NovelToon NovelToon
Gamer Siblings Who Become The World'S Apocalypse

Gamer Siblings Who Become The World'S Apocalypse

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Pemain Terhebat / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Alif R. F.

Samael dan Isabel, dua bersaudara yang sudah lama tinggal bersama sejak mereka diasuh oleh orang tua angkat mereka, dan sudah bersama-sama sejak berada di fasilitas pemerintah sebagai salah satu dari anak hasil program bayi tabung.

Kedua kakak beradik menggunakan kapsul DDVR untuk memainkan game MMORPG dan sudah memainkannya sejak 8 tahun lamanya. Mereka berdua menjadi salah satu yang terkuat dengan guild mereka yang hanya diisi oleh mereka berdua dan ratusan ribu NPC hasil ciptaan dan summon mereka sendiri.

Di tengah permainan, tiba-tiba saja mereka semua berpindah ke dunia lain, ke tengah-tengah kutub utara yang bersalju bersama dengan seluruh HQ guild mereka dan seisinya. Dan di dunia itu, di dunia yang sudah delapan kali diinvasi oleh entitas Malapetaka, orang-orang justru memanggil mereka; Kiamat Dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alif R. F., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#12 – The Crow Demons

Setelah pertemuan darurat, Haera dengan tegas mengambil tindakan. Sebanyak 250 prajurit dibentuk menjadi lima regu, masing-masing dipimpin oleh para jenderal kepercayaannya.

Haera sendiri berada di regu pertama, bersama Aranel dan prajurit-prajurit muda yang masih minim pengalaman. Sementara itu, Nanthaliene dan Illyndra memimpin regu kedua, menyisir bagian lain kota yang telah lumpuh.

Haera menunggangi kudanya dengan tenang, sementara Aranel berada di sisinya. Kota Sylvandor yang biasanya dipenuhi keramaian aktivitas warga dan energi sihir kini tampak sepi dan sunyi, hanya terdengar suara langkah kuda mereka yang berirama.

Di sepanjang perjalanan, prajurit pemula di belakang mereka berusaha menjaga formasi, meskipun rasa gentar terlihat jelas di wajah mereka.

Haera melirik Aranel, yang tampak fokus namun serius, wajahnya menunjukkan beban yang dia pikul setelah segala kejadian ini.

Haera kemudian memutuskan untuk memecah keheningan. “Aku ingin mengenalmu lebih dekat, Aranel,” ucap Haera, suaranya tenang namun penuh arti.

Aranel menoleh sedikit, lalu tersenyum kecil, meski masih canggung. “Paduka, saya terhormat, tetapi saya tak banyak memiliki hal yang luar biasa untuk diceritakan,” jawabnya dengan rendah hati.

“Tapi aku tahu lebih banyak tentang dirimu daripada yang mungkin kau kira,” lanjut Haera. "Kau adalah cucu dari Jenderal Isendril, mantan komandan tertinggi di pos ke-32."

Wajah Aranel sedikit berubah, ekspresinya menunjukkan keterkejutan. Dia tidak menyangka Haera akan menyebutkan hal itu. “Paduka ... saya tidak ingin dikenal karena nama mendiang kakek saya,” jawab Aranel dengan hati-hati. “Saya ingin berdiri di sini dengan kemampuan saya sendiri, tanpa dianggap mendapat perlakuan khusus.”

Haera mengangguk, mengerti sepenuhnya alasan di balik sikap rendah hati Aranel. “Aku menghargai keputusanmu untuk tidak membawa nama besar keluargamu ke dalam ini, dan aku memahami mengapa. Namun, aku juga bisa melihat kemampuanmu, Aranel. Bahkan tanpa bayang-bayang Isendril, kau sudah menunjukkan kehebatanmu. Meski belum mencapai usia Elf Eter, kemampuanmu sudah jauh melebihi diriku di waktu muda."

