Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12—Terbawa Suasana
EKSPEKTASI yang terlampau tinggi kerapkali membuahkan kekecewaan. Sebuah kesalahan fatal yang kerapkali tidak disadari oleh kebanyakan orang. Sudah tahu keliru tapi masih saja dilakukan, itulah aku.
"Kok malah diaduk-aduk doang sotonya?" tanya Bang Fariz.
Aku tak langsung menjawab, lebih memilih untuk menambahkan sambal dan juga perasan jeruk limau ke dalam mangkuk soto yang kini nangkring di depanku.
"Inget asam lambung," tegurnya.
Aku memutar bola mata malas dan menatapnya sengit. "Janjinya ajak aku makan di luar, tahunya malah makan di depan gerbang. Omongan Bang Fariz emang gak pernah bisa dipegang."
Bang Fariz mengangkat salah satu alisnya. "Bukankah ini makan di luar? Ada yang salah?"
Aku mendengkus sebal. "Makan di luar versi aku ya di restoran, bukan di depan gerbang kayak sekarang!"
Tanpa dosa Bang Fariz malah memasukan satu suapan soto ke dalam mulutnya, mengunyah makanan berkuah itu dengan santai, kemudian berujar, "Jangan salahin Abang dong, salahin ekspektasi kamu yang ketinggian. Abang, kan cuma bilang mau ajak kamu makan di luar."
Ternyata sifat pelit dan perhitungan Bang Fariz tidak sedikit pun luntur, malah kurasa semakin mendarah daging saja. Emang benar-benar Bang Fariz ini!
"Di luar sih di luar, tapi gak depan gerbang rumah juga kali, Bang. Mana cuma ditraktir makan soto doang lagi," ocehku.
"Soto, kan makanan kesukaan kita."
Aku tak sedikit pun merespons, lebih memilih untuk sesegera mungkin menandaskan makanan ini. Bukan bermaksud tak bersyukur, tapi aku tak habis pikir bahwa makan di luar yang Bang Fariz maksud hanya sampai di tahap ini saja.
Entah aku yang terlalu tinggi berangan, atau memang karena Bang Fariz-nya yang tidak bermodal.
Setelah menghabiskannya, aku segera bangkit. "Jangan lupa dibayar!" Aku pun berlalu dan memasuki rumah dengan wajah masam.
Masih DONGKOL.
"Kenapa?"
Mataku seketika melotot, bahkan kurasa urat-urat leher ini sudah mengencang karena kesal. "Abang masih nanya? Gak peka banget emang!"
Bang Fariz duduk di sebelahku lalu berkata, "Lain kali cermati dan pahami perkataan Abang supaya gak salah paham. Abang cuma bilang mau ajak kamu makan di luar, bukan makan di restoran. Paham, Sayang?"
"Pemikiran Bang Fariz yang terlalu sempit, gak seperti kebanyakan orang. Heran deh!"
"Kalau mau makan di restoran nanti, gak sekarang."
Aku mendelik tajam. "Nunggu dapet voucher gratis? Gak lagi-lagi yah!"
Tanpa tahu malu Bang Fariz malah tertawa. "Selagi ada yang gratis kenapa harus bayar?"
ALLAHUAKBAR!
"Mending gak usah sekalian!"
"Alhamdulillah, emang lebih baik makan di rumah. Selain sehat, pastinya juga hemat."
HEMAT katanya? Ish, ringan sekali bibir tipis Bang Fariz kalau berucap.
"Bang Fariz itu aneh. Pelit dan perhitungannya sama aku aja. Kurang-kurangin lah, Bang. Tensi aku bisa benar-benar naik kalau terus kayak gini."
Semakin aku berusaha untuk menerima, tapi egoku semakin menolaknya. Terlebih jika mengingat bagaimana Bang Fariz begitu mudah menggelontorkan uang untuk Mama. Bukan bermaksud untuk iri, aku hanya tidak habis pikir saja. Kenapa dia tidak bisa memperlakukan hal yang sama padaku?
"Kenapa? Kok pada ribut."
Aku menoleh dan mendapati Mama yang baru keluar dari kamar lantas duduk tak jauh dariku.
"Mama perlu sesuatu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Keadaan beliau sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, bahkan wajahnya yang semula pucat pasi, serta tubuh yang tidak bertenaga pun kini kembali pulih.
