Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 12 - Konfrontasi
Malam belum terlalu larut, tapi langit telah menelan warna-warna terakhir senja. Di kamarnya, Murni mondar mandir gelisah, meremas kedua tangannya yang di depan dada. Berkali-kali ia menoleh untuk melihat jam yang tergantung di dinding, hanya untuk mendapati waktu baru berlalu lima menit.
Mengapa malam ini terasa begitu lambat?
Murni menanti-nanti tengah malam tiba, ia tidak sabar untuk segera menemui Mahanta, untuk langsung mengonfrontasi lelaki itu. Ia telah bertekad. Apa pun hasilnya.
Obitus. Kematian. Kematian yang tragis.
Jika diingat-ingat, semua ‘roh’ atau ‘jiwa’ yang datang ke warung itu tampaknya memang meninggal tidak wajar. Lalu apa hubungannya Mahanta dengan kematian mereka? Mengapa lelaki itu mengatakan bahwa dia hanya ‘mengantar’ tapi tidak bisa menyelamatkan?
Murni pernah bertanya siapa yang bertugas menyelamatkan, tetapi lelaki itu tidak menjawab, diam seribu bahasa.
Bagi Murni yang hidup di dunia modern, semua ini terasa absurd. Itu tidak terasa seperti kenyataan. Lebih sebagai khayalan atau mimpi. Tapi Murni sadar sepenuhnya, bahwa itu jelas bukan mimpi.
Kali ini, ia harus mendapat jawaban. Jika dipikirkan lagi, hampir semua pertanyaan Murni belum ada yang dijawab dengan memuaskan, sebagian bahkan menguap begitu saja tanpa ada jawaban.
Teng. Teng. Teng.
Lonceng jam dinding berbunyi nyaring, memecah kesunyian malam. Waktu menunjukkan tepat tengah malam.
Murni hampir terlonjak. Kaget sekaligus bersemangat. Ia buru-buru meraih mantel yang disampirkan di sandaran kursi satu-satunya di kamar itu, lalu cepat-cepat berjalan ke luar.
Angin malam langsung menerpa wajahnya, mengusutkan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Tanpa peduli untuk merapikannya, Murni berjalan cepat. Toh kakinya sudah terbiasa, seolah memiliki mata untuk membawanya ke sana. Sepertinya, bahkan jika Murni berjalan sambil memejamkan mata, ia akan tetap tiba di Warung Murni tanpa kesulitan, bahkan tidak akan tersasar.
Tiba di depan Warung Murni, hujan turun tanpa jeda. Air membasuh jendela yang berembun, menciptakan ilusi bahwa dunia di luar telah menghilang. Seolah ini bukan dunia yang selama ini ia huni.
Cahaya kekuningan hangat memancar dari dalam warung. Murni mendekat dan membuka pintunya, lalu melangkahkan kaki ke dalam tanpa suara.
Matanya langsung menemukan Mahanta, dan untuk sesaat, dunia luar tak ada. Hanya pria itu. Dengan tatapan kelamnya. Dengan wajah seperti pahatan dari malam itu sendiri.
Mahanta sedang berdiri di dapur seperti biasa. Namun, malam ini ia memasak dengan pelan. Setiap gerakan seperti dilakukan dengan beban tak kasatmata.
“Warung sepi,” Murni membuka percakapan tanpa salam.
Mahanta menoleh sebentar, lalu kembali mengaduk kuah yang mengepul di panci.
“Tidak setiap malam ada yang datang. Hanya yang benar-benar butuh, atau tersesat, ada di persimpangan, atau terjebak antara hidup dan mati.”
“Tapi kau tetap ada di sini tiap malam. Apakah kau menunggu… seseorang? Secara khusus?” tanya Murni pelan. Berdebar-debar menanti jawaban lelaki itu. Entah mengapa, Murni tidak mengerti.
Mahanta terdiam, gerakannya berhenti sejenak. Tetapi kemudian dia melanjutkan apa yang sedang dia kerjakan, tidak mengatakan apa-apa.
Murni duduk di kursi dekat pintu dapur, seperti biasa. Kali ini, ia hanya menatap Mahanta dengan rasa ingin tahu yang lebih besar, bahkan tanpa ia sadari telah berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih berbahaya: rasa ingin dekat.
“Obitus,” Murni berbisik lirih.
Punggung Mahanta tampak tegang, hanya sesaat, sebelum kembali rileks. Tapi Murni menangkap itu semua karena tatapannya benar-benar terpaku pada lelaki itu.
“Apakah kau tahu siapa dia?” Murni melanjutkan pertanyaannya. Matanya mengawasi setiap perubahan Mahanta, sayang lelaki itu masih memunggunginya.