Mendengar itu, Aranel tersenyum kecil, meski dengan tatapan serius. "Terima kasih, wahai Paduka. Itu pujian besar, terutama datang dari Anda."

Sementara mereka berbicara, mata mereka tetap waspada, mengamati setiap sudut jalan kota Sylvandor yang tampak semakin sunyi dan menyeramkan. Warga-warga yang tersisa di kota itu bersembunyi di dalam rumah, takut akan teror yang tersebar dan hilangnya para wanita yang terjadi tanpa jejak.

Haera dan Aranel, bersama regu mereka, terus menelusuri jalan, mencari petunjuk tentang sosok misterius berjubah hitam yang dideskripsikan oleh saksi, Jorgir.

Di jalan-jalan kota Sylvandor yang sepi, suara angin menggema di antara bangunan, sementara gerombolan gagak terbang rendah di atas Haera dan Aranel, memberikan kesan suram di tengah keheningan. Jejak salju yang baru turun menambah kesan seolah-olah seluruh kota sudah mati. Haera menatap gagak-gagak itu sesaat sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke Aranel.

"Isendril dan mendiang ayahku, paduka kaisar Elarion, dulu berperang bersama di malapetaka ke-7," ucap Haera, membuka topik tentang kakek Aranel. "Mereka saling menjaga satu sama lain. Aku ingat bagaimana ayahku selalu mengandalkan Isendril dalam setiap pertempuran." Haera terdiam sejenak, mengenang masa lalu.

Aranel mendengarkan dengan seksama, merasa sedikit tak nyaman. "Aku turut berduka atas kematian mendiang kaisar sebelumnya, Paduka. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan ayah dalam perang yang begitu besar … dan di depan mata kepala anda."

Haera memandang lurus ke depan, wajahnya tetap tenang dan dingin. "Itu sudah seratus tahun yang lalu ... mungkin lebih. Aku bahkan sudah lupa berapa lama tepatnya." Ia tersenyum kecil, dengan nada yang sedikit sarkastik. "Menjadi Elf Eter bukan hanya kehilangan emosi dan perasaan, terkadang ingatan pun ikut memudar."

Mendengar candaan itu, Aranel terdiam. Meski senyum Haera seolah ringan, Aranel merasa ada beban gelap dan depresif di baliknya. "Aku tidak ingin menjadi Elf Eter," ucap Aranel tiba-tiba, seolah tanpa sadar. "Pada usiaku ke-85, aku akan menyerahkan jiwaku kepada Dewi Eirda."

Haera melirik Aranel, senyumnya kali ini tulus dan sedikit lebih hangat. "Kau bijak, Aranel. Tidak semua orang bisa menolak godaan keabadian."

Patroli mereka berlanjut, menyusuri kota yang kian mencekam. Haera tetap mengawasi sekitar, sementara percakapan mereka menjadi kenangan dan renungan akan takdir, peperangan, dan kehidupan yang tak lagi mereka miliki sepenuhnya.

Di tengah perjalanan itu, setelah melewati beberapa tikungan dan jalan sempit, Haera merasa ada yang aneh dengan gagak-gagak yang terbang di atasnya. gagak-gagak itu selalu menoleh ke bawah, ke arah nya dan regu nya.

Kemudian setelah masuk ke dalam gang sempit dan gelap dengan sengaja, Haera pun benar-benar memastikan bahwa ada yang salah dengan gagak-gagak itu yang kini bertengger di genteng-genteng rumah.

Ketegangan memuncak saat Haera menyadari bahwa gagak-gagak itu bukan hanya pengamat pasif. Mereka seakan memiliki kesadaran, menoleh dengan tajam ke arah regunya setiap kali mereka berbelok.

Gagak-gagak itu terus bertengger di genteng-genteng rumah yang mengelilingi gang sempit dan gelap yang mereka masuki. Haera merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Paduka, ada apa?" tanya Aranel dengan nada waspada, melihat perubahan pada raut wajah pemimpin mereka.

