Cinta Telah Berpaling

Thalia yang sedang meracik kopi tersenyum lirih, mendengar tawa suaminya yang mengudara setelah melakukan pengkhianatan, seolah tidak ada beban. Ketika Thalia sedang berjuang mengobati luka hati karena perbuatan suaminya, tawa itu seolah memperburuk lukanya.

Wanita itu tertunduk, menitikkan air matanya. Bayangan kebahagiaan yang diberikan Andre dulu berputar, seolah menertawakannya. Menertawakan kebodohannya, yang terlalu mencintai pria itu.

Bunyi dari teko yang menandakan air sudah mendidih, membuat lamunan Thalia buyar. Thalia mengusap air matanya. Ia mematikan kompor, kemudian menyeduh kopi lalu mengaduknya.

Sejak tadi Mbok Sum memerhatikan Thalia. Wanita paruh baya itu membersihkan tangannya, mendekati Thalia. "Biar Mbok aja yang bawa minumannya, Nyonya."

"Tidak usah, Mbok. Biar saya saja." Tolak Thalia tersenyum samar. "Mbok lanjutkan aja, masaknya."

Dengan membawa baki berisi dua minuman, Thalia menyusul Andre yang duduk santai di ruang keluarga bersama Ibunya. Thalia pun meletakkan kedua cangkir di depan Andre dan Ibu mertuanya, secara bergantian. Tidak lupa ia juga meletakkan piring berisi kue lapis yang ia beli saat di perjalanan dari Jember tadi.

"Makasih ya," tutur Pria itu sangat manis. "Duduk disini Sayang, kita ngobrol sama-sama." Ajak Andre sambil menepuk sisinya yang kosong. Thalia terdiam, berpikir sebentar sebelum memutuskan apa yang harus dilakukannya.

Thalia memutuskan untuk duduk. "Diminum Mas, Ma, kopinya."

Bu Nita meraih cangkir dan menyesap kopinya. Dengan sengaja, Bu Nita menjatuhkan cangkir yang ada di genggamannya.

Prang... Cangkir itu pecah mengenai lantai. Bu Nita menyemburkan kopi yang sudah diminumnya. "Kamu sengaja ya, tidak memasukkan gula ke dalam kopi Mama?! " tuduh Bu Nita dengan meninggikan suaranya.

Tidak membantah, karena tidak ingin memperpanjang masalah. Thalia segera beranjak, ia berjongkok membenahi pecahan gelas yang berserakan di atas lantai.

Mendengar kebisingan dari ruang keluarga, membuat Mbok Sum yang sedang menyiangi sayur menghentikan aktifitasnya. "Drama apa lagi yang dibuat Nenek sihir itu."

"Maaf Ma, mungkin Thalia lupa." Ujar Andre, kemudian ia membantu Thalia. "Tinggalkan, Sayang, biar Mbok yang mengerjakannya." Thalia tak menghiraukan ucapan Andre. Ia masih mengumpulkan serpihan pecahan kaca yang juga menempel di permadani.

"Mbok!" panggil Andre.

Mbok Sum datang membawa sapu dan juga serokan sampah. "Ya, Tuan."

"Tolong dibersihkan ya, Mbok." Perintah Andre yang langsung dikerjakan Mbok Sum

"Shh, " desis Thalia, jarinya terluka karena terkena pecahan gelas. Darahnya menetes menodai lantai. Andre segera meraih tangan Thalia, menuntunnya, lalu mendudukkan Thalia di sofa.

"Mas ambil kotak obat dulu." Andre segera mengambil kotak obat yang terletak di laci meja bawah tangga.

"Jadi istri itu harus mandiri, jangan apa-apa bergantung pada suami. Luka kecil seperti itu aja harus Andre yang mengobati. Dasar manja!" cibir Bu Nita.

Thalia terdiam, ia tidak ambil hati sindiran Ibu mertuanya. Justru, ia mengambil baik ucapan tersebut untuk dirinya sendiri.

Mbok Sum yang sedang membereskan pecahan cangkir tersebut menatap anak dari mendiang majikannya penuh iba. Mbok Sum merasa sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Thalia.

Semasa orangtuanya masih hidup, Thalia dibesarkan dengan kasih sayang yang melimpah. Thalia tidak pernah diperlakukan buruk oleh kedua orangtuanya. Bahkan, di bentak pun tidak pernah Thalia, rasakan. Diberikan didikan yang terbaik, membangun pribadi Thalia yang sangat lembut dan penyabar.

Andre sudah kembali menenteng kotak obat. Pria itu membuka kotak tersebut mengeluarkan cairan antiseptik.

