Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?
**
Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24—Murid Inti (2)
“Aku tahu,” ujar Duan Fang sambil menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu, ekspresinya santai. “Aku dengar namamu dari Tetua Qian. Dan… aku ada di sana saat kau bertarung melawan Yu Xinyi. Gaya bertarungmu… ulet, hampir seperti orang yang tidak mengenal rasa takut.”
Xu Yin mengangguk sedikit, tidak tahu harus menjawab dengan apa. Dalam pikirannya, hanya ada kewaspadaan dan kecurigaan pada Duan Fang. Hatinya telah membeku dan baginya, seluruh Murid di Sekte Tiangu adalah musuh. Ia tidak ingin berteman ataupun bersinggungan secara langsung dengan Murid Sekte Tiangu.
Tetapi, satu hal yang ia rasakan dari Murid Inti satu ini. Keramahan. Yang entah asli atau palsu. Akhirnya, Xu Yin pun membuka mulutnya dan berkata pelan. “Terima kasih. karena tidak ikut mendiskriminasiku.”
Saat mendengar ucapan itu, Duan Fang menatap Xu Yin dengan wajah yang berbeda dari Murid lain. Lalu, ia tertawa kecil. “Haiyah, mereka itu… kebanyakan hanya anak-anak manja yang tidak pernah benar-benar merasakan kerasnya dunia luar. Mereka iri, itu saja. Tak semua orang punya keberuntungan untuk menjadi murid langsung dari Tetua Qian.”
Xu Yin tidak memberikan tanggapan. Ia memejamkan kembali matanya, melanjutkan meditasi.
Duan Fang tidak ingin pergi, ia terus menatap Xu Yin dengan kagum. Kemudian, ia berkata. “Dulu aku juga bukan siapa-siapa."
"Ayahku cuma petani herba di dunia fana. Aku masuk sekte ini bukan karena prestasi, tapi karena keberuntungan. Ketua Sekte Sun waktu itu menyelamatkanku dari binatang iblis. Beliau juga yang memaksaku ikut ujian masuk.” Imbuhnya, sembari tersenyum dan menatap Xu Yin.
Tanpa membuka mata, Xu Yin membalas. “Apa kau juga pernah mendapat diskriminasi?”
“Tentu saja,” jawab Duan Fang sambil terkekeh. “Waktu aku pertama kali diterima sebagai Murid Inti, mereka bahkan pernah menaruh serbuk pelumpuh di bantalku selama seminggu. Tapi aku bertahan. Karena aku tahu satu hal, dunia ini tidak pernah menyambut kita dengan ramah. Kita harus menciptakan tempat hangat kita sendiri.”
Xu Yin mengangguk, lalu membuka mata dan menatap langit-langit kamarnya. Udara dingin mulai menusuk, tapi anehnya, hatinya yang membeku terasa sedikit mencair, hanya pada Duan Fang. Lalu, ia berkata dengan nada rendah yang nyaris seperti bisikan. “Entah harus mengandalkan keberuntungan… atau tekad yang kuat."
Duan Fang tertawa pelan, lalu memukul pintu ringan. “Di dunia kultivasi, keduanya harus berjalan bersama.”
Ia kemudian mengangkat sebuah kantung teh dari dalam tas sutra surgawi. “Kau mau minum teh? Aku bawa daun teh merah dari Puncak Gunung Xianlei. Hangat dan pahitnya pas, untuk menenangkan pikiran dan memperkuat inti.”
Xu Yin mengangguk. Kemudian mereka pergi ke halaman belakang asrama untuk minum teh bersama. Walau pun Xu Yin masih merasa canggung saat berbicara dengan Duan Fang. Tetapi, Murid dari Ketua Sun itu tidak menyerah untuk mengambil hati Xu Yin.
Hari-hari setelah itu perlahan berubah.
Seperti kabut yang mulai terangkat perlahan dari lembah, kehadiran Duan Fang mulai mencairkan hati Xu Yin yang membeku.
Setiap pagi, sebelum lonceng pertama asrama berbunyi, Xu Yin akan menemukan daun teh segar tergantung di gagang pintu kamarnya, diikat rapi dengan tali merah dan secarik kertas kecil bertuliskan satu kalimat motivasi: 'Tenangkan hatimu, dan Qi akan mengalir' atau, 'Jalan bebatuan yang indah dimulai dari jalanan berlumpur'
Kadang, saat Xu Yin keluar ke halaman belakang asrama untuk berlatih teknik dasar pemula, Duan Fang sudah lebih dulu ada di sana, duduk bersila sambil menyeduh teh di atas meja batu mungil. Asapnya melingkar naik ke udara pagi yang masih dingin. Ia akan menawari Xu Yin secangkir, dan mereka akan minum dalam diam, menonton embun di pucuk-pucuk bambu menguap oleh sinar matahari yang baru lahir.
Satu bulan semenjak Duan Fang hadir di dalam hidup Xu Yin. Mereka berdua mulai berbagi dan berbincang banyak hal. Suatu waktu, mereka duduk berdampingan di bawah pohon plum berbunga ungu dengan meja teh di hadapan mereka.
Duan Fang membuka mulutnya untuk bercerita lelucon dari pengalaman pribadinya. “Kau tahu, pertama kali aku masuk ke ruang formasi, aku pikir semua pola itu hanya hiasan.”
Xu Yin mengangkat alis, merasa heran. "Kau serius?”
"Sangat serius. Aku melangkah santai, dan… kakiku menginjak pola ilusi giok.” Jelas Duan Fang, sembari menyeduh teh.