Tanpa menjawab, Haera melompat turun dari kudanya dan mengeluarkan tongkat sihirnya, yang sebelumnya tersimpan dengan aman di pelana. Ia memerintahkan semua prajurit untuk bersiap. "Aranel, cepat! Berikan kabar kepada regu lain! Ini jebakan!" suara Haera tegas, namun tetap dingin dan tenang seperti biasanya.

Aranel segera mematuhi perintah itu dan memacu kudanya, namun ketika ia hampir mencapai ujung gang, salah satu gagak terbang menukik ke arahnya. Di udara, gagak itu berubah menjadi sosok hitam berjubah dengan topeng gagak yang menakutkan, aura kegelapan memancar darinya. Dalam sekejap, kepala kuda yang ditunggangi Aranel terpenggal dengan bersih, menyebabkan tubuh Aranel terpental ke udara.

Haera terperangah, tak sempat bereaksi saat melihat Aranel terlempar keras ke ujung gang, melintasi dirinya. Sosok berjubah hitam itu menendang Aranel dengan kekuatan mengerikan, membuatnya terguling dengan keras ke tanah.

Di sekitar mereka, gagak-gagak lainnya mulai berubah satu per satu, menjelma menjadi lima makhluk berjubah gelap yang mengelilingi mereka dengan gerakan lambat namun pasti.

Haera merasakan aura mereka—kegelapan yang begitu padat hingga terasa menyiksa. Meskipun hanya berlima, insting Haera memberitahunya bahwa makhluk-makhluk ini bukanlah musuh biasa. Mereka adalah ancaman yang bisa menghancurkan dirinya dan seluruh regunya dalam hitungan detik.

"Awas!" teriak Haera kepada para prajuritnya. "Ini lebih dari yang kita kira!"

Dengan napas tertahan, Haera berdiri tegak, menggenggam erat tongkat sihirnya. Matanya mengamati sosok-sosok berjubah yang kini mengepung, kegelapan seolah merayap di dinding-dinding sempit gang itu, menelan cahaya apa pun yang tersisa. Ini bukan hanya ancaman fisik; ini adalah kegelapan yang menantang keberadaannya sebagai Elf Eter.

***.

Sosok-sosok bertopeng gagak itu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, menebas prajurit-prajurit di sekitarnya dengan belati yang tampak seolah terbuat dari kegelapan itu sendiri.

Mereka menyelinap di antara prajurit-prajurit nya, bergerak begitu cepat hingga bahkan mata terlatih Haera kesulitan mengikuti gerakan mereka.

Jeritan dan pekikan prajurit terdengar di seluruh gang, namun tidak ada tanda-tanda kengerian dari mereka. Mereka terus maju, berusaha melindungi Maharani mereka dengan semangat yang tak terbendung.

Namun semua itu sia-sia.

Satu persatu prajurit Haera jatuh, darah mereka membasahi tanah berbatu di gang itu, terpotong oleh belati kegelapan yang tak terhindarkan.

Haera, meskipun dingin dan tak berperasaan, menyadari bahwa situasinya telah menjadi genting. Dia melirik Aranel yang masih terbaring tak bergerak di ujung lain gang, dikepung dari dua sisi oleh makhluk-makhluk kegelapan itu. Sebaris prajurit yang tersisa di kedua ujung gang bersiap menghadapi serangan, namun mereka tak akan bertahan lama.

Dalam usaha terakhirnya, Haera mengangkat tongkat sihirnya dan memanggil kekuatan cahaya. Cahaya terang keluar dari ujung tongkatnya, menyilaukan dalam sesaat.

Namun, harapannya segera pupus ketika cahaya itu tidak mampu melukai sosok-sosok tersebut. Cahaya itu tertelan oleh kegelapan yang mengelilingi makhluk-makhluk itu, seolah-olah sihir Haera tak ada artinya di hadapan mereka.