"Biarkan istrimu itu mengobati lukanya sendiri. Itu adalah kesalahannya karena tidak hati-hati!" hardik Bu Nita, kemudian wanita paruh baya itu berdiri, meninggalkan ruangan keluarga, dan masuk ke kamar.

"Aku aja, Mas. Aku bisa mengobati lukaku sendiri. Berikan alkoholnya." Pinta Thalia tapi tidak digubris oleh Andre. Sungguh suami yang siaga dan perhatian sekali, bukan?

"Tidak... Mas akan tetap mengobatimu." Andre menuangkan sedikit demi sedikit alkohol ke atas kapas. "Tahan ya, mungkin ini akan terasa perih."

"Iya, Mas." Tahlia mengangguk patuh.

Sejurus kemudian, Andre membersihkan luka Thalia sambil meniupnya. Tidak ada rintihan karena rasa perih, justru Thalia tersenyum getir melihat Andre menunjukkan perhatian yang penuh kepalsuan.

Beberapa menit kemudian, Andre menutup luka Thalia dengan plester luka, dan memberikannya kecupan. "Setelah ini pasti akan sembuh." Andre tersenyum, sambil mengusap pipi Thalia.

Seandainya, Thalia tidak tau apa yang dilakukan Andre di belakangnya, sudah pasti Thalia akan terbuai dengan perlakuan manis Andre. Ia harus bersabar lagi untuk menghadapi drama yang diperankan pria itu.

"Terimakasih, Mas." Ucap Thalia tanpa senyuman

"Besok, kamu jadi daftar kursus?" tanya Andre sambil membereskan obat-obatan yang baru dipakainya untuk mengobati luka Thalia.

"Jadi, Mas. Setelah makan siang aku berangkat."

"Mau Mas antar?" tawar Andre.

"Tidak perlu. Aku bisa berangkat sendiri, Mas."

Ponsel Andre yang berada di meja, bergetar. Thalia menatap benda pipih Andre yang menyala lalu tatapannya berpindah ke arah Andre. "Ada yang menghubungi, Mas. Aku ke atas dulu, mau mandi." Ucap Thalia dingin

Andre mengangguk. "Nanti Mas menyusul." Ia membelai rambut Thalia.

"Ya," Thalia segera beranjak ke kamar. Sudah bisa menebak siapa yang tengah menghubungi suaminya, Thalia memilih lebih baik menjauh, memberikan kebebasan untuk suaminya sebelum ia membongkar kecurangan yang dilakukan suaminya itu.

"Halo," Andre berpindah ke taman belakang, menerima panggilan dari Mona.

Di seberang sana Mona tersenyum sumringah, panggilannya di terima. "Halo, Sayang," sapa balik Mona, melepaskan heilsnya. Kemudian wanita itu menuju dapur, mengambil apel dari dalam kulkas.

"Sudah sampai?"

"Sudah, " balas Mona. "Kenapa suaramu datar begitu? apa ada Thalia?" Mona balik bertanya dengan ketus, mengingat ketika di pantai Papuma, ia melihat Andre begitu mesra dengan Thalia.

"Tidak, aku sedang di taman belakang," jawab Andre.

Mona tertawa sambil menutup mulutnya. "Sembunyi dari istrimu?" Ia mendengar hembusan napas Andre yang gusar.

"Kamu meledekku?"

"Aku berkata sesuai dengan fakta, Sayang, bukan meledek." Mona melahap apelnya kemudian ia menyalakan televisi, "Btw, malam nanti, kamu tidak kesini?" menyadarkan tubuhnya di sandaran sofa, Mona melahap lagi apelnya.

"Tidak, Sayang. I'm sorry."

"Ya.. Padahal aku masih kangen." Rengek Mona dengan manja, dan pria yang berada di ujung telepon itu tertawa. "Subuh tadi kurang lama."

Andre berdehem, menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Jangan memancingku, " bisik Andre. Pria itu melangkah, mondar mandir di tepian kolam renang. "Oia, Mama sudah sampai."

"Benarkah?" tanya Mona antusias, Andre menjawab dengan bergumam. "Kamu jadi 'kan pertemukan aku dengan Mama?"

"Jadi Sayang, mungkin lusa. Aku harus obrolin dulu dengan Mama. Memangnya kamu sudah siap?"

"Tentu saja aku siap, " pekik Mona sangat riang, ia sudah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Ibu dari kekasihnya. Bahkan, ia sudah membeli pakaian baru yang akan ia gunakan untuk pertemuan nanti.

"Sayang, Pak Heru menghubungiku. Nanti malam aku sambung lagi."

"Oke, lagipula aku juga ingin mandi. Bye Sayang. I love you. Muach."

"I love you too." Balas Andre yang di dengar seseorang yang berdiri di balik jendela, memperhatikannya sejak tadi.

.

.

.

Yang ngintip siapa hayo 😅