Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DODIAKSU 25
Halimah merengkuh tubuh putranya yang kini menjadi sandaran baginya. Baginya, tidak ada hal yang lebih berharga dari putranya, Rafa. Selama Rafa ada di sampingnya, Halimah merasa sanggup menghadapi semua cobaan.
"Terima kasih, Le," ucap Halimah sambil memeluk erat tubuh Rafa. "Kamu sudah mengerti aku, Nak."
Halimah memundurkan tubuhnya dan menatap wajah tampan Rafa. "Le, antar aku ke rumah sakit, ya?" Wajah Rafa seketika menjadi cemas.
"Kenapa, Mak? Apa Mamak sakit?"
Halimah menggeleng pelan dengan wajah sedih. "Mbok de mu, dia kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit."
"Apa yang terjadi, Mak? Di mana Mbok de kecelakaan ? Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Rafa dengan khawatir.
"Tadi di depan rumahnya, Mbok de mu ditabrak oleh anak SMA dan sekarang tidak sadarkan diri," jelas Halimah dengan wajah sedih.
Rafa mengusap rambutnya, "Itu seperti karma, ya? Dulu Mbok de sering menjelek-jelekan Mak e. Sekarang Mbok de mendapatkan balasannya." Ucapan Rafa terdengar sedikit sinis.
Halimah menepuk pelan pundak Rafa, "Jangan bicara seperti itu, Le. Mbok de mu sedang mengalami musibah, kita harus berempati."
Rafa berjalan menunduk menuju ke luar, ia merasa bersalah karena telah berbicara seperti itu tentang Risma. Rafa segera menunggangi motornya dan Halimah segera naik ke atas motor.
"Mak, tolong jaga warungku, ya? Aku sudah siapkan semua bahan daganganku," ucap Halimah sebelum pergi.
Katinem mengangguk, "Iya, nanti mamak jaga warungmu. Cepat pergi dan lihat bagaimana keadaan Mbak mu Risma."
Halimah dan Rafa segera bergegas menuju ke rumah sakit terdekat. Namun, sebelum mereka tiba, Cahyo, abang Rafa, telah menelepon untuk memberitahu bahwa keadaan Risma sangat kritis dan harus dioperasi. Akibatnya, Risma dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar.
Perjalanan menuju rumah sakit itu memakan waktu hampir satu jam lebih. Setelah berkendara cukup lama, akhirnya Halimah dan Rafa tiba di tempat tujuan. Di depan mereka, terlihat sebuah rumah sakit besar dengan bangunan yang megah dan modern.
Di depan rumah sakit, terdapat sebuah area parkir yang luas dengan banyak mobil dan motor terparkir. Mobil-mobil tersebut berbagai jenis dan warna, dari mobil sedan hingga mobil SUV. Motor-motor juga terparkir dengan rapi di samping mobil.
Di latar belakang, terdapat sebuah bangunan rumah sakit yang tinggi dengan jendela-jendela yang besar dan berjejer rapi. Di atas bangunan, terdapat sebuah logo rumah sakit yang besar dan mencolok.
Di sekitar rumah sakit, terlihat beberapa orang berjalan masuk dan keluar, menunjukkan aktivitas yang sibuk di rumah sakit tersebut. Rafa segera memarkirkan motornya, dan Halimah turun dari motor, membuka helmnya dan meletakkannya di atas motor.
Mereka berdua bergegas menuju ke ruang UGD. Sesampainya di sana, terlihat Cahyo dan Sita terduduk di lantai, menangis. Seketika, jantung Halimah berdetak kencang, dan perasaannya menjadi tidak enak.
Halimah mempercepat langkahnya, menghampiri kakaknya.
Dengan wajah panik, Halimah bertanya, "Ada apa, Kang? Kenapa kalian menangis?" Halimah memegang pundak Cahyo yang sedang menangis.
Cahyo berbicara terbata-bata, "Mbak Risma... sudah tidak ada..."
Halimah terkejut, "Apa maksudnya, Kang?!" teriaknya dengan suara yang bergetar.
"Tidak ada bagaimana sih, Kang?!" teriak Halimah, namun ia segera mengerti apa yang dimaksud kakaknya.
Ia hanya syok saat mendengar berita duka yang sangat mendadak itu.
Suasana di ruang UGD sangatlah tegang dan menyedihkan. Udara terasa berat dan sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin medis yang berderak dan suara tangisan yang teredam. Wajah mereka terlihat penuh kesedihan dan kehilangan, mata mereka merah dan bengkak karena tangis.