Sebelum Haera sempat bereaksi lebih lanjut, salah satu sosok itu menyerangnya dengan kecepatan mematikan. Haera merasakan hantaman keras, dan tubuhnya terjatuh ke tanah dengan suara berdebam.

Ia terbaring di sana, menatap ke langit biru yang begitu kontras dengan kegelapan di sekitarnya. Tubuhnya terasa berat, dan kesadarannya mulai memudar.

Dalam bayangan terakhirnya, Haera melihat salah satu makhluk bertopeng gagak berdiri di dekatnya, menatapnya dengan tatapan penuh hina. "Master akan senang dengan yang satu ini," makhluk itu berbicara dengan suara serak dan dingin. "Lihat dia... dia benar-benar cocok untuk..."

Namun, sisa kalimatnya memudar bersamaan dengan kesadarannya yang perlahan-lahan menghilang. Dunia menjadi gelap, dan Haera pun kehilangan kesadaran sepenuhnya.

***.

Aranel terbangun dengan tubuh yang terasa sakit di setiap sudutnya, pandangannya masih kabur dan terganggu oleh nyeri yang menusuk dari tulang-tulangnya yang patah dan retak.

Ia bersandar lemah di tembok yang kini retak akibat benturan tubuhnya, berusaha mengatur napasnya yang berat. Setelah beberapa saat, pandangannya perlahan menjadi lebih jelas, dan ia melihat pemandangan yang menghancurkan hatinya.

Di hadapannya, gang yang sempit dan gelap itu kini dipenuhi oleh darah dan tubuh prajurit yang telah gugur. Darah mereka mengalir di atas jalan berbatu, membentuk genangan merah gelap yang menandai kekalahan mereka.

Aranel mencoba berdiri, meskipun rasa sakit luar biasa menggerogoti tubuhnya, dan dengan tertatih-tatih, ia tetap berjalan menyusuri gang, mencari sosok Haera.

Namun, Haera tidak ada di sana.

Yang Aranel temukan hanyalah sepotong kain hijau, penuh dengan noda darah, yang tergeletak di tanah. Kain itu robek dari jubah yang dikenakan oleh Haera.

Aranel berlutut di dekat kain itu, tangannya gemetar ketika ia meraih dan memeluknya erat-erat. Napasnya tercekik, dan air mata mulai mengalir di pipinya, membasahi kain yang ia genggam.

"Dewi Eirda ... aku telah gagal ...," Aranel berbisik dengan suara yang hampir tidak terdengar, penuh dengan rasa kecewa dan putus asa. "Aku tidak bisa melindunginya ... aku tidak bisa melindungi Maharani kita ...." Tangisnya pecah, menggema di antara dinding-dinding gang yang sempit.

Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga karena rasa bersalah yang menyesakkan dada. Dalam pikirannya, ia mengutuk dirinya sendiri atas ketidakmampuannya menjaga sang Maharani.

Di tengah isak tangisnya, suara derap kuda terdengar mendekat dengan cepat. Nanthaliene dan regu keduanya tiba di ujung gang, dan mereka segera turun dari kuda mereka.

Nanthaliene, dengan mata terbelalak, segera berlari ke arah Aranel. Matanya melihat pemandangan mengerikan di gang itu—prajurit-prajurit yang tewas, darah yang membanjir, dan Aranel yang memeluk potongan kain Haera dengan air mata yang tak terbendung.

"Nona Aranel ...," suara Nanthaliene bergetar, mencoba menenangkan rekannya yang hancur secara emosional. "Tenanglah ... kami akan menemukannya ... paduka pasti masih hidup ...."

Namun, di antara desakan Nanthaliene, Aranel tetap terisak, memeluk kain hijau yang penuh darah itu seolah-olah itu adalah satu-satunya yang tersisa dari Haera.

