Azam Rizki Van Houten---Tuan muda tengil, tapi patuh dan taat pada orang tua. Kecelakaan hebat hari itu di karnakan kecerobohannya yang ugal-ugalan mengemudi membuatnya harus menerima di terbangkan ke Australia. 5 tahun kemudian ia kembali. Sang bunda merencanakan perjodohannya dengan Airin--gadis yang begitu di kenalnya. Namun, kali ini Azam menentang permintaan bundanya, di karnakan ia telah menikah diam-diam dengan gadis buta.
Arumi Afifa Hilya, kecelakaan hari itu tidak hanya membuatnya kehilangan penglihatan, tapi gadis malang itu juga kehilangan adik yang paling di sayangnya--Bunga. 5 tahun kemudian seorang pemuda hadir, membuat dunianya berubah.
***
"Satu hal yang perlu lu ketahui, Zam! Lu adalah orang yang telah membuat gadis tadi tidak bisa melihat. Lu juga orang yang membuat anak kecil tadi putus sekolah. Dan lu juga yang telah merenggut nyawa adik mereka! Dengar itu, bangsat!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengemis
Azam menggelengkan kepala melihat cara Arumi makan. Nasi yang berada di wadah makanan itu hanya di cuilnya dengan ujung jari lalu di masukkannya ke dalam mulut dan dikunyah dalam waktu yang lama. Dua potong ayam goreng yang berada dalam wadah tersebut tidak tersentuh jemarinya.
Sudah 30 menit mereka berada di restoran cepat saji, tapi makanan di depan gadis itu masih tampak utuh di mata Azam.
Dia gak suka makanannya atau gimana?
"Sudah jalan seperti keong, makan pun sama kayak kerbau!!" sinisnya.
Arumi diam saja. Seharian ini telinganya telah tebal mendengar omelan dan sindiran pemuda itu. Sebenarnya dia sengaja makan pelan-pelan, agar nanti makanan yang tersisa bisa di bawanya pulang untuk makan siang Aril di rumah.
"Bang Rayen, saya sudah kenyang."
Semakin menyipit mata Azam memandang gadis itu. "Lu gak suka makanannya?" tanyanya.
"Bu-bukan, ta-tapi saya...."
Belum selesai Arumi bicara Azam lebih dulu memotong ucapannya.
"Ah, sudah lah. Kalau begitu kita pulang aja," ucap Azam, lalu berdiri dari duduk.
Cepat-cepat Arumi menutup wadah tempat makan itu sebelum berdiri.
"Heisk, kanapa makanan itu lu bawa? Bukannya lu gak suka?"
"Si-siapa bilang saya gak suka. Saya suka kok, sengaja saya sisakan agar bisa saya bawa pulang. Nanti di rumah akan saya makan sama Aril. Pasti dia senang kalau saya bawa ayam goreng. Dia kan paling suka makan ayam goreng," jawab Arumi.
Azam terdiam. Kelu lidahnya saat ini.
"Bang Rayen, ayo. Katanya mau pulang," ajak Arumi yang telah berdiri. Kotak makanan di peluknya ke dada.
"Eh, i-iya," jawab Azam tergagap. Dia mendekat berdiri membelakangi Arumi, agar gadis itu bisa memegang blazer yang di pakainya. Sebelum keluar dari restoran, Azam membungkus sekotak lagi makanan tanpa sepengetahuan Arumi.
"Azam!"
Baru saja keluar dari restoran. Terdengar suara orang berteriak memanggil namanya. Azam menghentikan langkah dan secara spontan menoleh kebelakang. Tampak Udin dan Zuleha berlari kecil ke arahnya.
Mampus gue!
Setibanya Udin di dekatnya. Azam menyalami tangan pria gemulai itu dan Zuleha--istri Udin.
"Azam, siapa dia?" tanya Udin. Matanya juga memandang kantong makanan di tangan pemuda itu.
Azam yang menyadari pandangan mata Udin, segera menyembunyikan kantong paperbag yang berisi makanan ke belakang badannya. "Hmm, ini Pi. Hmm, dia ini dari panti asuhan. Kesini mau meminta sumbangan pada orang-orang. Katanya, dia juga tersesat. Jadi Azam bantuin deh. Kasihan kan Pi? Hehehe....," jawabnya memberi alasan yang melintas di kepalanya.
Seketika Arumi melepaskan genggaman tangannya pada pakaian Azam. Raut wajahnya juga berubah cemberut.
Ishk, enak saja dia bilang aku pengemis!
Udin mengangguk. Percaya saja yang di katakan anak angkatnya itu. Karna memang dari penampilan Arumi memang demikian. Baju kurung model lama memang ciri khas anak-anak panti meminta sumbangan. "Wah, ternyata anak Pipi punya rasa kepedulian yang tinggi juga ya. Bangga Pipi sama Azam."
Arumi tersenyum sinis.
Punya kepedulian tinggi apanya?
Azam tersenyum, memamerkan barisan gigi putihnya. Wajah Arumi yang telah berubah jutek di pandangnya sesaat. "Pi, Azam duluan ya. Kasihan dia kalau kebawah sendiri, takut tersesat nanti."
"Oh, iya. Pipi juga buru-buru soalnya. Azam hati-hati ya. Sampaikan salam Pipi buat Bunda dan Adik-Adik," ujar Udin.
Azam mengangguk. "Iya, Pi. Kalau begitu Azam pergi dulu. Aunty, Azam duluan ya."
Udin dan Zuleha mengangguk.
Azam membalas dengan senyum canggung, sebelum beralih pada Arumi. "Ekhem! Ekhem!" Dia berdehem pelan, memberi kode agar Arumi kembali memegang pakaiannya. Namun, gadis itu malah diam saja, seolah tidak mengerti dengan isyarat yang di berikan Azam. "Hmm, Adik. Ayo Abang antar ke bawah," ucapnya lembut.
