WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12.>> Cloying
12.Cloying [Melakukan hal bodoh, menjijikkan. Sama seperti cheesy/murahan]
***
Sinar mentari pagi menembus sebuah kamar. Hal itu membuat salah satu penghuninya merasa terganggu tidurnya.
Matanya perlahan terbuka. Pandangan pertama yang ia lihat adalah sosok rupawan yang masih terlelap di hadapannya.
Kilasan kejadian tadi malam kembali menyerang pikirannya. Tidak terasa matanya kembali menumpahkan cairan bening. Ia duduk dengan perlahan agar orang di sampingnya tidak terbangun. Ia takut jika orang tersebut terbangun akan melakukan sesuatu kepadanya.
Dia Azalea Kananta. Gadis yang tadi malam kehilangan kehormatannya sebagai wanita. Pria di sampingnya, lah, yang merenggutnya. Dia Agraven Kasalvori.
Sesuatu yang Aza jaga selama ini untuk suaminya kelak telah Agraven renggut.
Hubungan yang dilarang sebelum adanya ikatan pernikahan Agraven lakukan kepada Aza.
Hanya dengan satu malam, Agraven berhasil membuat hidup dan masa depan Aza hancur.
Tubuh polosnya Aza tutupi dengan selimut.
"Hiks ... hiks, Ma, Pa. Aza kotor hiks." Isakkan kecil meluncur dari bibir gadis itu.
Agraven laki-laki kejam.
Agraven laki-laki brengsek.
Agraven laki-laki yang menakutkan.
Agraven laki-laki tak berperasaan.
Itulah yang Aza tau tentang Agraven. Ia tidak mau tau lagi apapun tentang laki-laki itu. Sejak tadi malam, ia telah sangat membenci Agraven.
Aza bersandar di kepala ranjang. Sebisa mungkin ia meredam tangisannya agar Agraven tidak terbangun. Ia ingin kabur secepatnya.
Tangisan pilu dari gadis tersebut tidak bisa ditahan. Ia tidak bisa menahannya lagi. Hidupnya telah hancur sejak kematian kedua orangtuanya sekaligus dan sekarang hidupnya bertambah hancur.
Sesuatu yang paling berharga yang ia jaga selama ini telah direnggut paksa oleh laki-laki brengsek di sampingnya.
"Kenapa kamu jahat sama Aza? Aza salah apa, hiks ...."
"Aza harus apa sekarang? Jika Vanna dan Afka tau... mereka bakalan jijik sama Aza."
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. Ia tidak bisa membayangkan hal yang akan terjadi kepadanya sekarang dan ke depannya. Apa yang harus ia lakukan?
Dia bukanlah lagi seorang gadis. Bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kepadanya nanti? Bagaimana jika ia hamil?
Aza menjambak rambutnya dengan kuat. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dalam hidupnya. Aza benar-benar merasa hancur. Ia kehilangan arah hidup yang selama ini berusaha ia tata. Usahanya untuk bangun dari keterpurukan beberapa tahun silam seakan-akan sia-sia. Dan itu karena laki-laki di sampingnya.
"Hiks ...."
"Enggak ada lagi yang tersisa. Aza u-udah nggak punya apa-apa. Aza hancur hiks ...."
"Sekarang harus apa, hiks? Mau mati... Aza mau mati!"
"MAU MATI!"
"ENGGAK ADA LAGI!"
"A-aza mau mati, Ma. Aza nggak sanggup lagi, Aza udah nggak tau lagi mau apa. Aza mau ikut kalian hiks ...."
"AZA MAU MATI!!" teriak Aza sudah kehilangan kendali. Ia sudah tidak peduli laki-laki brengsek di sampingnya itu terbangun.
Dan benar saja, Agraven mulai terganggu karena suara teriakan pilu gadis err lebih tepatnya bukan gadis lagi. Status seorang gadis sudah ia ubah menjadi seorang wanita tadi malam. Perlahan matanya terbuka. Pemandangan pertama yang ditangkap oleh netranya yaitu Aza sedang meringkuk di sampingnya.
"Aza udah nggak suci hiks!"
"AZA MAU MATI!"
Tangannya perlahan menarik tubuh Aza agar kembali terbaring di sampingnya. Ia menuntun Aza agar menghadap ke arahnya.
"Apa yang kamu katakan, hm? Mati?"
Aza berusaha memberontak untuk terlepas dari kukungan Agraven.
"Tidak akan saya biarkan itu terjadi, Azalea Kananta."
"Apa mau kamu, hah? Kamu udah hancurin masa depan seorang gadis malang seperti Aza! Sekarang Aza udah nggak suci dan itu gara-gara kamu!"
"Kesucian wanita tidak dilihat dari keperawanan." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Agraven. Matanya kembali tertutup, ia masih sangat mengantuk. Namun, tangannya tidak melepas rengkuhannya dari pinggang Aza.
Aza tidak habis pikir dengan laki-laki yang merengkuh erat pinggangnya sekarang. Mudah sekali ia mengatakan hal itu.
"Istirahatlah, kamu pasti capek." Agraven sungguh tidak punya hati. Hanya itu yang Aza pikirkan sekarang. Posisinya semakin runyam. Bagaimana ia bisa kabur?
