Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Kegaduhan
Terry terdiam. Dadanya sedikit sesak mendengar peringatan ayahnya, tetapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahan. Ia sudah sejauh ini. Tidak ada jalan untuk mundur.
"Papa tidak perlu khawatir," katanya, kali ini dengan suara lebih tenang. "Aku akan memastikan semuanya tetap dalam kendaliku."
Andra masih terlihat tidak puas, tetapi Mirna segera menepuk tangan suaminya. "Sudahlah Pa, kita percaya saja pada Terry. Dia pasti bisa menangani ini."
Terry tersenyum, meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Namun, di sudut pikirannya, peringatan Andra masih terngiang, dan itu sedikit mengganggunya.
***
Di kamar yang temaram, Alika duduk bersandar di kepala ranjang, memangku Adriel yang terlelap dalam pelukannya. Jemarinya dengan lembut membelai rambut halus bocah itu, seolah ingin menghafalkan setiap helai yang tumbuh di kepala kecilnya. Napas bayi itu terdengar pelan dan teratur, memberikan ketenangan sesaat bagi hati yang tengah bergemuruh.
Namun, semakin lama ia menatap wajah polos Adriel, semakin berat rasanya. Dua minggu lagi, Adriel akan genap berusia dua tahun, dan saat itu pula ia harus pergi. Kontraknya akan habis, dan ia tak punya alasan lagi untuk tetap berada di rumah ini.
Dulu, saat pertama kali menerima pekerjaan sebagai ibu susu, ia mengira ini hanya akan menjadi bagian dari hidup yang harus ia jalani. Ia hanya ingin bekerja, mencari pelarian dari kenyataan pahit yang menghancurkan hidupnya. Pengkhianatan suaminya dengan ibu kandungnya, kehilangan bayinya yang hanya bisa ia peluk sebentar… semua itu hampir membuatnya menyerah.
Tapi kemudian, Adriel hadir.
Bayi ini menjadi cahaya yang menghangatkan jiwanya yang nyaris mati. Adriel membuatnya merasa dibutuhkan lagi, membuatnya punya alasan untuk tetap bertahan. Setiap tawa, setiap tangis, setiap genggaman tangan kecil itu telah mengisi kehampaan dalam dirinya.
Dan kini, ia harus merelakannya.
Kelopak matanya terasa panas, tetapi ia menolak menangis. Ia tak ingin air matanya jatuh di wajah Adriel, tak ingin bocah itu merasakan kesedihannya.
Namun, bukan hanya perpisahan yang menghantuinya. Pikirannya melayang pada kejadian malam itu, malam yang mengacaukan segalanya.
Ia tidak tahu bagaimana semua bisa terjadi, tetapi ia tahu satu hal, Terry telah menipu Arlan. Terry telah memanipulasi situasi agar bisa menjadi nyonya rumah ini, dan itu membuatnya muak.
Ia tidak rela.
"Aku tidak rela wanita selicik dan sekejam itu menjadi ibu sambung Adriel. Tidak rela Adriel tumbuh di bawah asuhan seseorang yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Tapi apa yang bisa aku lakukan?"
Alika menggigit bibirnya, menahan gejolak di dadanya. Ia tak punya kuasa di rumah ini. Jika Arlan percaya pada hasil tes itu, maka semuanya sudah terlambat.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah berharap… berharap Arlan menemukan kebenaran. Berharap pria itu cukup bijaksana untuk tidak menyerahkan Adriel ke tangan yang salah.
Ia menarik napas dalam, lalu mengecup kening Adriel dengan penuh kasih. "Semoga Papamu menemukan ibu yang baik untukmu, Nak," bisiknya lirih.
Setelah itu, ia hanya bisa menunggu… dan berdoa dalam diam.
***
Malam itu, suasana rumah makan sudah sepi. Lampu-lampu di bagian depan masih menyala, tetapi di dapur hanya ada penerangan temaram. Alika duduk di bangku kayu dekat meja persiapan, menatap kosong ke cangkir teh yang sudah dingin di depannya.
Di luar, angin malam berhembus lembut, tetapi hatinya terasa lebih dingin. Ini adalah malam pertamanya tidak menginap di rumah Arlan sesuai pengaturan Widi. Rasanya aneh… seolah ada bagian dari dirinya yang tertinggal di sana.
Pikirannya dipenuhi oleh Adriel. "Apakah Adriel sudah makan? Apa tak menangis mencariku? Apakah ia sudah tidur dengan nyenyak? Apakah Terry bisa menenangkannya seperti yang biasa aku lakukan?"
Alika menarik napas panjang, mencoba mengusir kecemasan yang semakin menghimpit dadanya.
Suara langkah mendekat membuyarkan lamunannya. Arya, ayahnya, masuk ke dapur dan langsung menghampirinya. Pria tua itu mengamati putrinya yang termenung, lalu duduk di seberangnya.
"Sudah larut, kenapa belum tidur? Kau memikirkan Adriel?" tanyanya lembut.
Alika mengangkat wajahnya dan mengangguk pelan. "Aku hanya khawatir, Pak… bagaimana kalau dia menangis tengah malam mencariku? Biasanya kalau begitu, aku yang menenangkannya."
