Bagaimana jadinya ketika bayi yang ditinggal di jalanan lalu dipungut oleh panti asuhan, ketika dia dewasa menemukan bayi di jalanan seperti sedang melihat dirinya sendiri, lalu dia memutuskan untuk merawatnya? Morgan pria berusia 35 tahun yang beruntung dalam karir tapi sial dalam kisah cintanya, memutuskan untuk merawat anak yang ia temukan di jalanan sendirian. Yang semuanya diawali dengan keisengan belaka siapa yang menyangka kalau bayi itu kini sudah menjelma sebagai seorang gadis. Dia tumbuh cantik, pintar, dan polos. Morgan berhasil merawatnya dengan baik. Namun, cinta yang seharusnya ia dapat adalah cinta dari anak untuk ayah yang telah merawatnya, tapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Siapa yang menyangka gadis yang ia pungut dan dibesarkan dengan susah payah justru mencintai dirinya layaknya seorang wanita pada pria? Mungkinkah sebenarnya gadis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Where Are You
Morgan terbujur lemas di depan rumahnya. Sinar mentari membakar kulitnya seakan-akan matahari itu tepat berada di atas kepalanya, akan tetapi pria itu tak sekalipun mau berteduh. Dia tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Rasa lapar, haus, pusing, semua itu tidak ia rasakan demi bisa segera menemukan gadisnya, Cherry. Sudah setengah hari berlalu, tapi gadis itu tak ada di manapun.
Sebuah mobil bermerk mclaren berhenti di depan rumah Morgan, Oscar keluar dari mobil tersebut. Segera berjalan memasuki rumah temannya sembari melepaskan kacamata hitam dan digantungkan di leher kaosnya.
Oscar semakin mempercepat langkahnya tatkala melihat Morgan yang termenung di depan rumah.
"Apa Cherry belum ditemukan?" tanyanya. Ia berdiri di hadapan Morgan dengan dada naik turun dan napas yang tersengal-sengal.
Morgan mendongak. Ia kembali menghela napas melihat bahwa bukan Cherry yang kini berdiri di depannya. Pun kepalanya menggeleng pelan.
"Sorry, aku telat datang karena ada urusan mendadak," lirih Oscar, mendudukkan bokongnya di samping Morgan kemudian merangkul pundak temannya itu.
"Apa kau sudah menghubungi teman-temannya?" tanya lagi Oscar yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Morgan.
Morgan menunjukkan ponsel Cherry yang ada di genggamannya. "Aku sudah menghubungi semua teman dia yang ada dalam kontaknya, tapi tak ada satupun dari mereka yang tahu di mana Cherry berada."
"Shit." Oscar membekap mulutnya. "Jadi, dia bahkan kabur tanpa membawa ponselnya? Ke mana dia pergi?"
Morgan meletakkan ponsel itu di samping, kembali memijat kepalanya yang sangat pusing terasa hampir meledak. Sekeras apapun dirinya berpikir, ia tidak bisa menemukan alasan kenapa Cherry tiba-tiba menghilang dari rumah.
"Apa kau sudah menggeledah kamar Cherry? Barangkali di sana ada jejak penculikan,-"
Sebelum Oscar menyelesaikan bicaranya tiba-tiba Morgan dengan kuat mencekik lehernya.
"Sial, jangan katakan itu!" murka Morgan. Urat-urat di wajahnya tercetak jelas, begitu juga dengan rahangnya yang mengeras, menunjukkan bahwa dia saat ini benar-benar marah.
Oscar tersentak, tak menyangka Morgan akan sangat marah mendengar ucapannya barusan. Ia mencoba melepaskan tangan temannya itu dari lehernya karena ia tak bisa bernapas.
"Sorry," ucap Oscar dengan suara yang tercekat.
Morgan tersadar. Ia melepaskan tangannya dari leher Oscar, meninggalkan bekas tangannya begitu jelas berwarna merah. Setelah itu Oscar bernapas sangat lega sambil mengusap bagian yang paling sakit.
"Cherry tidak mungkin diculik," gumam Morgan, berusaha menyangkal hal tersebut karena ia benar-benar tidak sanggup untuk menerima kenyataan itu.
