Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lebih dekat
Jeevan berlari menerobos kerumunan, mencari sosok kecil itu di antara ramainya manusia dan kendaraan yang berlalu lalang. Dadanya sesak. Panik. Takut. Menyesal.
Di kejauhan, ia melihat Kian berjalan cepat, tubuhnya sedikit gemetar, tangan terkepal di samping badan, menahan semua emosi yang hampir meledak lagi kapan saja.
Rohit dengan canggung berusaha menyamakan langkah, berkali-kali menoleh ke belakang memastikan Jeevan tidak membuat masalah lagi.
“Kian!! Tunggu, please!!” Jeevan berteriak, suara parau, napasnya berat.
Tapi Kian tidak berhenti. Tidak sekali pun menoleh.
Jeevan kembali ke tempat mobilnya terparkir. Ia bergegas pergi dari tempat itu.
Rohit yang mengekor ketempat dimana ia bersembunyi segera menepi agar tak kelihatan banyak orang..
Kian yang masih gemeteran menatap Rohit. " Hit.. gue takut.. gue udah keterlaluan ya?" Tanya kian gamblang
Rohit menggeleng pelan. " Yang Lo lakuin itu bener kok."
Kian terdiam mematung. Matanya rasanya ingin mengeluarkan air mata. Namun ia tahan karena merasa dirinya sudah tak memiliki tenaga lagi .
Seluruh tenaganya terkuras habis karena berlari sangat kencang hanya untuk menghindari Jeevan.
Setelah membawa kerumah. Rohit segera pamit pulang. Menurutnya, kian butuh kelonggaran waktu untuk dirinya sendiri berpikir beberapa hal, dan Rohit tidak ingin membuat kian merasa sesak.
"Kian" panggil anvita.
"Kian sayang.. turun dulu yuk. Udah malem lho. Mama tadi buatin lauk kesukaan kamu. " Katanya lirih
"Ada tamu VIP kamu juga " goda mama.
Anvita menggeleng pelan ke Jeevan. ia dan Jeevan kembali keruang tamu. Tak seperti biasanya. Jeevan menekuk wajahnya tak bersemangat.
"Saya juga pernah muda Lo nak Jeevan. Memangnya tidak ada yang mau diceritakan?" Tanyanya berbisik.
Jeevan menatap anvita , sosok ibu didalam dirinya sama seperti gracia. Sebelum Gracia mengamuk tidak sabaran karena Jeevan sulit dikendalikan perihal perjodohan.
Kemungkinan. Umur mereka tidak jauh berbeda.
Setelah beberapa kali terdiam. Akhirnya Jeevan mengatakan semuanya. Banyak sekali terjadi kesalahpahaman yang dapat anvita tangkap.
"Tapi.. anu.. emang beneran kian nyemprot air ke si perempuan itu?"
Jeevan mengangguk benar " Rohit bukti nyata Tante "
Anvita tersenyum " kamu tau gak? Dari dulu. Si kian itu gak pernah yang namanya membela dirinya sendiri. Mainan kepunyaan dia banyak yang ilang gara gara direbut Abel diam diam. Dia gak pernah marah lho. Malah dia bodoamat . " mencoba menjelaskan.
"Dia berpikir. Kalau ilang. Mamanya yang bakalan beliin lagi. Mungkin gak langsung besok, tapi dia berpikir kalau mamanya akan membelikan itu sebagai gantinya " terang anvita .
"Jadii.. maksud saya mengatakan semua itu.. Anak saya yang paling menggemaskan itu sudah dewasa nak Jeevan. Dia tau apa yang sedang dia perjuangkan dan dia mau memperjuangkan hak miliknya tanpa takut resiko apa yang akan dia dapatkan setelahnya. " Tuturnya.
"Tadi nak Jeevan juga mengatakan kalau dia membentakmu juga?" Anvita menjeda.
"Keren banget anak saya, bukankah itu lebih baik daripada dia memendam emosinya dan berakhir meledak dikemudian hari? Menurut buku psikologi yang saya baca kalau gak salah begitu sih. Hehe"
Jeevan mengangguk sekali lagi. Ada sekilas senyuman yang ia sembunyikan.
"Anak saya itu cinta banget sama kamu, lho. Gak tau cintanya lebih cinta mamanya atau sama kamu" anvita mencoba berlagak marah.
"Pfftt.."
" Kayaknya udah aman kalau Nak Jeevan mau coba ngerayu lagi," gumam mama kian sambil tersenyum kecil. Ia menepuk pelan pundak Jeevan, gerakannya penuh kelembutan seorang ibu yang mendorong anaknya untuk berani.. " Saya minta tolong ya" Seakan memberi semangat juang anak muda di dalam sisa tubuhnya.
"Kian.." panggilnya lirih
"Ini saya.. kian.. " Jeevan mencoba mengetuk pintu kamar kian pelan.
Tak ada jawaban. Hanya sunyi.
Jeevan mendekatkan bibirnya lebih dekat ke pintu, suaranya bergetar menahan sesal. "Saya minta maaf. Itu bukan seperti apa yang kamu lihat"
"Saya salah.. saya minta maaf ya" lirihnya.
Jeevan tak mendapatkan balasan dari dalam. Ia berpikir kian sudah tidur karena mengingat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.
Saat hendak berbalik, bunyi pintu terbuka perlahan.
Rambut yang indah itu menjadi acak acakan sampai menutupi matanya. "Beneran?"
Jeevan mengangguk. Ia mendekat ke pintu untuk menatap wajah yang ia rindukan. "Boleh saya masuk?"