Arya tersenyum tipis. "Itu wajar. Kau sudah merawatnya sejak bayi, tentu kau merasa kehilangan. Tapi nanti kau akan terbiasa, Nak. Lama-lama, perasaan ini akan pudar."
Alika menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa kata-kata bapaknya benar. Tapi entah kenapa, hatinya menolak percaya.
Ia menggigit bibirnya, menahan berbagai perasaan yang berkecamuk. Sejak awal, ia sudah tahu bahwa dirinya tak pantas berada di rumah itu. Widi sudah memperingatkannya sejak dulu. Ia hanyalah seorang ibu susu, bukan bagian dari keluarga Arlan.
Dan ia tidak pernah berharap lebih.
Namun, kejadian malam itu…
Alika memejamkan matanya sejenak. Ia harus melupakannya. Kejadian itu tidak seharusnya ada, dan tidak boleh mengubah apa pun.
Saat membuka mata, ia tersenyum kecil pada Arya. "Semoga saja Bapak benar."
Arya menepuk pundaknya dengan lembut. "Istirahatlah, Nak. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang di luar kendalimu."
Alika mengangguk, lalu bangkit dari duduknya. Namun, sebelum meninggalkan dapur, ia kembali menoleh ke arah jendela yang mengarah ke langit malam.
Dalam hati, ia berbisik, "Selamat tidur, Adriel…"
***
Malam itu, rumah Arlan yang biasanya tenang berubah menjadi penuh kegaduhan. Tangisan Adriel menggema ke seluruh sudut rumah, memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Bayi itu terus menjerit dan memanggil-manggil, "Mama… Mama…" dengan suara yang mulai serak.
Sejak sore, Adriel sudah rewel. Widi dan Terry berulang kali mencoba menenangkannya, tetapi semakin mereka berusaha, semakin keras tangisannya.
"Adriel, Nak… Mama di sini," Terry mencoba menghiburnya dengan suara manis yang dipaksakan, tetapi Adriel malah menggeleng kuat-kuat dan meronta.
Bayi itu menolak gendongan siapa pun. Ia terus berusaha turun dan berlari kecil menuju kamar Alika. Namun, setiap kali pintu kamar itu tertutup dan tak bisa ia buka, tangisannya semakin menjadi-jadi.
"Kenapa dia tidak mau diam, sih?!" Terry menggerutu dalam hati, merasa kesal. Ia tidak pernah suka anak-anak, apalagi bayi rewel seperti ini. "Kenapa bayi ini tidak mati saja?" pikirnya jahat, tapi ia segera menutupi ekspresinya dengan wajah penuh kesabaran palsu.
Arlan yang sejak tadi melihat keadaan ini akhirnya tidak tahan lagi. Ia menghampiri Adriel dan menggendongnya dengan hati-hati.
"Adriel, Nak… Papa di sini," ucapnya lembut, mencoba menenangkan putranya.
Namun, Adriel tetap menangis tersedu-sedu, tubuh mungilnya bergetar karena kelelahan. Kedua tangannya yang kecil meraih wajah Arlan dengan pipi yang basah oleh air mata. "Mama…"
Hati Arlan terasa seperti dihujam belati. Ia belum pernah melihat putranya sesedih ini. Adriel selalu ceria, selalu tersenyum, selalu bahagia. Tapi malam ini… putranya tampak hancur.
"Aku akan menjemput Alika," ujar Arlan tegas.
"Tidak boleh!" Widi langsung menentangnya. "Kalau kau menuruti Adriel sekarang, dia tidak akan pernah bisa lepas dari Alika! Kau mau dia terus bergantung pada wanita itu? Dia hanya seorang ibu susu!"
"Dia bukan sekadar ibu susu, Ma! Dia yang merawat Adriel sejak bayi!" balas Arlan dengan rahang mengeras.
"Justru karena itu, kita harus mulai menjauhkannya!" Widi tetap bersikeras. "Lama-lama, Adriel akan terbiasa!"
Arlan mengepalkan tangannya, menahan emosi. Ia tahu ibunya tidak akan mengalah, dan ia juga tidak ingin bertengkar di depan putranya yang masih menangis.
Pada akhirnya, malam itu Adriel tertidur di pelukannya, bukan karena tenang, tetapi karena kelelahan menangis. Napas bayi itu tersengal-sengal, suaranya hampir habis.
Arlan memandang wajah putranya yang masih sesekali tersedu dalam tidur. Hatinya terasa sesak.
"Maafkan Papa, Nak…" bisiknya sambil mengecup kening Adriel. "Papa seharusnya tidak membiarkan ini terjadi."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Jalani aja dulu alika seiring waktu berjalan widi pasti akan menerimamu...
Tuk skrg widi blm pasti msh menentangmu menikah dgn arlan...
Arlan keputusan sudah final tetep akan menikah dgn alika....
widi tidak merestui tetep aja nekat menikah....
Sebaiknya jujur aja arlan alika hamil anaknya dan akan bertanggungjawab menikahinya....
Lanjut thor.....
Kasian adriel dan calon bayimu pasti membutuhkan figur seorang ayah dan kedua orgtua lengkap....
Jgn tolak niat baik arlan melamarmu dan yg penting arlan jg mulai mencintaimu jgn pikir status berbeda masalah widi butuh waktu meluluhkan hatinya dan menerimamu....
Ayo alika semangat2 semua keputusannu ada ditanganmu....