"Jika dia tidak diculik, maka kemungkinannya dia kabur. Seandainya jika memang benar dia kabur, seharusnya ada alasan kenapa dia memilih kabur. Apa kau bisa menebak apa alasan Cherry kabur dari rumah ini?" cerca Oscar, menatap wajah Morgan penuh tuntutan.
Morgan sangat tidak menerima ketika dirinya berkata bahwa Cherry diculik, maka itu artinya dia harus bisa memberikan sebuah alasan yang jelas kenapa Cherry tiba-tiba kabur dari rumah ini. Karena mustahil seseorang kabur begitu saja tanpa suatu alasan yang jelas.
Morgan meletakkan dua tangannya di belakang kepala, kemudian kepalanya menengadah. Sepertinya darahnya naik karena ia begitu merasakan nyeri di kepalanya.
Matanya terpejam erat.
"Aku tidak bisa menemukan alasan kenapa Cherry kabur selain karena dia marah malam tadi aku tidak ada di sampingnya ketika sakit," jelas Morgan.
"Tapi hal seperti itu bukan hanya terjadi hari ini saja, sudah terjadi berulang kali, dan dia tidak pernah marah dengan itu. Jadi, aku pikir alasan Cherry kabur dari rumah ini karena alasan tersebut tidak terlalu kuat," lanjutnya, mencoba mencari logika di balik kejadian ini.
"Bahkan kau sendiri pun menyadari kalau Cherry tak mungkin tiba-tiba kabur tanpa sebab. Jika dia tidak kabur maka kemungkinan besarnya dia memang diculik," timpal Oscar.
"Mari kita berhenti berdebat dan langsung cari dia. Kita tidak akan menemukan dia jika hanya diam di sini," ajak Oscar sembari beranjak dari duduknya.
Morgan mengangguk menyetujui. "Kau yang menyetir," pintanya.
"Oke," sahut Oscar.
"Apa ada tempat-tempat yang sering Cherry kunjungi?" tanya Oscar setelah berada di dalam mobil.
Mobil itu melaju perlahan supaya bisa memerhatikan sekelilingnya, tak menutup kemungkinan ada Cherry di antara orang-orang yang berlalu lalang itu.
"Aku sudah mengecek semuanya. Jangan kau kira sejak pagi aku hanya merenung di depan rumah saja. Aku sudah mencari dia ke semua tempat yang mungkin dia datangi, tapi dia tetap tidak ada," jawab Morgan. Siku tangannya ada di jendela sehingga jari-jarinya bisa menopang kepala.
"Bagaimana dengan panti asuhan yang dulu mengurus mu? Sudahkah kau mengeceknya ke sana?" tanya lagi Oscar.
Mata Morgan melebar. Benar, panti asuhan. Ia melupakannya, padahal tempat yang paling sering Cherry datangi adalah panti asuhan.
"Bawa aku ke panti asuhan!" perintah Morgan, menepuk pundak Oscar. Secercah senyuman akhirnya muncul dari bibirnya. Hatinya penuh harap kalau Cherry akan ada di sana.
Sesampainya di panti asuhan, Morgan bergegas ke taman bermain, kedatangannya di sambut hangat oleh anak-anak yang ada di sana. Mau tak mau ia pun tetap menyapa mereka dan berusaha tersenyum.
"Anak-anak, apa kalian melihat Cherry datang ke sini?"
"Cherry?" Mereka serempak menggelengkan kepalanya. "Cherry tidak datang ke sini. Kami sudah bermain di sini sejak tadi, tapi tidak melihat Cherry," jawab anak paling besar.
"Terima kasih." Morgan berdiri kembali. Ia berjalan ke rumah pemilik panti asuhan. Barangkali Cherry bersembunyi di rumahnya.
"Morgan, lama kita tak berjumpa. Bagaimana kabar mu?" tanya Ana, menghampiri pria yang ia urus sejak kecil, yang sekarang tumbuh dewasa dengan baik.
Morgan membalas senyuman Ana, mereka saling memeluk satu sama lain. Morgan mengeratkan pelukannya, mencoba mencari ketenangan dari pelukan wanita yang ia anggap sebagai ibunya.
