Sebuah novel romansa fantasi, tentang seorang gadis dari golongan rakyat biasa yang memiliki kemampuan suci, setelahnya menjadi seorang Saintes dan menjadi Ratu Kekaisaran.
Novel itu sangat terkenal karena sifat licik dan tangguhnya sang protagonis menghadapi lawan-lawannya. Namun, siapa sangka, Alice, seorang aktris papan atas di dunia modern, meninggal dunia setelah kecelakaan yang menimpanya.
Dan kini Alice hidup kembali dalam dunia novel. Dia bernama Alice di sana dan menjadi sandera sebagai tawanan perang. Dia adalah pemeran sampingan yang akan dibunuh oleh sang protagonis.
Gila saja, ceritanya sudah ditentukan, dan kini Alice harus menentang takdirnya. Daripada jadi selir raja dan berakhir mati mengenaskan, lebih baik dia menggoda sang duke yang lebih kejam dari singa gurun itu. Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Belajar Menjadi Bangsawan
Hingga dua hari berlalu dan waktu pembelajaran akhirnya dilakukan, Alice kini mulai belajar tentang tatakrama bahasa dan juga sikap.
“Anda pasti sangat kesulitan pada awalnya, namun kita awali dengan berjalan terlebih dahulu. Anda bisa mulai berlatih dengan membawa buku-buku itu di atas kepala Anda dan jangan sampai terjatuh,” ucap pelayan itu. Alice terkekeh sumbang.
“Benarkah sulit? Itu cukup mudah bagiku.” Seorang Alice Norin dari dunia modern memiliki keseimbangan tubuh yang bukan kaleng-kaleng. Mana bisa buku-buku itu menghentikan dirinya?
Alice menempatkan semua buku itu di atas kepalanya, bahkan dengan santai melemparkan buku-buku itu hingga menggunung, dan beratnya mungkin lebih dari 30 kg sekarang.
Alice berjalan dengan anggun, posturnya sempurna, dan bahkan langkah gemulai serta irama kakinya sesuai layaknya seorang Lady.
“A-Anda lulus,” gugup pelayan itu, tak menyangka. Alice tersenyum bangga dan menurunkan semua buku dari atas kepalanya dan kini mulai dengan pesta teh.
Cara memegang teh, menaruh gula batu, dan meminum teh itu sendiri. Semuanya ditata dengan baik, dan dengan sangat percaya diri, pelayan itu menunjukkan cara melakukannya dengan sangat terperinci. Hanya mencontohkan saja, namun Alice dalam sekali lihat sudah dapat melakukannya dengan sangat baik.
Pelayan itu kembali tertegun, dan selanjutnya adalah dansa. Jangan ditanya lagi, Alice adalah penari andal. Bila untuk ukuran dansa, dia juga pasti bisa. Dan sesuai dengan ramalan, Alice melakukannya dengan sempurna.
“Duchess, apakah Anda ingin meledek saya?” tanya pelayan itu sinis, merasa dipermainkan atas semua yang dia lakukan.
“Meledek? Apa Anda tidak salah bicara?” Alice kini berbicara layaknya seorang Nyonya yang beretika.
“Anda sebenarnya sudah mengerti tatakrama kebangsawanan, bukan? Anda sengaja mengundang saya untuk mempermalukan saya?” ucap wanita itu lagi, tidak terima.
“Apa maksud Anda?” Dibandingkan dengan menyangkal, menanyakan kembali adalah bagian mematikan dalam etika bangsawan. Hal itu dapat membuat lawan bicara yang baru saja melupakan etikanya menjadi terperangah dan tak sanggup berkata-kata.
“Sepertinya saya harus melaporkan kejadian ini pada suami saya, atas ketidaksopanan yang ditunjukkan oleh Anda.” Alice berbalik dan akan keluar dari ruangan itu.
“Dasar budak rendahan! Kau bahkan tak akan bisa menghadiri pesta di kerajaan!” pekik wanita pelayan itu.
“Akan saya ingat baik-baik penghinaan itu! Tangkap dia!” Lucian ternyata sudah ada di ambang pintu. Sontak Alice tersenyum dan menatap suaminya itu yang tampak murka.
“Lucian, saya baik-baik saja.” Alice memeluk Lucian dan menatapnya dengan lembut.
“Maafkan saya, Alice.” Lucian menghela napas kasar.
“Bukan apa-apa, saya juga tidak apa-apa. Padahal saya belum menyelesaikan semua pelajaran saya. Bagaimana dengan pelajaran bahasa isyarat?” tanya Alice sambil menghela napas kasar.
Bahasa isyarat dalam lingkup wilayah kebangsawanan amat luas maknanya, dan itu cukup sulit dipelajari. Bahkan para Lady akan mempelajarinya sampai bertahun-tahun lamanya.
“Perlahan saja,” Lucian menenangkan Alice sambil menyerahkan buku panduan. Alice tersenyum dan merasa lelah.
Nyut!
Kepalanya berdenyut sakit. Lucian memegangi tubuh Alice yang mulai tidak stabil. Kekhawatiran terpampang jelas dari raut wajah Lucian.
