NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 — Bisikan Angin di Malam Hari

​Sore itu, suasana Desa Awan Jingga terasa tegang, bukan karena Festival Panen, melainkan karena bisikan baru yang lebih menakutkan daripada gosip perjodohan.

​Angin yang bertiup dari Pegunungan Tujuh Bintang membawa bukan hanya dingin, tetapi juga bau binatang buas. Sejak matahari terbenam, dua ekor serigala liar terlihat di batas hutan, terlalu dekat dengan ladang jagung yang baru dipanen dan kandang ternak yang berisi kambing-kambing kecil.

​Kekhawatiran itu menyebar seperti api. Para petani, yang biasanya hanya berurusan dengan cangkul dan irigasi, kini berkumpul di balai desa dengan obor dan tombak kayu yang tumpul. Ketakutan itu nyata. Kerugian panen bisa dipulihkan, tetapi kehilangan ternak adalah bencana bagi keluarga desa.

​Mei Lan berdiri di ambang pintu rumahnya, mengenakan jubah hangat. Ia bisa mendengar teriakan panik dan instruksi yang tidak teratur dari Kepala Desa Liang.

​“Semua laki-laki harus membawa senjata!” teriak Kepala Desa Liang. “Kita harus mengusir mereka sebelum fajar! Shan Bo, kau pimpin kelompok di selatan!”

​Shan Bo, meskipun cemburu, adalah pemuda desa yang bertanggung jawab. Ia mengangguk, mengumpulkan kelompoknya. Namun, Mei Lan melihat keraguan dan ketakutan di wajah para petani. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa hidup damai, bukan pemburu.

​Tiba-tiba, mata Mei Lan secara otomatis mencari arah hutan bambu. Rho Jian.

​Ia adalah seorang prajurit. Ia memiliki keterampilan yang mereka butuhkan. Tetapi ia juga seorang asing, seorang yang dicap Pengkhianat. Akankah ia ikut campur dalam masalah desa yang ia jauhi?

​Mei Lan tidak bisa diam. Didorong oleh naluri yang bercampur antara kepedulian pada desa dan keinginan untuk melihat Jian, ia menyelinap keluar.

​Ia mengikuti rombongan Shan Bo menuju batas ladang. Udara dipenuhi suara decakan obor yang menyala dan dengusan ketakutan. Kabut yang selalu menyelimuti sawah kini terasa lebih tebal, menjadi selimut yang menyembunyikan ancaman.

​“Shan Bo,” panggil Mei Lan. “Kau harus minta bantuan pria asing itu.”

​Shan Bo berbalik, wajahnya yang penuh keringat tampak marah. “Tidak! Kita tidak butuh orang luar yang membawa kesialan! Kita bisa mengatasi serigala liar ini.”

​“Ini bukan tentang kesialan, Shan Bo, ini tentang keterampilan!” balas Mei Lan, suaranya tajam. “Kau tahu kita tidak punya pemburu. Serigala itu akan kembali! Dia adalah seorang prajurit!”

​“Aku tidak akan meminta bantuan dari orang yang mencuri perhatianmu,” desis Shan Bo, cemburunya mengalahkan akal sehatnya. Ia berbalik, memimpin kelompoknya yang gentar.

​Mei Lan tahu ia tidak bisa memaksa. Dengan tekad yang keras, ia berbalik dan berlari menuju Gudang Padi Terkutuk.

​Jian sedang duduk di ambang pintu gudangnya, memijat pergelangan tangannya. Ia sudah mendengar keributan di desa. Suara teriakan panik dan langkah kaki yang tidak teratur. Ia tahu itu bukan pencuri, melainkan ancaman dari alam liar.

​Ia tidak ingin ikut campur. Ia adalah bayangan. Ia telah bersumpah untuk tidak terlibat dalam masalah siapa pun.

​Tiba-tiba, Mei Lan muncul dari kegelapan hutan bambu, terengah-engah. Napasnya terlihat sebagai uap putih di udara dingin.

​“Jian,” kata Mei Lan, terengah-engah. “Kau harus membantu. Ada dua serigala liar di batas ladang. Mereka akan membunuh ternak dan mengancam warga.”

​Jian menatapnya. Ia tidak menunjukkan emosi, tetapi di matanya ada pertanyaan: Mengapa Kau datang kepadaku?

​“Desa itu membencimu. Mereka menyebutmu Pengkhianat dan pembawa kesialan,” kata Jian, nadanya datar.

