Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan. Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Mama
“Kak Asa gak siap-siap buat besok?” tanya Rosa mencoba mencairkan situasi canggung itu.
Rama yang sibuk berbanding terbalik dengan Angkasa yang sangat santai. Besok adalah hari festival sekolah.
Angkasa bangun setelah memastikan sepatu Rosa sudah ditalikan dengan benar. Dia duduk di samping Rosa. “Udah beres. Kita naik panggung siang. Pagi-pagi semua murid akan keliling satu per satu booth, jadi gak akan fokus ke panggung. Foto kamu masuk pameran juga? “
“Iya, semua foto anggota masuk pameran.”
“Bagus dong, jadi gak ada yang merasa tersisihkan.”
Rosa mengangguk setuju. Dari awal masuk klub, semua anggota memang sudah dijanjikan akan masuk booth pameran.
“Kamu jadi pulang ke nenek sepulang pembagian rapor?”
Senyum Rosa mengembang, dia mengangguk. “Jadi dong, aku udah beres-beres sejak kemarin,” jawabnya. Mengingat dia akan pulang membuatnya bersemangat. Dia akan bertemu dengan nenek lagi.
Angkasa berdiri, “Udah siap?”
“Udah,” Rosa mengikuti Angkasa berjalan ke motornya
Rosa menerima helm yang diberikan Angkasa.
Dengan sigap Angkasa mengecek tali helm Rosa. Kemudian tersenyum saat sudah terpasang dengan baik.
“Kita ke rumah gue dulu, ya, tadi mama minta dibeliin tinta. Mau dipake cepet katanya.” Angkasa memberi tahu sebelum mereka berangkat.
Rosa mengangguk. Dia sudah memakai sweater tebal. Hari ini mendung dari pagi. Udara Bandung jadi lebih dingin lagi.
Hari ini Angkasa mengajaknya nonton setelah selesai dengan UAS. Untuk refreshing katanya. Rosa setuju karena selama ujian dia fokus belajar, rasanya dia juga perlu udara segar.
Tentu saja dengan izin dari Rama. Papa yang mulai sibuk dengan acara tahun baru nanti hanya bisa bertemu malam hari dengan anak-anaknya.
Mereka membelah jalanan yang sudah mulai macet. Bandung waktu liburan adalah Bandung yang paling gak estetik. Dimana-mana macet. Sekarang pun, bahkan liburan semester belum dimulai, tapi Bandung sudah semacet ini.
“Yuk, gue udah bilang mama kalau lagi mau pergi sama kamu. Jadi mama sekalian minta kenalan. Penasaran katanya.”
Angkasa sudah membuka helmnya dan meletakan di atas jok motor. Rosa membuka helm dengan kaget.
“Kenapa penasaran sama aku?” Rosa menatap Angkasa.
Angkasa tersenyum, tangannya terangkat untuk membereskan poni Rosa yang tersibak karena helmnya. “Karena gue suka cerita tentang kamu ke mama,” katanya ringan. Seolah itu adalah hal yang biasa.
Karena memang itu hal yang biasa untuk Angkasa. Dia selalu bercerita kepada mamanya tentang sekolahnya, tentang Rosa.
Karena sudah sampai juga, Rosa tidak bisa menolak. Sebelumnya Rosa tidak pernah bertemu dengan orang tua teman-temannya. Kecuali ibu dan ayahnya Tiara, mereka bertetangga.
Tapi bertemu Mama Angkasa beda lagi ceritanya.
Cowok itu masuk ke rumah setelah membuka sepatunya. Rumah Angkasa berada di komplek perumahan. Rumah satu lantai itu terlihat asri. Dengan taman kecil di depan, di samping carport yang terparkir dua motor. Satu motor tinggi Angkasa dan satu lagi motor matic, yang Rosa yakin adalah motor Mama Angkasa.
Rosa membuka sepatunya juga. Dia membereskan rambutnya yang digerai dan memakai jepit pita yang dibelinya bulan lalu bersama Najwa dan Bella. Dia tidak tahu kenapa merasa berantakan sekarang.
“Rosa?”
Gadis itu berbalik saat mendengar namanya dipanggil dari belakangnya. Rosa tersenyum saat melihat seorang perempuan yang masih terlihat cantik. Mama Angkasa masih muda. Rosa menebak umurnya mungkin belum tiga puluh lima.
Tersadar dari kecanggungannya, Rosa segera mencium tangan Mama Angkasa. “Saya Rosa, Tante,” katanya sopan.
Mama Angkasa menatapnya dengan senyum, “Cantik banget, sih, pantes aja Asa cerewet banget tiap cerita tentang kamu,” katanya sambil mengusap pipi kiri Rosa.
Tangan mama menggenggam tangan Rosa yang dingin, “Asa jangan ngebut-ngebut dong, tangan Rosa sampe dingin gini. Kamu pake sarung tangan mama, ya?” kata mama sambil mengajak Rosa untuk masuk ke rumah. Mama duduk di sofa ruang tamu. Rosa mengikuti.
“Gak ngebut juga pasti dingin, Ma, kan kena angin,” Angkasa ikut duduk di sofa.
“Loh, kenapa ikut duduk, bikinin dulu minum anget buat Rosa,” kata Mama melirik Angkasa.