“Penggal wanita sialan itu!” pekik Lucian tanpa ampun. Alice tertegun menatap sorot mata membunuh yang begitu kentara dari mata Lucian.
“Saya baik-baik saja, Lucian. Jangan berlebihan.” Alice berusaha menenangkan Lucian yang sudah murka.
“Saya akan melindungi Anda, Alice, apa pun yang terjadi.” Lucian mengangkat tubuh Alice dan membawanya ke kamar. Seorang dokter lekas dipanggil untuk memeriksa kondisi Alice.
Memang benar bila Alice kelelahan, namun bukan hanya karena latihan tatakrama kebangsawanan saja, tapi juga karena bekerja yang sangat berlebihan hingga menghabiskan waktu pribadinya yang seharusnya digunakan untuk beristirahat.
“Jangan menghukum pelayan itu berlebihan, Lucian. Bisakah Anda menemani saya saja?” Alice menggenggam tangan Lucian saat pria itu hendak bangkit dan bersiap menghukum sang pelayan.
“Namun Anda menjadi seperti ini. Maaf, dan penjara saja terlalu mudah baginya.” Lucian kembali duduk.
“Menjadi pemimpin bukan menyalahgunakan kekuasaan dan menggunakannya untuk menindas yang lemah. Lucian, Anda adalah seorang pemimpin dan cobalah bersikap adil.” Alice tersenyum tulus. Lucian terdiam dan akhirnya mengangguk pelan.
.
.
.
Setelah kejadian hari itu, banyak warga yang merasa khawatir atas kondisi Duchess mereka. Bahkan beberapa bangsawan dari wilayah Corvin sengaja datang berkunjung untuk menjenguk Alice.
“Maaf, Duchess tidak boleh ditemui siapa pun kali ini. Dia sedang beristirahat.” Itulah jawaban dari Lucian saat ada orang yang ingin melihat kondisi sang Duchess.
Memang cukup disayangkan, namun sikap overprotective yang dilakukan Lucian juga bukan tanpa alasan. Dia juga tak ingin melihat tubuh Alice melemah dan membuatnya kian sakit.
Ditemui oleh bangsawan bukan perkara mudah. Meski seorang yang sakit, dia juga tetap harus melakukan tatakrama. Dan itu belum cukup bagi Alice saat ini.
Sedangkan itu, Alice di kamarnya kini sudah mulai berlatih tatacara menggunakan kipas dan bahasa isyarat. Dia juga mulai sedikit demi sedikit paham, tak ada bedanya dengan tatacara seperti sandi dalam perang. Ternyata para bangsawan juga menggunakannya untuk berperang secara halus.
Alice teringat dengan kehidupan sebelumnya, di mana dirinya tengah berada di Korea Utara. Di sana amat ketat, bahkan apa yang ingin diucapkan tak boleh diucapkan langsung oleh lisan bila itu berhubungan dengan ketidakmampuan masyarakat atas kinerja pemerintahan.
Sistem isyarat itu digunakan untuk menafsirkan kata-kata mereka. Selain itu, Alice juga seorang yang kompeten dalam bahasa isyarat untuk mereka yang mengalami disabilitas atas pendengaran. Alhasil, saat ini Alice juga cukup mudah mempelajarinya.
“Lucian!” teriak Alice dari lantai dua. Lucian menatap Alice, di mana pagi itu dirinya dan para kesatria tengah lari pagi.
Alice tersenyum hangat. Sebagai simbol ucapan ‘selamat pagi’, dia juga melambaikan tangan tanda menyapa. Lucian tampak mengangkat alisnya sambil terkekeh. Alice menunjuk ke arah matahari, di mana fajar mulai menyingsing, pertanda ‘pagi ini’. Lucian mengangguk paham. Alice menunjuk dirinya dan Lucian lalu mengikat simpul kecil di tangannya, pertanda ‘kita’, setelahnya memperlihatkan dirinya tengah makan. Lucian tertawa melihat tingkah imut Alice namun amat mudah dipahami. Lucian menganggukkan kepalanya.
Alice tersenyum bahagia dan menatap para kesatria sembari tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mengucapkan selamat pagi, jelas hal itu dilakukan agar Alice tak harus berteriak.
Di kalangan bangsawan, berteriak adalah suatu simbol yang sangat tidak sopan dan tidak sesuai dengan pengaturan seorang Nyonya atau Lady.
Setelah lari pagi, Lucian bergegas ke kamarnya dan mandi. Dia langsung pergi ke ruang makan, di mana Alice tampak sudah tersenyum menyambutnya.
“Selamat pagi, Lucian.” Alice tersenyum merekah dengan senangnya.
“Selamat pagi, Alice. Nampaknya hari ini Anda sangat senang.” Lucian mengangkat alisnya. Alice terkekeh.
“Ya, bisa dikatakan begitu. Ada hal lain juga yang ingin saya sampaikan, bolehkah?” tanya Alice. Lucian menganggukkan kepalanya.