Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Udara sore menyapu wajah Keyla saat ia berjalan menjauh dari restoran hotel. Langkahnya mantap, tapi jantungnya berdebar—sebuah campuran antara lega, takut, dan tekad yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kehidupan keduanya baru saja dimulai, dan ia baru saja mengambil langkah pertamanya untuk tidak jatuh pada cinta yang membunuhnya di kehidupan sebelumnya.
Ia menghembuskan napas panjang. “Aku bisa mengubah segalanya," bisiknya pada diri sendiri.
Namun langkahnya berhenti ketika suara berat yang sangat familiar terdengar di belakangnya.
“Keyla.”
Ia tidak segera menoleh. Sebagian dirinya ingin terus berjalan, meninggalkan pria itu dan seluruh masa depannya yang pernah menguburnya dalam kesedihan. Tapi bagian lain—bagian dirinya yang masih manusia—berhenti.
Ia menoleh perlahan.
Kenny berdiri beberapa langkah darinya, terdiam dengan wajah yang sulit dibaca. Sinar lampu hotel memantul di rambut hitamnya yang rapi, membuatnya tampak semakin dingin dan… tidak terjangkau. Namun ada sesuatu di matanya—sesuatu yang dulu tidak pernah ia lihat.
Ragu.
Kenny jarang ragu.
“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya Kenny, suaranya tenang namun ada ketegangan tipis di baliknya. “Tentang… kesalahan itu.”
Keyla menahan senyum sinis. Dulu, ia akan terbata-bata meminta maaf. Dulu, ia akan panik mengira ia berkata terlalu kasar pada pria itu.
Kini?
Ia menatap Kenny lurus-lurus. “Karena itu kenyataannya.”
Kenny mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Tentu saja.” Keyla mengangkat bahu. “Karena kamu tidak pernah berusaha mengerti.”
Itu bukan kemarahan. Bukan dendam. Hanya sebuah kenyataan.
Dan Kenny… tidak membantah.
Itulah yang membuat Keyla sedikit terkejut.
Kenny membuka mulut, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya menutupnya lagi. Sebuah hal kecil, tetapi cukup untuk membuat Keyla sadar bahwa ia bukan satu-satunya yang merasa ada yang berubah.
Keyla menghela napas. “Sudahlah, Kenny. Kita hanya melakukan apa yang orang tua kita minta. Tidak usah membuatnya rumit.”
“Hmph.” Kenny berpaling sebentar, seakan mengatur pikirannya. “Baik.”
Tanpa kata lain, ia berjalan menuju mobil, namun sebelum membuka pintu ia menoleh. “Kau ikut pulang?”
Keyla tersenyum tipis. “Tentu saja. Kamu yang mengantar.”
Kenny tidak menanggapi, tetapi matanya menatapnya sedikit lebih lama daripada biasanya. Seolah ia mencoba membaca sesuatu yang tidak ia mengerti.
**
Perjalanan pulang dipenuhi keheningan… namun berbeda dari sebelumnya. Dulu, keheningan itu terasa seperti tembok es. Sekarang, Keyla merasakan sesuatu yang aneh: keheningan ini justru membuat Kenny gelisah.
Dan itu membuat Keyla lebih rileks.
Ia bersandar dan menatap keluar jendela. Pemandangan kota yang diterangi lampu tampak begitu hidup. Dunia ini terasa lebih cerah daripada dunia di mana ia mati sendirian.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Kenny tiba-tiba.
Keyla menoleh. “Kenapa kamu peduli?”
Kenny mengetukkan jarinya di setir, jelas tidak nyaman. “Aku hanya… perlu tahu apa yang membuatmu berubah dalam semalam.”
“Orang berubah. Itu normal.”
“Tidak sedrastis itu.”
Keyla tersenyum, kali ini lembut namun menyimpan luka lama. “Kamu tidak akan mengerti, Kenny. Kamu tidak pernah mencoba mengerti.”
Kenny terdiam lagi. Namun kali ini, ia tidak tampak cuek. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja mendengar sesuatu yang tidak ia sangka-sangka.
Keyla kembali menatap jalan. Ia tahu dirinya sangat berbeda dari kehidupan sebelumnya—lebih kuat, lebih berani. Ia tidak lagi menempatkan Kenny sebagai pusat hidupnya. Tapi ia tidak menyangka perubahan itu bisa mengganggu pria itu sedemikian rupa.