Halimah mencoba menguatkan diri, ia sangat sedih melihat kakaknya begitu menyedihkan. Cahyo harus kehilangan istri tercinta dan kini tinggalah dia seorang diri, tanpa anak dari pernikahan mereka.
Halimah membantu kakaknya itu untuk bangkit dan mengajaknya untuk masuk melihat Risma yang sudah terbujur lemas dan dingin di atas ranjang rumah sakit. Wajah Risma nampak pucat, setengah tubuhnya sudah ditutup selimut.
Tangis Cahyo kembali pecah tatkala melihat jasad istrinya. Halimah membimbing Cahyo untuk mendekat ke Risma. Cahyo memeluk tubuh dingin itu, mencium kening dan pipinya sebelum sepenuhnya menutup wajah cantik istrinya.
Halimah dan Sita membantu Cahyo mengurus administrasi, sementara itu mereka bersiap membawa jenazah Risma pulang. Keluarga di rumah sudah bersiap menyambut kedatangan jenazah Risma. Banyak orang telah datang untuk melayat dan ikut untuk menguburkan jenazahnya.
Setelah semua persiapan selesai, ambulan yang membawa Risma segera berangkat menuju rumah Cahyo. Halimah dan Rafa mengikuti dari belakang. Wajah mereka masih terlihat sedih, mata mereka sembab karena terlalu banyak menangis.
Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di rumah duka. Suasana rumah duka sangat menyedihkan dan tegang. Udara terasa berat dan sunyi, hanya terdengar suara tangisan dan rengekan yang teredam dari keluarga dan kerabat yang berduka.
Rumah yang biasanya penuh dengan suara dan kegembiraan, kini terlihat kosong dan sunyi. Hanya beberapa lampu yang dinyalakan, memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti rumah. Suasana ini membuat semua orang merasa sedih dan terharu.
Di ruang tamu, tubuh Risma terbaring, menampilkan jenazah yang telah meninggal. Keluarga dan kerabat duduk di samping tubuh Risma, membacakan surah yasin dengan suara yang terharu.
Halimah memutuskan untuk pulang sebentar sebelum ikut mengantar jenazah. Ia ingin mengganti pakaiannya yang telah dikenakannya sejak pagi. Saat ia berjalan ke luar, matanya terpaku pada sosok Anton dan seorang wanita yang berdiri di sebelahnya.
"Halimah!" panggil Anton, dengan senyum yang tidak tepat waktu.
Wanita itu semakin mempererat rangkulan tangannya pada lengan Anton. Halimah merasa ada yang tidak beres.
"Jadi dia istrimu itu, Mas?" tanya Halimah dengan nada yang sedikit tajam.
Anton tersenyum, "Halimah, kenalkan, dia Ariyani, istriku."
Halimah merasa terpukul. "Cih, jadi kamu kesini hanya untuk pamer istri barumu, Mas? Memang kamu tidak tahu diri ya! Kami sedang berduka, tapi kamu malah pamer istri baru."
Ariyani membela suaminya, "Kamu jangan tidak sopan gitu, Mbak. Kami kesini juga mau melayat kok."
Halimah menatap Ariyani dengan tajam, "Aku tidak bicara sama kamu, ya. Aku tidak kenal kamu siapa. Jadi, jangan ikut campur."
Anton mencoba menenangkan Halimah, "Halimah, jangan makin kurang ajar. Kami datang baik-baik kok."
Halimah tidak mau mendengar, "Nanti kita lanjut, Mas. Setelah semua pemakaman beres. Ada sesuatu yang mau aku omongin ke kamu. Aku harap kamu bisa datang ke rumah besok malam."
Dengan itu, Halimah berpaling dan pergi, meninggalkan Anton dan Ariyani dengan ekspresi yang tidak nyaman.
Saat Halimah tiba di rumah, tangisnya kembali pecah, melepaskan semua emosi yang telah ditahannya sejak tadi. Sakit hati yang telah lama dipendamnya kini tak bisa ditahan lagi.
Halimah merasa terpukul oleh kehadiran Anton bersama istrinya. Bagaimana bisa suaminya yang telah meninggalkannya dengan begitu tega, kini datang dengan wanita lain? Rasa sakit dan kecewa itu semakin memburuk ketika Halimah menyadari bahwa istri baru Anton adalah wanita yang pernah ia temui di toko baju waktu itu.
Kenangan itu kembali menghantui Halimah, membuatnya merasa semakin terluka. Bagaimana bisa nasibnya begitu kejam? Mengapa harus ada orang lain yang mengambil tempatnya di hati suaminya? Tangis Halimah kembali pecah, melepaskan semua kesedihan dan kekecewaannya.