"Apa sesuatu terjadi?" tanya Ana, merasa ada yang berbeda dari Morgan. Ia perlahan melepaskan pelukannya, memegang kedua lengan atas Morgan sembari menatap matanya.
"Cherry menghilang. Aku tidak bisa menemukan dia di mana pun. Apa kamu melihatnya?"
"Apa?" Ekspresi terkejut cukup ketara di wajah Ana. Ia membekap mulutnya tak percaya. "Kenapa dia bisa menghilang?" tanyanya.
Morgan menghirup dalam napasnya. Dengan Ana bertanya seperti itu, itu sudah menjawab pertanyaannya bahwa Cherry tak ada di sini.
"Tapi mungkin saja dia tidak menghilang, mungkin saja dia sedang bermain bersama teman-temannya tanpa seizin ku," ralat Morgan.
Morgan memilih tidak berbicara sejujurnya pada Ana. Dengan usianya yang semakin tua, ia tidak ingin membuat Ana harus ikut pusing memikirkan masalah hidupnya. Setidaknya ia sudah memastikan bahwa di sini tidak ada Cherry.
"Baiklah, aku harus pergi sekarang, Ana. Masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan," pamit Morgan.
Ana menatap punggung Morgan yang semakin menjauh. Perasaan bersalah pun semakin menyeruak dalam benaknya. Ia bingung harus memihak Cherry atau Morgan.
Di satu sisi Cherry datang kepadanya sambil menangis dan di sisi lainnya Morgan datang dengan wajah yang sedih. Yang satu ingin menghindar, yang satunya lagi mencari.
Tapi, dirinya sudah terlanjur berjanji pada Cherry untuk tidak memberitahu Morgan tentang keberadaannya.
Setelah Morgan menghilang dari pandangan, barulah Cherry keluar dari persembunyiannya.
"Terima kasih karena sudah membantu ku, Ana," ucap Cherry. Ia sangat bersyukur Ana tak memberitahu tentang keberadaannya di sini pada Morgan.
"Cherry, aku melihat betapa khawatirnya Morgan. Jika boleh memberikan saran, aku ingin kamu kembali padanya, dan selesaikan masalah kalian dengan baik-baik," tutur Ana.
Tatapan mata Cherry turun. Jika bukan karena Morgan maka dirinya juga tidak ingin pergi jauh dari sisinya. Morgan sendiri yang mendorongnya untuk pergi. Ana tidak akan pernah merasakan bagaimana sakitnya menjadi dirinya ketika melihat Morgan bersama wanita lain.
Selama ini hanya Morgan yang menyayangi dirinya, tapi sekarang Morgan sudah memiliki wanita lain dalam hidupnya. Dia sudah menyayangi wanita lain maka dia tidak akan menyayangi dirinya. Mustahil seorang wanita dan pria dewasa melakukan hubungan intim tanpa ada kasih sayang di antara mereka.
Cherry menatap mata Ana, memaksakan bibirnya untuk tersenyum, berusaha untuk terlihat tegar di matanya.
"Terima kasih karena sudah menyembunyikan keberadaan ku, tapi aku yakin dia akan datang lagi ke sini. Karena itu, aku harus segera pergi dari sini," pamit Cherry. Ia memilih untuk tidak membahas ucapan Ana sebelumnya.
"Tapi ke mana kamu akan pergi?" tanya Ana khawatir.
"Ke tempat di mana Morgan tidak akan menemukan ku," tukas Cherry. Ia melenggang pergi dari panti asuhan ini.
Ana kembali diam. Haruskah ia memberitahu Morgan saja sebelum gadis itu pergi sangat jauh dari sini? Ia tidak mungkin tidak khawatir melihat Cherry berjalan tanpa tujuan.
Sementara itu di dalam mobil kini Morgan dan Oscar sibuk terus memerhatikan sekitar. Sebuah kemungkinan kembali muncul di benak Morgan.
"Ayo kita pergi ke rumah Felix!" ajaknya.
Oscar menoleh dengan tatapan mata tak percaya. "Felix? Kenapa kita datang ke sana?"