​“Mereka takut,” balas Mei Lan. “Ketakutan membuat mereka mengatakan hal bodoh. Tapi mereka butuh bantuan. Mereka butuh Kau. Kau punya kemampuan, Jian.”

​Jian bangkit. Ia mengambil jubahnya, dan untuk pertama kalinya, Mei Lan melihat Jian mengambil senjata—bukan pedang yang besar dan mencolok, melainkan sebuah pisau berburu panjang yang tersembunyi di balik pinggangnya.

​“Aku akan melakukannya,” kata Jian, berjalan melewatinya. “Tapi bukan untuk mereka. Untukmu. Agar Kau tenang.”

​Mei Lan merasa jantungnya berdebar. Tindakan Jian itu begitu protektif, begitu nyata. Itu adalah sisi lembut yang ia duga tersembunyi.

​Mereka berjalan kembali ke ladang. Saat tiba, kekacauan sudah mencapai puncaknya. Para petani telah menemukan serigala-serigala itu. Mereka melemparkan obor dan tombak dengan panik, tetapi malah membuat serigala-serigala itu semakin ganas.

​Kepala Desa Liang berteriak, panik, sementara Shan Bo mencoba menahan garis pertahanan yang goyah.

​Rho Jian melangkah masuk ke dalam kekacauan itu. Ia tidak membawa obor. Ia bergerak dalam bayangan, secepat hembusan angin.

​Para petani terkejut melihat sosok asing itu. Jian tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya menarik pisau panjangnya, cahaya bulan menyinari bilahnya sebentar, dan kemudian ia menghilang ke dalam kabut dan kegelapan di belakang kandang ternak.

​Terdengar suara geraman yang dalam, diikuti oleh dua pekikan tajam dan patah yang membuat Mei Lan merinding. Semuanya hening.

​Dua menit berlalu. Tidak ada suara. Para petani, termasuk Shan Bo dan Kepala Desa Liang, berdiri kaku, ketakutan, dan terkejut.

​Jian kembali, berjalan keluar dari kabut, pisau di tangannya sudah dibersihkan dan disarungkan. Ia tidak membawa bangkai serigala itu, ia hanya berdiri di sana, di batas ladang, setenang patung.

​“Mereka pergi,” kata Jian, suaranya pelan, dingin, namun terdengar jelas di keheningan yang mencekam itu. “Mereka tidak akan kembali. Aku telah menandai daerah itu. Mereka tahu ini bukan wilayah mereka lagi.”

​Ia tidak meminta pujian. Ia tidak meminta bayaran. Ia hanya berdiri di sana sejenak, menatap Mei Lan yang berdiri di belakang Shan Bo, lalu berbalik dan berjalan kembali menuju hutan bambu.

​Para petani, yang masih terkejut, tidak bergerak. Mereka hanya memandang punggung Jian yang menghilang.

​Kepala Desa Liang, yang biasanya ambisius, kini terlihat gemetar. “Dia… dia orang yang berbahaya,” bisiknya. “Dia bergerak seperti iblis.”

​Shan Bo menatap kepergian Jian, cemburunya kini bercampur dengan rasa rendah diri yang menyakitkan. Jian telah melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan.

​Mei Lan tidak peduli pada bisikan-bisikan itu. Ia hanya melihat seorang pria yang mempertaruhkan keselamatannya untuk desa yang membencinya. Ia melihat seorang pria yang melakukan hal yang benar, bukan untuk kehormatan, tetapi untuk ketenangan Mei Lan.

​Ia melangkah maju sedikit, ingin memanggilnya, ingin mengucapkan terima kasih. Tetapi Jian sudah hilang.

​Malam itu, Desa Awan Jingga perlahan kembali tenang. Beberapa petani mulai berani kembali ke kandang ternak mereka, beberapa lainnya sibuk memuji kemampuan Shan Bo (untuk menjaga garis pertahanan yang bahkan tidak diserang).

​Mei Lan duduk di kursinya, tetapi ia tidak bisa menenun. Jantungnya masih berdebar, bukan karena takut pada serigala, melainkan karena gambaran Rho Jian bergerak dalam bayangan.

​Keanggunan yang mematikan. Kekuatan yang tersembunyi. Dan mata yang, saat menatap Mei Lan di batas ladang, memancarkan sesuatu yang menyerupai kelembutan.