Arumi mengerutkan kening. Heran saja mendengar pemuda itu bicara lembut pada dirinya. Biasanya selalu berteriak dan membentak atau menyindir dengan kata-kata pedas. Sekarang malah memanggilnya mesra, pakai sebutan 'adik' lagi.
"Azam, Pipi dan Aunty duluan ya," ucap Udin berpamitan.
"Oh, iya Pi," balas Azam.
"Azam, Aunty duluan ya," ucap Zuleha sebelum melangkah pergi.
Azam tersenyum dan mengangguk memandang punggung mereka yang semakin menjauh.
"Sudah, ayo pulang," ajak Azam, lalu dia berbalik badan agar Arumi bisa memegang lagi pakaiannya. Namun, setelah beberapa detik dia berdiri memunggungi gadis itu, Arumi masih diam mematung.
"Lu kenapa?" tanya Azam seraya menoleh kebelakang.
"Saya bisa jalan sendiri!" balas Arumi ketus. Tongkat mulai di raba-rabakannya kedepan untuk memastikan jalan yang akan di laluinya aman. "Awas!" ucapnya, karna Azam menghalangi langkahnya. Tongkat di tangan juga sengaja di pukulkannya ke kaki pemuda itu.
"Eh, lu kenapa? Lu marah karna gue bilang lu tukang minta sumbangan?" tanya Azam, nyolot.
"Pikir saja sendiri!" jawab Arumi masih dengan nada sumbang. Kakinya melangkah ke depan, mengikuti arah tongkatnya.
"Awas, di depan lu ada tangga."
Seketika langkah Arumi terhenti. Dia berdiri mematung. Takut, kalau di depan benar-benar ada tangga. Kalau jatuh, lansung di urut tangga eskalator badannya.
Azam malah terkikik, senang hatinya mengerjai gadis itu.
"Ishk, pasti dia sengaja ingin mengerjai aku!" dengus Arumi pelan.
"Eh, lu mau pulang sendiri, atau mau ikut gue?" tanya Azam.
Arumi diam saja.
Azam tersenyum. "Sekali lagi gue tanya, lu mau ikut gue pulang atau lu ingin pulang sendiri? Gue hitung sampai tiga."
"Satu....."
"Dua....."
"Ti....."
"Iya, saya ikut Bang Rayen pulang," jawab Arumi cepat.
Azam tersenyum lebar.
Ternyata mudah sekali membujuk dia.
***
Ayang dan Airin baru saja tiba di Rival Global. Segera mereka turun dari mobil dan melangkah kedalam gedung tinggi tersebut.
Sesuai janji yang di buatnya dengan Airin tadi malam. Siang ini, Ayang akan mengajak putranya makan siang bersama calon menantu idamannya.
Lift mulai bergerak naik ke tingkat tertinggi gedung. Tidak lama pintu lift pun terbuka menandakan mereka, telah berada di tingkat paling atas.
Segera kedua wanita beda usia itu melangkah keluar dari kotak besi tersebut. Tujuan mereka ruang CEO yang saat ini di tempati Azkia untuk sementara waktu, sampai tahta tertinggi itu di serahkan pada Azam nantinya jika sudah menguasai perusahaan.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" teriak Azkia tanpa memandang pintu ruang kerjanya yang di ketuk dari luar.
"Assalamu'alaikum," sapa Ayang.
"Walaikumsalam....." Segera Azkia berdiri, lalu berjalan mendekati wanita yang pernah melahirkannya itu.
"Kok Bunda datang gak ngasih kabar dulu?" tanya Azkia setelah mencium tangan Ayang.
"Tadinya Bunda gak ada rencana mau kesini. Tapi, karna tadi malam Bunda sudah berjanji dengan calon menantu Bunda ini. Jadinya Bunda sempatin deh datang kesini. Oh ya, Kak. Azam mana?" jawab Ayang, di akhiri tanya diakhir kalimat.
"Ooh." Hanya itu respon Azkia. Dia memang kurang respect juga dengan Airin. Bukan termakan aduan Zahra dan Azizah yang pernah melihat Airin jalan sama laki-laki lain. Tapi, jauh sebelum kedua adiknya itu bercerita. Azkia telah dulu hilang respect dengan gadis itu. Banyak sifat Airin yang tidak dia suka. Padahal sewaktu kecil, dialah yang paling dekat dengan Airin. Bahkan Azkia sudah menganggapnya sebagai saudara sendiri.
"Kakak, Azam mana?" tanya Ayang sekali lagi.
Agak lama Azkia menjawab. Dia ingat kata-kata kembarnya agar tidak memberitahukan bundanya jika selama ini dia tidak pernah datang ke kantor.
"Kakak," panggil Ayang karna putrinya tak kunjung menjawab.
"Hmm, Azam. Azam meeting di luar sama Azura, Bun," jawab Azkia berbohong.
Ayang memandang wajah Airin yang tampak kecewa. Tangan di ulurkannya mengusap bahu gadis itu. "Airin, gak apa-apa kan, kalau hari ini makan siangnya sama Bunda saja," bujuknya.
Airin mengangguk pelan.
Ayang tersenyum, kemudian beralih memandang Azkia. "Kakak sudah makan siang belum? Kita makan siang bareng yuk?" ajaknya.
"Hmm, maaf Bunda, tapi Kakak baru saja selesai makan siang."
"Oooh. Ya sudah, kalau begitu Bunda pergi dulu ya."
Azkia mengangguk. "Iya, Bunda."
"Ayo, Airin," ajak Ayang, lalu melangkah bersama Airin keluar dari ruangan tersebut.
penasaran ending nya bakalan kayak apa Thor