“Mahanta…” Murni memanggilnya ketika lelaki itu tidak juga mengatakan satu kata pun.
Mahanta tampak menghela napas, masih tanpa menoleh. “Dari mana kau mendapatkan kata itu?”
“Nama. Itu bukan kata,” ujar Murni. “Aku bermimpi. Dalam mimpi itu…”
Tiba-tiba ia teringat kembali mimpinya yang tidak senonoh, bahkan merasakan kembali kehangatan pelukan Mahanta, dan pipinya menjadi panas.
Sementara ia mengenang, tiba-tiba Mahanta berbalik, dan menatapnya. “Apa yang kau mimpikan?”
Murni mendadak gugup. “Aku… aku…“
Murni menunduk, meremas kedua tangannya yang terletak di atas meja.
Mahanta semakin mendekat. “Apa?” Suara lelaki itu sangat pelan, tapi jarak mereka sangat dekat, Murni seolah merasakan embusan napasnya.
“Aku…” Murni menelan ludah, mencari kata-kata, bagaimana ia bisa menjelaskan mimpinya?
“Mimpi itu tidak penting,” katanya kemudian, mengangkat wajah setelah mengumpulkan keberanian, dan mendapati Mahanta sedang menatapnya. Sangat intens. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Murni menggigil.
Bukan takut.
Melainkan…
Rasa yang asing itu.
“Bagaimana kau tahu bahwa itu adalah nama, bukan hanya kata?”
“Aku… ada yang memanggilmu dengan nama itu.” Akhirnya Murni bisa merangkai kalimat ambigu.
Sekilas, ada senyum yang sangat tipis di bibir Mahanta. “Jadi kau memimpikan aku?”
“Bukan!” Murni tersentak. “Bukan begitu! Sepertinya… sepertinya aku terlalu memikirkan kunjungan Ardi.”
“Hm?” Mahanta memiringkan kepala, seolah menggodanya.
“Jadi… ada… ada sesuatu… bayangan… yang datang. Bayangan itu tidak berwujud, tapi tampaknya… tampaknya itu marah… karena kau membiarkan manusia hidup masuk. Dan…”
Mahanta tidak memalingkan mata. Masih menatapnya dengan intens. Murni bernapas dengan susah payah. “Dan itu menuduhmu… berkata… Obitus, kau melanggar batas.”
“Hm… lalu?” Kini Mahanta agak membungkuk ke arah meja. Tingginya yang menjulang kini sejajar dengan Murni yang duduk.
Saat ini, mata mereka benar-benar saling menatap.
“Lalu… kau… menjadi asap hitam. Lalu menghilang.”
Tatapan intens itu melunak, Mahanta bahkan menarik tubuhnya, kembali tegak. Murni sampai harus mendongak untuk melihat ekspresi lelaki itu.
“Mengapa dia memanggilmu Obitus?”
“Bagaimana menurutmu?” Mahanta malah balik bertanya.
Murni menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku sudah mencari arti kata obitus di internet.”
“Apa yang kau temukan?” tanya Mahanta datar.
“Itu berhubungan dengan kematian. Kematian yang tragis.” Suara Murni lirih, tetapi seolah ada gelegar petir yang pecah. “Kau… mengatakan ada di sini untuk mengantar mereka. Tapi apa hubungannya dengan kematian yang tragis?”
Tanpa sadar Murni menatap lelaki itu penuh selidik. Hilang sudah kegugupan dan rasa malunya, tergantikan oleh rasa penasaran. Dan, dengan terkejut ia melihat sorot mata Mahanta berubah.
Bukan amarah, bukan kekosongan, melainkan… duka? Luka?
Yang jelas, Mahanta tampak kesakitan, sampai Murni ingin mengulurkan tangan untuk meremas tangan lelaki itu, dan mengatakan semua baik-baik saja.
“Tapi bukan itu yang membuatku penasaran dan... takut.” Murni melanjutkan, “Yang membuatku takut adalah…yang aku rasakan ketika mendengar nama itu. Seperti mengenal seseorang yang belum pernah kutemui.”
Kini, Mahanta balas menatapnya. Dan untuk sesaat, kesakitan yang dilihat Murni di sana berubah menjadi… entahlah… kesedihan? Bahkan Murni berani bersumpah, ia melihat air menggenang di kegelapan mata lelaki itu.
Keheningan tumbuh seperti tanaman liar yang merambat di antara mereka.
Di luar, hujan makin deras. Di dalam, jantung Murni berdetak keras, terlalu keras untuk seorang yang telah mengambil jalan selibat.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran