Allea, yang biasa dipanggil Lea adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Awalnya dia bukan anak nakal, dia hanya anak manja yang selalu dapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun tak ada yang abadi, keluarga cemaranya hancur. Ayah dan ibunya bercerai, dan dia sendirian. Sepertinya hanya dia yang ditinggalkan, ayah—ibunya punya keluarga baru. Dan dia? Tetap sendiri..
Hingga suatu ketika, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Untuk seorang siswi sepertinya, pria itu pantasnya dia panggil dengan sebutan om, Om Davendra.
Dia serasa hidup, dia serasa kembali bernyawa begitu mengenal pria itu. Tanpa dia sadari dia telah jauh, dia terlalu jauh mendambakan kasih sayang yang seharusnya tidak dia terima dari pria itu.
Lantas bagaimana dia akan kembali, bagaimana mungkin ia bisa melepaskan kasih sayang yang telah lama hilang itu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Dua hari sebelum liburnya berakhir.
Ponsel Allea bergetar di atas meja disamping tempat tidurnya. Ia sedang bersandar di headboard kasurnya yang empuk, ia sedang membaca novel seperti biasanya. Kegiatannya terhenti, Allea meraih ponselnya. Nama di layar membuatnya enggan mengangkatnya—Ayah. Tapi ia tak ada alasan untuk tidak menjawabnya.
"Apa lagi sekarang?" gerutu nya singkat, namun ia tetap menggeser layar untuk menjawab.
"Lea, besok malam kita makan malam bersama, Ayah sudah kirim alamatnya ke Pak Jeremy," suara Pak Zean terdengar formal seperti biasa. Tidak ada kehangatan seorang ayah yang merindukan anaknya, hanya undangan yang terdengar seperti perintah.
"Aku sibuk," jawab Allea datar, meskipun ia tahu itu kebohongan. Kesibukan membaca novel dan rebahan?
"Sudah lama kita tidak makan malam bersama, Lea. Bibi Gea juga ingin bertemu denganmu," lanjut pria itu dengan nada lebih lembut, seakan mencoba membujuk putri nya itu.
Allea menutup mata, menimbang-nimbang. Ia tahu ini bukan tentang keluarga. Ayahnya selalu punya agenda terselubung di balik setiap ajakan. Tapi pada akhirnya, ia menghela napas dan menyerah. "Baiklah."
**
Keesokan malamnya, Allea tiba di restoran mewah di tengah kota. Bangunan bertingkat dengan dinding kaca besar memamerkan keindahan malam yang berkilauan. Pemandangan gemerlap kota di malam hari memang menakjubkan. Seorang pelayan membimbingnya ke meja tempat ayahnya dan Bibi Gea sudah menunggu.
"Allea, kau sudah datang!" Bibi Gea tersenyum hangat, "Kami sudah ingin menjemputmu tadi, tapi ayahmu bilang kamu akan terlambat," lanjutnya lagi dengan senyum yang entah mengapa selalu terasa palsu bagi Allea.
Ia hanya mengangguk dan duduk di kursi yang telah disiapkan. Tak ingin memberikan respon lebih pada wanita itu.
Restoran yang penuh dengan orang-orang berpenampilan elegan, suara percakapan yang pelan dan tertata memenuhi udara. Untuk sesaat, semuanya berjalan normal. Mereka berbincang, tertawa, berbagi cerita seolah-olah mereka benar-benar sebuah keluarga yang harmonis. Meskipun sebenarnya Allea hanya mengangguk-angguk dan tertawa kecil.
Tapi tak berlangsung lama, semua berubah ketika ada yang mendatangi meja mereka, seorang pria bersama seorang wanita cantik di sisinya.
Allea membeku. Tangan yang baru saja hendak meraih gelas berhenti di udara. Jantungnya berdebar kencang, seakan ada gemuruh badai di dalam dadanya yang ingin melahapnya. Davendra. Apa mungkin wanita itu, istrinya?
"Sial..." bisiknya nyaris tak terdengar.
Pak Zean, yang menyadari kehadiran mereka, tersenyum ramah dan menyambut dengan kehangatan. "Davendra, kebetulan sekali! Duduklah sebentar."
Davendra melirik sekilas ke arah Allea sebelum mengangguk sopan. "Selamat malam, Pak Zean."
Suara itu... nada itu... seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka. Seolah mereka hanyalah dua orang asing yang kebetulan berada di tempat yang sama.
Davendra menarik kursi dan duduk, tepat di sebelah Allea. Jarak mereka hanya satu jengkal tangan, cukup dekat hingga Allea bisa mencium aroma maskulin khas pria itu. Tubuhnya menegang, tangannya mencengkeram serbet di pangkuannya dengan erat.
Percakapan bisnis mulai mengalir di antara mereka, suara tawa terdengar seakan dunia sedang menertawakan dirinya. Allea merasa terjebak dalam suasana yang terlalu sempit, terlalu sesak dengan keberadaan pria itu yang muncul entah darimana.
Makanan disajikan. Allea berusaha mengalihkan perhatiannya dengan makan perlahan, tetapi semua berubah ketika tanpa sengaja, ia tersedak. Padahal ia sudah makan dengan penuh kehati-hatian.
Batuk kecilnya menarik perhatian semua orang di meja.
"Kau baik-baik saja?" tanya Bibi Gea dengan nada khawatir.
Allea mengangguk cepat, meneguk airnya, lalu menunduk, tak ingin bertemu mata dengan siapa pun.
Namun dari sudut matanya, ia bisa melihat Davendra menoleh sekilas, tapi tidak berkata apa-apa. Hanya lirikan singkat yang seakan menguliti pikirannya.
Saat makan malam hampir selesai, Allea merasa butuh udara. Dia butuh menenangkan pikirannya. "Aku ke toilet sebentar," katanya sebelum ada yang sempat menahannya.
Ia berjalan cepat, masuk ke toilet wanita dan menyandarkan tubuhnya di pintu, mencoba mengatur napas.
"Mengapa harus dia?" bisiknya. "Mengapa aku harus bertemu dengannya lagi?!"
Matanya terpejam sejenak dan mengatur nafas dan pikirannya agar tidak memikirkan pria itu, sebelum ia akhirnya keluar dari toilet. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat sosok yang berdiri di ujung lorong.
Davendra.
Pria itu bersandar di dinding, kemeja hitamnya tergulung hingga siku, tangan dimasukkan ke saku celana, ekspresinya tetap setenang biasanya.
Allea menelan ludah, berusaha mengabaikannya dan melangkah lurus melewati pria itu. Dia melangkah dengan percaya diri.
Tapi tiba-tiba, pergelangan tangannya ditahan. Seseorang menahannya.
Sentuhan itu tidak kasar, tidak juga memaksa. Hanya cukup untuk menghentikan langkahnya.
Allea menoleh, menatap pria itu dengan tatapan tajam.
"Apa ayahmu tahu kalau kau merokok?" tanya Davendra tanpa basa-basi, setelah melepas genggamannya.
Allea tersentak. Jantungnya berdegup semakin kencang tak karuan. "Apa urusanmu?"
Davendra tidak langsung menjawab, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Ayahmu akan kecewa kalau tahu," ucapnya lagi, suaranya pelan namun menusuk. Allea tak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba bersikap seperti saat itu lagi—seperti saat di gerbang sekolah.
Allea mendengus sinis. "Jangan bertingkah seolah kau peduli padaku."
Keheningan menggantung di antara mereka. Udara terasa semakin berat, membuat dada Allea sesak dan rasanya ingin menjerit keluar dari sana.
Drrt. Drrt.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Bibi Gea muncul di layar.
Ia tidak tahu kenapa, tapi ia enggan menjawabnya. Mungkin panggilan itu bisa menjadi alasan untuk pergi dari sini. Dari Davendra.
Tanpa menunggu lebih lama, ia pura-pura menjawab telepon, berbalik, dan berjalan menjauh. Allea hanya menggigit bibirnya dan terus berjalan.
...----------------...