"Mama mau pulang," katanya seraya tersenyum lebar.
Aku dan Bang Fariz saling berpandangan, lantas tanpa diduga Bang Fariz berjalan menghampiri Mama dan duduk tepat di sisinya. "Kenapa? Gak betah tinggal di sini?"
Mama menggeleng dan menggenggam tangan Bang Fariz. "Mama udah kangen sama suasana rumah, lagi pula gak baik kalau rumah ditinggal terlalu lama."
"Mama belum benar-benar sehat, Fariz gak mau terjadi sesuatu yang buruk sama Mama."
"Tinggal di sini dulu aja yah, Ma, bener apa kata Bang Fariz. Kalau di sini, kan ada aku yang bisa jaga dan rawat Mama. Sedangkan kalau di rumah, Mama sendirian," imbuhku menimpali.
"Mama sudah biasa tinggal sendiri, kalian jangan terlalu berlebihan. In syaa allah Mama akan baik-baik saja," sahutnya menyangkal.
"Mama jangan keras kepala, ini demi kesehatan Mama. Fariz gak mau Mama kenapa-napa."
Beliau malah terkekeh dan sesekali mengelus puncak kepala putranya. "Mama bukan anak kecil, Fariz."
"Tapi Mama sudah tua."
Rasa haru yang semula memayungi mendadak pergi. Masih sempat-sempatnya Bang Fariz berkata seperti itu. Memang benar-benar Malin Kundang Milenial. Begitu mudah sekali mengatai ibunya sendiri.
Walaupun itu suatu kebenaran, tapi rasanya sangat tidak wajar untuk didengar. Kurang sopan.
"Kalau kamu gak mau anterin Mama pulang, Mama bisa pakai taksi online," putus beliau tegas.
Bang Fariz menghela napas berat lantas berucap, "Ya udah biar Fariz yang anterin."
Mama menyambut suka cita keputusan terpaksa Bang Fariz, bahkan berulang kali beliau menuturkan kata terima kasih. Tak ketinggalan, beliau pun memeluk putra semata wayangnya dengan sangat hangat.
Percayalah, ini sangat manis. Pemandangan indah nan meneduhkan.
"Mama mau pulang sekarang juga?" tanyaku memastikan.
Beliau mengangguk antusias. Terlihat sangat senang dan berseri-seri. Aku ikut bahagia melihatnya.
"Fariz beresin dulu barang-barang, Mama yah. Mama sama Kirania santai-santai dulu aja," ungkap Bang Fariz lalu melesat pergi tanpa mendapat persetujuanku terlebih dahulu.
Mama mengisyaratkan agar aku duduk di sisinya, aku pun menurut dan tertidur di atas pangkuan beliau. Mama mertuaku ini sangat amat manis dan penuh kasih sayang.
"Makasih yah sudah mau merawat Mama yang penyakitan, Maaf juga kalau kehadiran Mama cuma bisa ngerepotin kamu doang," katanya seraya menggenggam tanganku begitu hangat.
"Mama jangan ngomong gitu, aku sama sekali gak ngerasa direpotin," sahutku tak setuju.
Hatiku terasa teriris kala mendengar kata 'penyakitan' yang beliau lontarkan.
"Maaf kalau Mama belum bisa jadi ibu mertua yang baik dan sesuai dengan yang kamu harapkan. Tapi, Mama akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Mama sangat berterima kasih karena kamu mau menerima Fariz dengan segala kekurangannya. Maafkan Putra Mama yang mungkin belum bisa dikatakan sebagai suami idaman." Setetes air mata terjun bebas begitu saja.
Secara spontan aku pun menghapus jejak-jejak air mata beliau. "Mama jangan ngomong gitu. Aku juga pasti memiliki banyak kekurangan, baik sebagai menantu maupun istri. Tapi aku selalu berusaha melakukan hal yang terbaik, sama seperti yang selalu Mama dan Bang Fariz lakukan."
Kupeluk pinggang beliau, dan beliau pun membalasnya tak kalah hangat.
"Teruslah bertahan di sisi Fariz, walau Mama tahu ini gak akan mudah untuk kamu. Tapi, Mama harap kamu diberikan kekuatan lebih untuk bisa mengubah Fariz menjadi pribadi yang lebih baik," bisik Mama.