Xu Yin menahan senyum. "Dan kemudian?”
Duan Fang melanjutkan. "Aku terjebak dalam dunia ilusi selama tiga hari. Aku kira aku sudah mati dan reinkarnasi jadi pelayan dapur di Istana Surga. Setiap pagi aku harus mencuci mangkuk yang tak pernah habis!”
Xu Yin mulai tertawa pelan. "Kau bercanda.”
"Andai saja. Bahkan aku sempat membuat lagu tentang mangkuk abadi. Sampai Ketua Sun masuk sendiri untuk menarikku keluar. Sejak hari itu aku disuruh menyapu ruang formasi setiap pagi, sebagai hukuman… dan pelajaran.” Lontar Duan Fang sembari menggoyangkan cangkir teh di jemarinya.
Xu Yin menggeleng kecil. "Kau memang beda, Duan Fang.”
Duan Fang menyeruput tehnya. "Setidaknya aku membuat kesalahan dengan gaya. Kalau kau yang salah langkah... entah apa yang terjadi."
Di tengah-tengah dunia kultivasi yang penuh dengan kekejaman, permusuhan, dan dendam. Duan Fang dan Xu Yin berbagi teh bersama di pagi hari menjadi bentuk persahabatan yang paling tulus.
“Kadang aku berpikir,” kata Duan Fang lagi, sembari menyesap tehnya, “kenapa dunia ini selalu mengukur segalanya dengan kekuatan dan nama keluarga? Kita berjuang siang dan malam demi naik satu tingkat kultivasi, tapi tak ada yang benar-benar bertanya… apa kita bahagia?”
Xu Yin mengangguk sambil menatap daun-daun pohon plum yang gugur pelan ke tanah. "Jika aku disuruh memilih akan hidup sebagai apa, maka aku akan memilih menjadi daun."
Duan Fang tertawa lebar mendengar lelucon gelap dari sahabatnya itu. Lalu, ia memberikan tanggapan dengan suara yang jernih. “Lihat? Kau mulai bisa bercanda juga.”
Hari-hari berikutnya.
Di ruang latihan umum, Duan Fang mulai duduk di samping Xu Yin dengan terang-terangan. Ia tidak peduli dengan tatapan tajam yang berasal dari Hao Xin, atau senyum miring dari Li Jiayi. Ketika mereka melihat Xu Yin mencoba teknik formasi giok dengan pola yang rumit, Duan Fang tak ragu turun tangan membantu, bahkan menyumbangkan sebagian Qi-nya agar pola bisa terbentuk sempurna.
“Kenapa kau melakukan ini?” Tanya Xu Yin. Malam itu ketika mereka sama-sama menatap formasi latihan yang berhasil menyala untuk pertama kalinya.
“Karena kau adalah sahabatku,” jawab Duan Fang pelan. “Dan karena… aku ingin suatu hari nanti, kau dan aku akan menjadi kuat bersama-sama.”
Xu Yin tak menjawab. Tapi di hatinya, pernyataan itu menggema lebih lama dari mantra mana pun.
Suatu malam, badai petir melanda gunung sekte Tiangu. Angin menggila, dan sambaran petir memecah langit. Sebagian murid memilih bertahan di dalam gua meditasi, tapi Xu Yin tetap duduk di depan pondoknya, membiarkan hujan membasahi tubuh dan pakaiannya. Ia tak bergerak, menatap langit seperti menantang suratan takdir itu sendiri.
Duan Fang datang tanpa payung, hanya membawa satu lentera kecil yang nyalanya goyah tertiup angin. Ia duduk di sebelah Xu Yin tanpa sepatah kata, membiarkan hujan membasahi mereka berdua.
“Mengapa kau di sini?” tanya Xu Yin akhirnya, suaranya tenggelam dalam deru hujan.
“Karena… kau belum pergi.”
Mereka berdua diuduk di bawah hujan deras seperti dua batu di tengah sungai yang tak henti mengalir.
Hari ini adalah hari ke dua ratus empat puluh atau delapan bulan sejak Xu Yin tinggal di asrama Murid Inti. Xu Yin baru saja selesai dari pelatihan pribadi di area belakang paviliun, ia melihat sekelompok Murid Dalam yang sedang berkerumun di depan papan giok. Ternyata ada pengumuman duel resmi yang akan diselenggarakan tiga bulan lagi. Para murid inti dipasangkan untuk adu teknik dalam rangka penilaian tengah semester.
Di dalam hati, Xu Yin membaca satu persatu peserta duel itu. "Pertandingan pertama, Duan Fang vs Li Jiayi. Pertandingan kedua, Hao Xin vs Zhu Qiang. Pertandingan ketiga, Hao Lin vs Xu Yin."
Seketika, ruangan dipenuhi bisik-bisik.
"Hao Lin? Dia anak kesayangan Ketua Sekte Sun!"
"Ini jelas pembunuhan. Hao Lin berada di ranah Qi Tempering tahap awal... sedangkan murid baru itu… baru Qi Awekening 9!"
"Bukankah dulu... murid itu pernah mengalahkan Yu Xunyi dari sekte Gaogu?"
"Desas-desus mengatakan, jika akhirnya murid itu terbaring di paviliun penyembuhan selama satu tahun."
"Artinya... Qi Awekening mustahil melawan Qi Tempering, atau kau akan mati!"
"Apa Tetua Qian ingin membunuh muridnya sendiri?"
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
ibunya jadi hangat.