**
Sesampainya di rumah Keyla, Kenny memarkir mobil tanpa berkata apa-apa. Keyla membuka pintu, tetapi sebelum turun, Kenny berkata pelan:
“Keyla.”
Suara itu tidak dingin seperti biasanya. Tidak sepenuhnya. Ada sentuhan halus yang hanya orang yang benar-benar memperhatikan bisa dengar.
Keyla menoleh.
“Jika ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman… kau bisa bilang padaku.”
Keyla hampir tertawa. Hampir. Karena itu jelas bukan kalimat yang biasa keluar dari mulut Kenny.
“Kamu peduli?” tanya Keyla, suaranya tenang.
Kenny terdiam sesaat. “Aku… bertanggung jawab.”
Bukan jawaban yang diinginkan siapa pun, tapi untuk Kenny, itu sudah termasuk langkah besar.
Keyla menundukkan kepala sedikit. “Selamat malam, Kenny.”
Ia turun dan menutup pintu pelan. Tidak menatap ke belakang lagi. Tidak memberi kesempatan pada hatinya untuk berdebar.
Namun saat ia masuk ke rumah dan melihat dari jendela…
Kenny masih duduk di mobil.
Tatapannya lurus ke depan, seolah mencoba membaca ulang percakapan di kepalanya. Seolah kebingungan. Seolah ada sesuatu yang mengganggu hatinya—sesuatu yang tidak pernah ia rasakan terhadap Keyla sebelumnya.
Untuk pertama kalinya…
Kenny Frenderick terlihat tidak yakin.
Dan itu hanya karena satu hal.
Keyla tidak lagi memandangnya seperti dewa.
**
Keesokan harinya, Keyla bangun dengan kepala yang masih dipenuhi percakapan tadi malam. Namun ia mencoba mengabaikannya. Perjalanan mengubah nasib tidak akan berhasil jika ia terpaku pada masa lalu atau… pada pria yang dulu membuatnya hancur.
Ia turun ke bawah, menikmati sarapan, dan berniat fokus pada rencananya sendiri—hidup untuk dirinya, bukan untuk Kenny.
Namun pukul sembilan pagi, ponselnya berbunyi.
Kenny Frenderick memanggil…
Keyla tertegun. Tidak biasanya Kenny menelepon dua kali dalam dua hari—apalagi sebelum pernikahan.
Ia mengangkat telepon. “Halo?”
“Kau ada di rumah?” tanya Kenny singkat.
“Ya. Kenapa?”
“Aku ke sana. Lima menit.”
Klik.
Telepon ditutup.
Keyla memandang layar ponselnya dengan tatapan bingung. “Apa lagi sih maunya orang ini?”
Ia tidak berdandan. Tidak perlu. Ia hanya mengikat rambutnya dan memakai hoodie cokelat. Tepat tiga menit kemudian, suara mobil mewah terdengar di depan rumah.
Keyla membuka pintu.
Kenny berdiri di sana.
Dengan kemeja hitam, ekspresi datar, dan… sesuatu di matanya yang membuat Keyla mengerutkan dahi.
“Apa?” tanya Keyla.
“Aku ingin bicara. Di luar.” jawab Kenny.
“Kenapa tidak di sini?”
Kenny menatapnya seolah itu jelas. “Karena aku ingin bicara berdua saja. Tanpa orang rumahmu mendengar.”
Keyla terdiam. Ia menatap pria itu, yang entah kenapa tampak lebih… tegang dari biasanya.
“Ada apa sebenarnya?”
Kenny menarik napas. “Aku ingin memahami apa yang berubah darimu.”
Keyla mengangkat alis. “Untuk apa?”
“Karena…” Kenny berhenti. Rahangnya mengeras. “…kau berubah, dan aku tidak suka tidak tahu alasannya.”
Keyla terdiam.
Untuk pertama kalinya sejak kehidupan keduanya dimulai…
Kenny menunjukkan sesuatu.
Bukan cinta. Bukan kepedulian penuh.
Tapi…
Perhatian.
Rasa ingin tahu yang tulus.
Sebuah celah kecil di balik dinding esnya.
Sesuatu yang mungkin—hanya mungkin—bisa tumbuh menjadi cinta di masa depan.
Keyla menghela napas. “Baiklah. Kita bicara.”
Dan saat mereka berjalan berdampingan menuju mobil Kenny…
Keyla merasakan sesuatu.
Awal.
Awal dari hubungan baru.
Awal dari cerita cinta yang perlahan—sangat perlahan—akan mengubah nasib mereka berdua.