Rosa menggeleng, “Gak apa-apa, Tante,” katanya kaku.
“Kita mau pergi lagi, Ma,” Angkasa menangkap kekakuan Rosa. Dia tersenyum kecil saat melihat Rosa yang canggung.
Mama kembali fokus pada Rosa yang sedang menunduk.
Rosa benar-benar tidak tahu harus bilang apa.
“Kalau Asa nakal kamu harus langsung bilang mama, ya,” kata mama lagi.
Rosa mengangguk, sudut bibirnya tertarik kaku, “Kak Asa baik, kok, Tante.”
“Bener ya, Asa, Rosa itu cantik banget,” kata Mama lagi. “Kamu tau gak, kalau pulang sekolah, Asa pasti cerita ke mama. ‘Ma, hari ini Rosa kepang rambutnya, eh tiap hari juga kepang tapi hari ini cantik.’ Atau bilang, ‘Ma, hari ini Rosa gerai rambutnya, gelombang-gelombang cantik,’ gitu,” Mama tertawa memperagakan kata-kata Angkasa.
“Oh Asa juga laporan waktu kamu pake ganti warna bibir, mama langsung bilang itu lipstik atau apa anak sekarang pakenya?” Mama menatap Rosa.
Rosa mengerjap dengan kaget, “Em, itu liptint, Tante,” jawabnya.
Mama menepuk kecil tangan Rosa yang masih digenggamnya, “Nah itu, Asa gak tau loh.” Mama melirik Angkasa yang sudah memerah. “Oh iya, selamat udah berhasil masukin bola basket ke ring, ya, Rosa,” Mama tiba-tiba memberi selamat.
Mata Rosa beralih menatap Angkasa, meminta penjelasan.
“Asa heboh banget, ‘Ma, Rosa berhasil, bola basketnya masuk ring!’.” Mama kembali melirik Angkasa di belakangnya, “Mama tiap hari denger cerita tentang kamu, loh, jadi mama penasaran mau ketemu. Makasih udah datang ya,” kata Mama. Tangannya mengusap punggung tangan Rosa.
Muka Rosa bersemu merah mendengar cerita mama. Dia mengangguk. “Makasih, Tante,” katanya kemudian. Dia tidak tahu kenapa berterima kasih. Tapi hatinya merasa hangat.
Tangan Mama terulur, mengelus rambut Rosa. Matanya tidak menatap ke mata Rosa, tapi suara lembutnya menelusup sampai ke dasar hatinya yang masih beku.
“Terima kasih ya, sudah tumbuh dengan baik. Terima kasih sudah jadi anak yang pintar, yang cantik. Mama kamu akan sangat bangga jika melihat kamu sekarang.”
Rosa terpaku. Dia sungguh tidak menyangka akan mendengar ucapan seperti itu. Tidak bisa membuka suaranya sama sekali.
Tenggorokannya terasa kering. Matanya panas. Menatap mama sambil terhalang kabut di matanya.
Gadis itu berusaha menahan air matanya. Dia menarik napas pelan. Gemuruh di dadanya terasa menyesakan. Sekaligus terasa lega. Rosa tidak memahami apa yang terjadi. Karena detik selanjutnya Mama Angkasa sudah membawanya ke dalam pelukannya.
Mama menepuk pelan punggung Rosa. Mengelus kepalanya lagi. Lembut sekali sampai-sampai Rosa merasa itu hanya mimpi.
Dia bahkan masih tidak sadar saat Angkasa memotong Mama. Bilang bahwa mereka akan kesorean kalau tidak cepat-cepat berangkat. Saat Angkasa menariknya keluar. Saat Mama sekali lagi menggenggam tangan Rosa dan tersenyum lembut.
Bahkan saat Angkasa memakaikannya helm dan membantunya naik motor. Rosa lupa berpamitan pada Mama. Dia baru bisa bernapas lagi saat Angkasa menarik gas. Dan dia tersentak untuk memeluk Angkasa. Dia baru merasakan lagi angin yang menerpa tangannya. Dia baru merasakan detak jantungnya lagi.
Rosa baru sadar kalau air matanya sudah meleleh.
-o0o-
Angkasa memelankan laju motornya saat mendengar isakan gadis di belakangnya. Berputar di belokan yang tidak terlalu ramai. Angkasa membawa Rosa berputar di jalan komplek yang sepi.
Angkasa bukannya tidak tahu dengan perubahan air muka Rosa di rumahnya tadi. Dia juga tidak menyangka mama akan mengatakan hal itu.
Selama ini Angkasa berusaha tidak menyinggung apapun soal mamanya. Dia akan berusaha membelokan Rosa dari obrolan tentang mamanya.
Agar Rosa tidak kembali terpaku pada kepedihannya.
Tapi hari ini mama membuka lukanya. Angkasa tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya membiarkan gadis itu menumpahkan air matanya. Biarpun dia sendiri merasa pilu dengan tangisan itu. Dia menunggu.
Biarpun apa yang rencananya hari ini tidak berjalan lancar. Dia hanya diam menunggu.
Membuat Rosa lega dengan menumpahkan air matanya sampai selesai.
-o0o-