"Aku ingat, terakhir kali Cherry dan Felix sangat akrab. Kemungkinan Cherry bersembunyi di rumahnya," ujar Morgan yakin.
Mobil pun kini melaju dengan tujuan pasti yaitu rumah Felix. Tapi meksi begitu laju mobil tetap perlahan sembari terus mencari Cherry di jalanan.
Debu jalanan beterbangan tertiup angin sore saat mobil berhenti mendadak di depan rumah mewah milik Felix.
Morgan dan Oscar keluar dari mobil dengan langkah cepat. Wajah Morgan sangat tegas sorot matanya memancarkan keputusasaan.
Setibanya di depan pintu, Morgan tanpa ragu memencet bel rumah berulang kali. Tak lama kemudian pintu pun terbuka memperlihatkan Felix yang masih setengah telanjang, mengenakan celana bermerk mahal dan rambut yang masih acak-acakan.
"Ada apa? Tumben banget kalian datang ke rumah ku?" tanya Felix santai. Ia membersihkan dua sudut matanya dari kotoran karena dirinya baru saja bangun tidur. Tidurnya pun terganggu karena suara bel yang tak berhenti.
"Di mana kau menyembunyikan Cherry?" Suara Morgan meninggi penuh emosi.
Felix terbelalak kaget. "Apa maksud mu?" pekiknya, melepaskan tangannya yang berkacak pinggang.
"Apa kau gila? Tiba-tiba datang ke rumah ku dan menuduhku menyembunyikan Cherry?" Suaranya meninggi menyaingi Morgan.
"Kau dan dia sudah cukup akrab beberapa waktu yang lalu, jadi tidak menutup kemungkinan kau menculiknya," balas Morgan, suaranya semakin meninggi saja. Pria itu seakan tengah melampiaskan amarahnya pada Felix.
Morgan langsung menerobos masuk ke dalam rumah.
"Heii!" pekik Felix. Ia hendak menyusulnya tapi tiba-tiba Oscar menahan bahunya.
"Tolong tenanglah dan jangan terbawa emosi!" tutur Oscar lebih santai supaya bisa meredakan situasi memanas ini.
"Saat ini Cherry tidak ada di rumah. Aku sudah membantunya mencari Cherry tapi hingga sore ini kami belum menemukan dia. Wajar baginya merasa gila dan marah. Jadi, aku harap kau tidak terbawa emosi juga olehnya," jelas Oscar.
Barulah setelah itu kemarahan Felix mereda. Sekarang dirinya mengerti alasan Morgan bertindak seperti itu. Mereka pun menyusul Morgan yang masuk ke rumahnya.
Felix dan Oscar berdiri di belakang Morgan yang tengah menggeledah seisi rumah Felix.
"Dengar, aku dan Cherry memang cukup akrab terakhir kali kita bersama, tapi bukan berarti aku akan menculiknya. Jikapun aku mau mengajaknya ke rumah ku, aku pasti akan meminta izin dulu darimu," ujar Felix. Ia ingin Morgan berhenti membuat rumahnya jadi berantakan.
Morgan pun seketika berhenti menggeledah. Ia membalikkan badannya menatap teman-temannya.
Felix mantap mata Morgan. "Aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba kalian menuduhku? Aku sama sekali tidak tahu di mana Cherry berada. Tapi, jika aku tahu aku pasti akan segera menghubungi mu."
Morgan mengangguk. "Aku percaya padamu." Ia menepuk pundak Felix sebelum pergi dari sini.
Felix mengiringi dua temannya yang pergi lagi dari rumahnya. Ia berdiri di depan gerbang memerhatikan kepergian mereka berdua.
"Huft!" Felix menghela napas panjang. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja dirinya dituduh menculik seorang gadis.
Felix perlahan menutup pintu gerbang.
"Felix!" Suara seorang wanita yang ia kenali tiba-tiba terdengar, membuatnya berhenti menutup gerbang. Felix melangkah keluar rumah dan....
"Cherry?" pekiknya. Sekarang dirinya benar-benar pusing dengan situasi yang terjadi.
wajar dia nggak peduli lg dgn ortu kandungnya secara dia dr bayi sdh dibuang.🥲