Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 17 : Menyusun Puzzle Impian
Langit Semarang pagi itu cerah, dengan sinar matahari yang hangat menyapa kota dengan lembut.
Aira dan Raka duduk di sebuah taman kecil dekat Klenteng Sam Poo Kong, tempat yang dikenal dengan suasananya yang tenang dan penuh sejarah.
Mereka membawa bekal sederhana, roti lapis buatan Aira dan dua botol teh hijau dingin, untuk piknik kecil sambil merencanakan langkah berikutnya menuju pernikahan mereka.
Setelah kejadian dengan Rian, Aira merasa jauh lebih lega, dan hubungannya dengan Raka terasa semakin kuat.
Kini, mereka siap untuk fokus pada masa depan mereka bersama.
Aira duduk bersila di atas tikar kecil yang mereka gelar, mengenakan kemeja putih oversized dan celana pendek, rambutnya di kuncir tinggi agar tidak mengganggu saat angin bertiup.
Raka duduk di sampingnya, mengenakan kaus sederhana dan celana jogger, kameranya diletakkan di samping tikar untuk mengabadikan momen ini nanti.
Mereka berdua tersenyum sambil mengobrol santai, suasana di antara mereka terasa hangat dan penuh kebahagiaan.
“Raka, aku pikir kita harus mulai cari tempat buat acara pernikahan kita. Aku pengen sesuatu yang sederhana tapi hangat, mungkin di taman atau gedung kecil yang punya halaman,” kata Aira, menyesap teh hijaunya sambil menatap Raka dengan mata penuh antusias.
Raka mengangguk, mengambil sepotong roti lapis dan menggigitnya sebelum menjawab.
“Aku setuju, Aira. Aku juga enggak mau yang terlalu mewah, cuma keluarga sama temen terdekat, suasana yang bikin kita semua nyaman. Aku tahu sebuah taman di daerah Gedong Songo yang bagus, ada gazebo kecil sama pemandangan bukit. Kita coba liat, ya?” tanyanya, nadanya penuh semangat.
Aira tersenyum lebar, membayangkan pernikahan mereka di tengah pemandangan hijau yang asri.
“Kedengarannya sempurna, Raka. Kita atur waktu buat ke sana minggu ini, ya. Aku… aku enggak sabar buat mulai nyusun semua ini bareng kamu,” katanya, tangannya meraih tangan Raka dengan lembut.
Raka membalas genggaman itu, matanya penuh kasih.
“Aku juga, Aira. Aku… aku ngerasa hidupku jadi lebih lengkap sama kamu. Aku pengen kita wujudin semua impian kita bareng,” katanya, suaranya lembut tapi penuh makna.
Mereka melanjutkan piknik dengan suasana yang santai, berbagi ide tentang dekorasi, makanan, dan bahkan musik yang mereka inginkan di acara pernikahan.
Aira mengusulkan untuk menggunakan bunga-bunga lokal seperti kamboja dan melati sebagai dekorasi, sementara Raka mengusulkan untuk menyewa band akustik kecil yang bisa memainkan lagu-lagu favorit mereka.
Setiap ide yang mereka lempar terasa seperti potongan puzzle yang perlahan menyatu, membentuk gambaran indah dari hari istimewa mereka.
Tapi di tengah kebahagiaan itu, Aira tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatnya sedikit ragu.
“Raka… aku mau tanya sesuatu,” katanya, nadanya hati-hati.
“Kamu… kamu yakin keluargamu bakal setuju sama pernikahan kita? Maksudku, kita belum ketemu mereka sejak kita mulai seriusin hubungan ini. Aku… aku takut mereka enggak suka sama aku.” Raka menatap Aira, alisnya terangkat sebelum akhirnya tersenyum lembut.
“Aira, aku udah ceritain banyak tentang kamu ke keluargaku, ibu, bapak, sama kakakku. Mereka malah seneng banget denger aku akhirnya nemuin seseorang yang bikin aku bahagia. Ibu malah bilang dia enggak sabar ketemu kamu. Jangan khawatir, ya. Mereka bakal sayang sama kamu, sama seperti aku,” katanya, nadanya penuh keyakinan.
Aira menghela napas lega, tapi ada sedikit kecemasan yang masih tersisa.
“Aku harap gitu, Raka. Aku… aku cuma pengen mereka nerima aku. Aku tahu aku bukan orang yang sempurna, aku cuma penulis biasa, kadang aku masih struggling sama karierku,” katanya, suaranya pelan.
Raka menggeleng, tangannya menyentuh pipi Aira dengan lembut.