​Ia membayangkan bagaimana tangan Jian, yang kasar dan kuat, bisa memegang pisau dengan keahlian mematikan. Dan ia teringat bagaimana tangan itu juga yang dengan lembut mengambil jubahnya yang basah dari sungai kemarin pagi. Kontras itu, antara prajurit yang dingin dan pelindung yang tersembunyi, sangat memikat.

​Ia berjalan ke jendela, membuka tirai bambu yang tipis. Di luar, langit gelap. Angin malam berbisik di daun-daun bambu, dan suara itu terdengar seperti suara Jian yang serak, memanggil namanya.

​Ia melakukannya untukku.

​Pikiran itu, sesederhana itu, sudah cukup untuk membuat pipi Mei Lan memanas. Rasa rindu yang manis dan perlahan itu kini semakin kuat, berubah menjadi dambaan yang membara, rasa ingin tahu yang tak terpuaskan.

​Mei Lan hanya bisa memikirkan Jian. Apakah ia terluka? Apakah ia kembali ke gudang padinya yang dingin? Apakah ia menyadari bahwa tindakannya telah membuat seluruh benteng pertahanan Mei Lan runtuh?

​Di Gudang Padi Terkutuk, Rho Jian duduk di lantai kayu, menyeka pisau berburunya. Bilah itu bersih, tetapi Jian bisa merasakan sisa emosi yang menempel di sana.

​Ia melakukannya. Ia melanggar sumpahnya untuk tidak terlibat. Dan ia melakukannya karena tatapan mata Mei Lan.

​Perasaan itu tidak asing baginya, tetapi ia sudah lama sekali tidak mengalaminya: kewajiban yang didorong oleh hati, bukan oleh panji istana. Ia menyadari bahwa tindakan melindungi ternak desa itu jauh lebih memuaskan daripada memenangkan pertempuran politik untuk istana. Itu adalah tindakan yang nyata, langsung, dan tidak dikotori oleh intrik.

​Jian menutup matanya. Ia merasakan kelelahan yang luar biasa, tetapi ia tahu itu bukan kelelahan fisik. Itu adalah kelelahan emosional. Kehadiran Mei Lan di hidupnya telah memaksanya untuk menjadi manusia lagi, bukan hanya bayangan.

​Ia mengambil benang sutra berwarna merah muda yang ia simpan dari hari sebelumnya. Ia membiarkan kelembutan benang itu membelai kulit telapak tangannya. Benang itu adalah satu-satunya barang miliknya yang tidak berbau mesiu, besi, atau darah.

​Jian menatap ke luar jendela. Jauh di kejauhan, ia bisa melihat cahaya lentera minyak dari rumah Mei Lan, cahaya yang tampak lebih hangat dan stabil daripada lentera lainnya. Itu adalah satu-satunya titik cahaya di lautan kegelapan.

​Ia tahu Mei Lan sedang memikirkannya. Ia tahu gadis itu kini merasa lebih terikat oleh tindakan protektifnya. Dan itu berbahaya.

​Shan Bo akan menjadi masalah. Kepala Desa Liang akan menjadi masalah. Dan yang lebih buruk, istana pasti akan segera menemukan jejaknya.

​Aku harus pergi.

​Pikiran itu muncul, tajam dan jelas. Ia harus meninggalkan desa ini sebelum badai yang ia bawa menghancurkan keindahan sederhana seperti Mei Lan.

​Namun, ia teringat saat ia melihat Mei Lan berdiri di tepi ladang, mata gadis itu dipenuhi permohonan. Bagaimana ia bisa pergi, meninggalkan kerapuhan itu sendirian menghadapi ambisi Kepala Desa Liang dan kecemburuan Shan Bo?

​Malam itu, Rho Jian dan Mei Lan, di dua tempat yang terpisah, sama-sama menatap kegelapan. Mereka sama-sama memikirkan satu sama lain, didorong oleh rasa dambaan yang manis dan terlarang. Perbedaan mereka adalah, Mei Lan sedang memimpikan kehangatan yang akan datang, sementara Jian sedang bergumul dengan keputusan berat: apakah ia harus merusak kehangatan itu demi keselamatan gadis itu.

​Jian menekan benang sutra ke pipinya yang dingin. Ia tidak bisa tidur. Ia tidak bisa pergi. Ia terperangkap dalam tenunan takdir yang ia sendiri tidak pernah minta.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!