Tembak Aku Dengan Cintamu

Sambil melangkah mengambil tas, tak terasa airmata jatuh begitu saja membasahi kedua pipi, akibat terlalu manahan rasa sesak yang mengguncang dada. Kepala terasa sudah berdenyut yang disertai berkunang-kunang sehingga mengaburkan pandangan. Tak terelakkan diri ini sudah terjerembab ke lantai.

Bruk, badanku sudah jatuh. Semua menjadi gelap.

"Mila ... Mila?" semua orang terus-menerus memanggil.

Pekak telinga ini ketika mendengar suara dengungan orang-orang yang terus  memanggil, dan semakin lama kian sayu-sayu terdengar. Sampai pada akhirnya menghilang lah suara-suara itu.

Terasa sekali badan sudah melayang di udara. Kemungkinan besar tubuh sudah diangkat oleh seseorang. Bisa terasa tubuh sudah terdarat dipermukaan yang empuk-empuk, yang sepertinya itu adalah kasur. Mataku hanya bisa sayu-sayu terpejam, tak bisa mencerna lagi apa yang mereka katakan.

Entah berapa lama mata ini terpejam tak sadarkan diri, yang jelas bau minyak kayu putih yang menusuk hidung sudah didekatkan.  Bau yang terhirup terasa menenangkan jiwa, sehingga membuat mataku pun kini terpaksa terbuka.

"Mila ... Mila, kamu sudah siuman, sayang?" Suara mertua yang kini sudah memelukku erat, dengan isak tangisnya yang terdengar memilukan.

Masih terdiam kebingungan.

"Alhamdulillah, Nak."

"Iya, Besan. Alhamdulillah. Kami takut sekali kamu kenapa-napa."

"Sebentar."

Sekian menit berpikir baru teringat, bahwa diriku terlalu berat memikirkan dirinya yang tengah asyik selingkuh.

Ibu terlihat sudah melenggang pergi menuju dapur. Kembali tergopoh-gopoh menghampiri kami.

"Minumlah ini dulu, Mila!" Sodoran sebuah air putih diberikan oleh ibuku.

Tangan beliau sudah memegang bahuku, yang bertujuan untuk  membantu bisa duduk bersandar dipapan pinggiran kasur. Mungkin dengan maksud agar mudah untuk meneguknya.

Air yang hangat suam-suam kuku, telah berhasil mengalir di tenggorokan, yang kini sudah terasa hangat sampai mengalir dalam perut.

Dapat terlihat tangan mertua dan ibuku, berulang kali telah menyeka sudut matanya yang mulai berair, dan terpampang sekali mereka mulai tak kuasa menahan tangisan yang tiba-tiba pecah.

Kak Ryan hanya diam terbungkam, tanpa ada satu patah 'pun keluar dari mulutnya. Dia hanya menatap sedih saat berdiri disamping sofa.  Netranya memancarkan kesayuan.

Pakaian yang terpakai sekarang masih sama, saat kepergok tidur bersama dengan mantannya. Semua menjadi kacau hanya karena kesalahan satu orang saja.

"Mama minta maaf, Mila! Mama benar-benar menyesal, dengan semua yang telah dilakukan anak mama Ryan," Suara lembut mertua yang duduk disampingku.

Tangan beliau sudah mengusap-usap punggungku, diiringi deraian airmata.

"Gak pa-pa, Ma! Mama jangan menangis lagi," Balik ucapku yang langsung memeluk beliau.

"Tapi Mama tetap tak enak sama kamu. Sangat menyesal karena tidak bisa mendidik baik Ryan. Tak pantas rasanya wanita secantik kamu diduakan."

Netra beliau melirik tajam ke arah kak Ryan. Dia hanya menunduk malu sebab kata Mama sangat 'lah benar.

"Mila, hanya bisa pasrah. Kebenaran pasti akan terungkap walau disembunyikan serapat apapun itu. Mama tidak usah menyalahkan diri. Seharusnya yang bersangkutan 'lah yang harus sadar diri bahwa dia sudah melakukan tindakan tak senon*h." sindir tanpa melihat ke arahnya.

Enggan menatapnya. Rasa benci ini kian tumbuh lebih besar lagi dan ingin sekali mengakhiri. Lelah hati ini tiap kali dibohongi. Sudah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri tapi nyatanya malah kian menjadi jadi.

Pelupuk mata akhirnya jebol juga. Sesakit ini kah rasanya dikhianati orang terkasih? Tulus mencintai tapi hanya mendapatkan penghianatan.