“Aira, kamu bukan penulis biasa. Kamu penulis yang luar biasa, novelmu udah nyentuh hati banyak orang, termasuk aku. Dan keluargaku enggak bakal nilai kamu dari kariermu, mereka bakal liat kamu dari hati kamu, dari cara kamu sayang sama aku. Aku janji, semuanya bakal baik-baik aja,” katanya, suaranya penuh kelembutan.
Aira tersenyum, merasa ada beban kecil yang terangkat dari pundaknya.
“Makasih, Raka. Aku… aku percaya sama kamu,” katanya, lalu bersandar di bahu Raka, menikmati kehangatan pria itu.
Setelah piknik, mereka memutuskan untuk mengunjungi keluarga Raka. Rumah keluarga Raka terletak di daerah Gunungpati, sebuah rumah sederhana dengan halaman kecil yang dipenuhi tanaman bunga.
Aira merasa jantungnya berdegup kencang saat mereka sampai di depan rumah, tapi tangan Raka yang menggenggam tangannya memberikan rasa tenang.
Ibu Raka, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat, menyambut mereka di pintu.
“Raka, Aira, akhirnya kalian dateng! Masuk, masuk,” katanya, suaranya penuh kebahagiaan. Aira langsung merasa diterima oleh kehangatan ibu Raka, yang langsung memeluknya dengan lembut.
“Sore, Bu. Aira… Aira seneng banget akhirnya bisa ketemu Ibu,” kata Aira, suaranya sedikit gemetar karena gugup.
Ibu Raka tersenyum, tangannya memegang tangan Aira.
“Aira, Ibu juga seneng banget ketemu kamu. Raka ceritain banyak tentang kamu, katanya kamu penulis hebat, dan yang paling penting, kamu bikin Raka bahagia. Ibu udah anggap kamu kayak anak sendiri,” katanya, nadanya penuh kelembutan.
Aira merasa air mata haru menggenang di matanya.
“Makasih, Bu. Aira… Aira harap bisa jadi menantu yang baik buat Ibu,” katanya, suaranya gemetar.
Mereka menghabiskan sore itu dengan mengobrol santai di ruang tamu rumah keluarga Raka. Bapak Raka, seorang pria pendiam tapi ramah, juga menyambut Aira dengan hangat, bahkan bercanda bahwa dia harus mencoba ikan bakar buatan Raka suatu hari nanti.
Kakak Raka, seorang wanita bernama Lisa yang bekerja sebagai guru, juga hadir dan langsung akrab dengan Aira, mengajaknya mengobrol tentang dunia kepenulisan dan buku-buku favorit mereka.
Saat malam tiba, Aira dan Raka duduk di teras rumah, menikmati angin sejuk sambil memandang bintang-bintang.
Aira bersandar di bahu Raka, merasa ada kebahagiaan yang meluap di hatinya.
“Raka… keluargamu baik banget. Aku… aku ngerasa diterima,” katanya, suaranya lembut.
Raka tersenyum, memeluk pundak Aira.
“Aku bilang apa, Aira? Mereka pasti sayang sama kamu. Aku… aku seneng banget liat kamu akrab sama mereka. Aku ngerasa kita bener-bener udah siap buat langkah berikutnya,” katanya, nadanya penuh harapan.
Aira mengangguk, matanya berbinar.
“Aku juga, Raka. Aku… aku pengen kita cepet-cepet nikah, bikin keluarga kecil kita, dan… ngejar semua impian kita bareng,” katanya, suaranya penuh mimpi.
Raka menatap Aira, lalu tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, sebuah kotak kecil berwarna biru tua.
Aira membelalak, jantungnya berdegup kencang saat Raka membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah cincin sederhana dengan batu kecil berwarna biru laut di tengahnya.
“Aira… aku tahu kita udah sepakat buat nikah, tapi aku pengen bikin ini resmi. Aku… aku pengen kamu jadi tunanganku. Kamu mau?” tanya Raka, suaranya gemetar karena haru.Aira menutup mulutnya dengan tangan, air mata bahagia mengalir di pipinya.
“Raka… ya Tuhan, iya! Aku mau!” katanya, suaranya penuh kegembiraan.
Raka tersenyum lebar, memasangkan cincin itu di jari manis Aira, lalu menariknya ke dalam pelukan.
Ibu Raka, Bapak, dan Lisa, yang ternyata diam-diam mengintip dari dalam rumah, keluar dengan tawa kecil, mengucapkan selamat kepada mereka.
“Selamat, Raka, Aira! Ibu seneng banget liat kalian,” kata Ibu Raka, matanya berkaca-kaca.
Malam itu, Aira dan Raka duduk di teras, tangan mereka bergandengan erat, cincin di jari Aira berkilau lembut di bawah cahaya bulan.
Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tapi dengan cinta yang mereka miliki, mereka siap menyusun setiap potongan puzzle impian mereka, satu per satu, hingga menjadi gambar yang sempurna.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