Kian tak menjawab. Ia hanya sedikit memberikan akses jalan untuk Jeevan.
Untuk beberapa detik, hanya detak jam dan napas mereka yang terdengar
Jeevan berlutut perlahan di depan Kian, menunduk dalam-dalam. "Maaf.. saya gak bermaksud menyakiti hati kamu. "
Kian berlutut pelan mencoba menyamai jeevan, dan dengan gerakan kecil, ia mendorong keningnya ke pundak Jeevan. "Hiks.. gue takut om ganteng pergi ninggalin kian"
Air yang berusaha ia bendung akhirnya terjatuh lepas dari kendalinya.
Jeevan langsung melingkarkan tangannya, memeluk tubuh Kian erat-erat. "Nggak, sayang... nggak. Saya di sini. Saya gak pergi ke mana-mana," bisik Jeevan, suaranya bergetar.
Malam itu, mereka hanya saling berdiam dalam pelukan. Menangis dalam diam. Membiarkan luka perlahan sembuh lewat kehangatan satu sama lain.
Tak butuh banyak kata.
Kadang, cukup dengan bertahan di sisi seseorang... itu sudah jadi pengampunan terbesar.
......................
.
.
Pukul 2.00 dini hari
"Jadii.. cewek tadi siapa om?" Kian duduk bersila berhadapan dengan Jeevan
"Mantan calon tunangan saya" suaranya lirih namun terdengar begitu ramah ditelinga.
"Jadi om ganteng udah punya tunangan?" Kian tak percaya. Katanya Jeevan tidak memiliki pasangan sama sekali, tapi kenapa..
"Calon sayang.. dia calon tunangan dari kencan buta pilihan mama saya . " Jeevan menjawab dengan penuh kelembutan.
Kian tak menyangka Jeevan yang diawal pertemuan mereka secuek itu menjadi begitu lembut dihadapannya.
"Om.. mama om tau gak kalau kian suka sama om?"
Jeevan menggeleng. " Saya juga gak tau kalau kamu suka sama saya. "
Kian kesal. " Duhhh.. gimana sih. Gue tuh suka banget sama om ganteng. Yang nembak duluan, yang nyatain cinta duluan kan gue. Kenapa malah amnesia sih?" Gerutunya.
Jeevan mengendikkan bahunya. Seakan tidak percaya.
"Yaampunnn.. suka sama orang yang lebih tua ngeselin emang. Harusnya gue rekam. Gataunya ganteng ganteng pikun!"
Jeevan menyentil bibir kian pelan " mulutnyaa!"
Kian memegang bibirnya, memandang Jeevan dengan ekspresi kaget seolah baru saja dihukum.
Jeevan tersenyum tipis. Senyum itu, untuk sesaat, membuat dunia Kian terasa lebih kecil . hanya ada Jeevan dan dirinya.
Kian menunduk, memainkan ujung kaosnya. Suasana perlahan berubah lebih berat.
"Duhh.. suasana begini kalo di drama yang gue tonton kayaknya adegan selanjutnya itu..." Kian membatin tak karuan. Pikirannya terbang entah kemana.
"Tadi siang gue takut banget " lirih kian.
Jeevan masih terdiam menunggu perkataan yang akan disampaikan.
" Gue takut kalau cinta gue ke om kayak gak ada apa apanya. "
Jeevan hanya tersenyum, matanya berkilat penuh rasa yang sulit diucapkan. Ia menunduk perlahan, mendekatkan kening mereka. Merasakan napas Kian yang hangat, aroma manis dari tubuh kecil itu.
Untuk sejenak... dunia di luar kamar itu menghilang.
Yang tersisa hanya mereka berdua, dalam keheningan dini hari, dalam rasa yang makin dalam tanpa butuh banyak kata.
Kian menutup matanya sebentar, membiarkan kehangatan itu meresap. Detik berikutnya, tanpa sadar, ia memajukan wajahnya sedikit. Begitu dekat, napas mereka berbaur. Hanya perlu satu gerakan kecil...
Kian membuka mata perlahan, menatap Jeevan yang masih diam mematung.
"Kian..."
"Boleh saya peluk kamu,,?" Tanya Jeevan pelan.
Tanpa ragu. Tanpa takut lagi. Kian membalas pelukan itu, lebih erat, lebih dalam. Seolah mencoba menahan seluruh dunia agar tidak merusak momen itu.
"Kian..." Jeevan memanggil nama itu dalam bisikan.
"Boleh nggak.?" Suara Jeevan terputus. Ia terlalu takut melangkahi batas.
Kian, yang masih dalam pelukannya, “Boleh apa...?” bisiknya polos.
Jeevan menghela napas panjang. Ia menunduk, menyentuh ujung hidung Kian dengan lembut. Dalam gerakan yang sangat perlahan, memberi ruang bagi Kian untuk mundur kalau tidak nyaman. Jeevan menyentuh dahi Kian dengan bibirnya. Kemudian turun kebawah untuk menyentuh bibir kian yang memberikan sinyal hijau.
Lembut. Hangat.
Bukan ciuman penuh nafsu.
Tapi lebih seperti janji suci.
Bahwa mulai malam ini... ada sesuatu yang berubah di antara mereka.
Kian menutup matanya, mengeratkan pelukannya.
“saya suka kamu kian…” bisik Jeevan dengan mengecup rambut Kian.
Kian mengangguk haru sambil menundukkan kepala. Ia rasanya ingin menangis.
.
.
.
...****************...