"Sudah ... sudah, jangan menangis lagi. Tak baik untuk kesehatanmu.'

"Kalian bicaralah. Kami berada diluar, Jika ada sesuatu yang penting kamu panggil kami," imbuh beliau.

"Iya, Ma."

Pelukan terlepas.

"Ayo besan, kita keluar dulu! Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka dulu," cakap mertua yang berusaha mendamaikan kami.

"Baik, besan."

"Kamu tenangkan diri. Jangan berpikir terlalu berat. Ada ibu disini, jadi kamu tidak perlu takut," Sebelum benar-benar keluar.

"Iya, Bu."

Nampak beliau tidak tega meninggalkan diriku sendirian. Orangtua pasti khawatir jika hati yang terluka akan mendapat goresan lagi.

"Bicaralah baik-baik, Nak!" Mama mertua tengah menepuk bahu kak Ryan.

"Hmm."

Sebelum kak Ryan mendekatiku untuk semua penjelasannya, langsung saja ku tutup wajah dengan selimut yang selama ini kupakai untuk tidur.

Suara tangisanku pecah.

Dalam selimut ku tumpahkan segala isak tangis, yang tak ingin melihat wajahnya.

"Mila ... Mila, dengarkan penjelasanku dulu!" Kak Ryan sudah menarik-narik selimutku dengan tangannya.

Tanpa mendengarkan panggilannya, ku teruskan. menenggelamkan diri dalam tangisan yang kian tersedu-sedu.

Kurasakan tubuh berat kak Ryan sekarang sudah menindih yang berusaha merangkul agar leluasa memeluk. Aku masih saja tak menghiraukan dirinya. Masih bergulat menumpahkan segala kesesakan didalam dada.

Terdengar suara kak Ryan ikut terhanyut. Tubuh kekarnya masih sibuk berusaha memelukku.

"Kumohon Mila, maafkan aku. Sungguh diri ini hanyalah manusia bodoh, yang selalu saja menyakitimu," Suara kak Ryan sendu, dengan isak tangisnya masih terdengar.

"Apakah kau tidak ingin bicara denganku lagi? Maaf ... maaf, Mila. Aku tahu salah, tapi aku mohon dengarkan penjelasanku dulu."

Berkali-kali dia membujuk namun tak ku hiraukan. Selalu saja beralasan salah paham. Kalau memang cinta sama mantan tinggal bilang, berarti diri ini harusnya mengalah sebab menjadi pihak kedua diantara mereka.

Beberapa menit kemudian telah berlalu.

Sunyi terasa didalam kamar. Mungkin karena lelah mau menjelaskan, kini suara pria yang ku benci sudah tak terdengar lagi. Bagiku sudah sia-sia saja atas semua penjelasannya.

Plak, sebuah tamparan di pipi terdengar telah terdarat.

"Kamu harus menjauhkan diri dari Mila sekarang! Ibu tak sudi mempunyai menantu seperti kamu, begitu bejatnya kelakuan kamu membawa perempuan kerumah. Mentang-mentang Mila tidak ada dirumah, kamu sudah berani sekali mengajak perempuan itu masuk dan tidur bersama pulak," Suara lantang ibu marah-marah terdengar dalam kamarku.

"Buk, aku mohon. Ini semua hanya kesalahpahaman kalian saja," ucap pembelaan kak Ryan.

"Kamu bilang salah paham! Aku bukan orang bodoh. Jelas-jelas melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa kamu tidur sekasur dan sekamar dengan perempuan itu. Pokoknya kali ini, kamu harus jauhi Mila, kalau bisa ceraikan saja dia. Aku tidak terima anakku kamu sakiti. Memang Mila sebuah barang yang bisa kamu permainkan terus," Ibuku yang kian memuncak kan emosi.

"Bener, Ryan. Mama tidak tahu lagi harus ngomong apa tentang kamu. Mama benar-benar kecewa atas semua kelakuan kamu, yang sudah berani menodai keharmonisan rumah tangga kalian," Mertua yang juga ikut-ikutan menyalahkan kak Ryan.

"Tapi, Ma!"

"Ngak ada tapi-tapian. Kamu memang pria bej*t yang tak tahu terima kasih. Tunggu keputusan Papa. langkah apa yang akan kamu terima sebab sudah berani mengecewakan kami."

Tidak ada lagi sahutan dari kak Ryan, yang ingin membantah lagi perkataan ibuku.