Setelahnya, regu kedua bergerak perlahan menuju Kastil Pos 9. Suasana muram menyelimuti mereka, terutama dengan Aranel yang terduduk diam di atas gerobak, memeluk potongan kain hijau milik Haera. Tatapannya kosong, tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya sejak mereka meninggalkan gang berdarah itu. Para prajurit dari regu dua menghela nafas berat, menyadari betapa berat kehilangan yang mereka alami.

Nanthaliene, yang memacu kudanya sejajar dengan gerobak, beberapa kali ingin membuka percakapan dengan Aranel, tapi lidahnya seakan kelu. Setiap kali ia menoleh, yang dilihatnya hanyalah Aranel yang tenggelam dalam kesedihan mendalam, matanya penuh dengan luka batin, dan tangan yang tak mau melepaskan kain Haera, seakan kain itu adalah penghubung terakhir dengan sang Maharani yang telah hilang.

Di sepanjang perjalanan, bisikan-bisikan dari penduduk Sylvandor terdengar, menyusul di belakang mereka seperti bayang-bayang duka.

Para elf kota koloni itu berdiri di tepi jalan, menatap barisan prajurit yang melintas dengan tatapan penuh tanya dan kekhawatiran. Bisikan-bisikan lirih mulai menguar di antara mereka—spekulasi tentang apa yang terjadi, dan mengapa para prajurit terlihat begitu murung dan berduka.

Nanthaliene mendengar semua itu, dan semakin lama semakin membuat hatinya bergejolak. Sebagai putri mahkota, tanggung jawab yang ia emban terasa makin berat. Hilangnya Haera, sang Maharani, yang adalah simbol kekuatan dan ketangguhan, kini menggetarkan seluruh pos 9. Bahkan, ia merasakan ketidakberdayaan yang sama—satu-satunya saksi mata yang mereka miliki, Aranel, tampak sangat terguncang, dan belum siap untuk ditanyai.

Rasa gusar itu semakin menyiksa. Akhirnya, dengan dada yang sesak, Nanthaliene memutuskan untuk memacu kudanya lebih cepat, meninggalkan barisan regu dua di belakang. Ketika sampai di gerbang kastil, ia melihat Illyndra sudah menunggu dengan wajah tegang.

"Yang Mulia, surat ini datang dari kekaisaran manusia," kata Illyndra, menyerahkan gulungan surat dengan meterai kerajaan.

Nanthaliene segera merobek segelnya dan membaca isinya. Wajahnya langsung berubah pucat, lalu memerah dengan amarah yang membuncah.

“Apa?” gumamnya, hampir tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Detik berikutnya, ia tak dapat lagi menahan amarahnya. Dengan suara yang penuh kemarahan, ia berteriak, “Si kaisar rendahan itu! Dia sudah tahu! Dia tahu kalau dia akan mati di sisi Paduka! Itu sebabnya dia tidak berani datang!"

Aura membunuh keluar dari tubuh Nanthaliene, menyebar kuat di sekitarnya. Para prajurit di dekat gerbang segera mundur ketakutan, sementara Illyndra berusaha menenangkan Nanthaliene yang seorang elf eter dan seharusnya tidak lagi memiliki emosi. Tapi kata-kata sang putri mahkota sudah terucap, dan amarah yang membakar hatinya terasa mustahil untuk diredam.

Di hari itu, berita tentang hilangnya Haera pun tersebar. Dengan transmisi sihir yang selesai diperbaiki, berita menyebar dengan cepat ke seluruh pos yang ada. Dan di hari itu, bersamaan dengan berita yang terus menyebar, bahkan sampai ke seluruh tiga benua, kekaisaran Elf pun berkabung.

Dan kembali lagi, hari itu ditutup dengan malam yang datang tiba-tiba, dengan matahari palsu yang padam begitu saja, kembali ke dinginnya malam kubah sentral, kini tanpa maharani mereka.

***.

Bersambung ….

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!