nael, mengembuskan napas panjang beberapa kali, berusaha menenangkan pikirannya yang sudah berubah menjadi sangat kacau saat ini—tetapi semakin dirinya paksa, pertanyaan itu justru terus-menerus berputar di dalam benaknya.
“Azka … ayo, dong. Jangan ngelamun terus.” Rhea tanpa aba-aba memberikan cubitan cukup kencang pada lengan kanan Azka.
Azka refleks melebarkan mata saat merasa cubitan dari Rhea. Ia buru-buru mengalihkan pandangan ke arah sahabatnya itu berada, sebelum pada akhirnya menganggukkan kepala pelan sebagai jawaban.
Rhea mendengus pelan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Lu lagi kenapa, sih? Kayak ada yang lagi lu pikirin banget … Lu habis mimpi buruk lagi, ya? Atau ada masalah lagi sama kedua orang tua lu?”
Azka hanya bisa mengukir senyuman samar, lantas merangkul pundak Rhea—berusaha menyembunyikan semuanya dari sahabat baiknya itu—karena akan menjadi sesuatu yang sangat rumit jika dirinya mengatakan sejujurnya.
“Semoga aja nggak ada apa-apa … aku benar-benar berharap banget ibu Aira baik-baik aja.”
•••
Suara seseorang sedang berusaha memuntahkan semua isi perut terdengar memenuhi bagian dalam sebuah ruangan toilet gedung universitas, membuat kesunyian yang sedari tadi sedang melanda seketika menghilang entah ke mana.
Di belakang salah satu wastafel, kini terlihat sosok Aira sedang sedang bertumbuh dengan kedua tangan ramping nan lentiknya pada tepian marmer. Bahunya naik-turun, napasnya tersengal-sengal, dan mata indahnya mulai berkaca-kaca akibat menahan rasa mual yang tidak kunjung mereda sedari tadi.
Aira memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya.
“Tolong … jangan sekarang …,” bisik Aira, nyaris tidak terdengar sama sekali, seolah sedang mencoba bernegosiasi dengan tubuhnya sendiri. Telapak tangannya bergerak meraba bagian bawah perutnya yang mulai terasa kencang dan sensitif—memberikan sedikit rasa nyaman pada dirinya walaupun hanya sementara.
Beberapa detik berlalu, Aira berusaha berdiri tegak. Namun, tubuhnya kembali melemah, memaksanya untuk memegang kuat wastafel agar tidak terjatuh.
Aira menatap pantulan dirinya di dalam kaca cermin—wajah cantiknya telah berubah menjadi sangat pucat, rambut panjangnya sedikit berantakan, dan senyuman palsunya telah menghilang sepenuhnya.
“Aku harus kuat … aku harus bisa,” gumam Aira, berusaha memberikan afirmasi positif kepada dirinya sendiri.
Setelah menggumamkan akan hal itu, Aira dengan sisa tenaga yang ada berusaha untuk berjalan keluar dari dalam ruangan toilet. Namun, sebelum dirinya sempat melangkah pergi, terdengar suara pintu terbuka secara perlahan-lahan, membuat dirinya spontan membelalakkan mata dan menahan napas.