"Hanya ini cara saya supaya bisa nikahin kamu," imbuh Agraven setelah beberapa saat hanya diam. Namun, matanya tetap terpejam.
Mata Aza melotot kaget. Apa manusia di depannya sekarang sudah gila?
"Kamu itu gila, ya! Nggak gini caranya-"
"Diam, Za."
"Gimana Aza bisa diam sama laki-laki jahat kayak kamu di sini! Lebih baik Aza mati--"
"Diam!" bentak Agraven tiba-tiba. Aza langsung memejamkan matanya karena terkejut sekaligus takut.
"Hiks ...." Aza mengutuk dirinya sendiri, kenapa sejak kecil sampai sekarang ia masih saja sangat cengeng dan penakut.
Isakkan kecil itu didengar oleh Agraven. Hal itu membuatnya kembali membuka mata.
Agraven akhirnya duduk dari posisinya, lalu menuntun Aza untuk ikut duduk.
Aza mengeratkan pegangannya pada selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
Tatapan Agraven terhenti kepada bercak di alas kasurnya. Ia terkekeh kecil.
"Maafin Papa, nak." Ucapan tak terduga keluar dari mulut Agraven.
Aza mengikuti arah pandang Agraven. Ia mengernyit bingung saat melihat ada bercak lain, selain darah keperawanannya. "I-itu apa?" gumamnya.
Agraven yang mendengarnya langsung menarik sudut bibirnya.
"Calon anak kita yang terbuang," jawab Agraven dengan santai.
Butuh beberapa detik untuk Aza mencerna perkataan Agraven. Setelah mengerti, ia langsung kembali menangis.
"Hiks kamu jahat! Selain membunuh orang, kamu juga bunuh anak sendiri!" teriak Aza.
Rasanya Agraven ingin tertawa, tetapi tahan dan memilih untuk diam. Yang dikatakan Aza memang benar. Ia seorang pembunuh, tetapi untuk membunuh anak sendiri itu tidak mungkin Agraven lakukan.
Sepertinya Aza gagal paham dengan apa yang dimaksud Agraven mengenai 'calon anak kita yang terbuang' tapi, ya, sudahlah, Agraven hanya diam enggan menjelaskan.
***
Semenjak Agraven pergi, Aza hanya terdiam melamun di balkon kamar laki-laki tersebut.
Tatapannya kosong. Namun, tangannya memegang erat gelas yang dipegangnya.
Terlalu banyak kenangan buruk dalam hidupnya, hingga ia tidak mampu mengendalikannya lagi. Tidak seorang pun yang tau kenangan buruk yang menghantui hidup seorang Azalea. Gadis polos dengan sejuta derita di masa lalu.
Terhitung sudah tiga jam Aza berdiri di balkon. Matahari mulai menyengat kulitnya. Namun, ia tidak memperdulikan itu.
Seseorang berjalan mendekatinya. Aza tidak menyadari itu.
"Non ...."
Tidak ada respon dari Aza. Ia tetap menatap lurus ke depan.
Seorang wanita paruh baya yang memanggilnya pun memegang pundak Aza. Namun, Aza sama sekali tidak merespon.
"Non, ini makanannya. Sarapan tadi pagi juga belum dimakan."
"Makan, ya, Non. Nanti Bibi bisa dimarahin sama tuan muda," bujuk wanita tersebut.
Masih tidak direspon oleh Aza. Karena khawatir wanita tersebut membalikkan tubuh Aza untuk menghadap ke arahnya.
Aza tersentak kaget. Ia bahkan mundur beberapa langkah karena takut.
"Non-"
"Jangan," lirih Aza nyaris tak terdengar.
"Non, ada apa? Cerita sama Bibi." Wanita tersebut menatap Aza khawatir. Sangat jelas jika melihat sorot mata Aza saja tau bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
"Jangan ... Aza takut hiks...."
"Non, ini Bibi!"
Tubuh Aza luruh ke lantai balkon. Ia membentuk gerakan memeluk tubuhnya sendiri.
"Aza kotor hiks, Aza rendahan! Aza murahan! Aza menjijikkan ...."
Wanita paruh baya yang bekerja hanya paruh waktu di rumah Agraven itu bersimpuh di depan Aza yang terus menghindar.
"Non, kenapa ngomong kayak gitu? Manusia itu sama, Non. Nggak ada yang rendah-"
"Bibi nggak akan ngomong kayak gitu kalau Bibi tau yang Aza alami!" teriak Aza dalam tangisnya.
Elin merasa iba melihat tangis pilu dari wanita di depannya. Ia tidak tau permasalahannya, tapi ia tahu betul jika ada tatapan itu menunjukkan luka dan kehancuran
"Bi, tinggalin Aza sendiri."
Paham dengan apa yang dibutuhkan oleh Aza, Elin pun keluar dari kamar Agraven dan meninggalkan Aza sendirian.
Setelah Elin keluar, Aza kembali berdiri dengan menatap kosong ke arah langit.
"Вu Саса! mama papa Aza kenapa lama pulangnya. Katanya cuma berobat sebentar ke rumah sakit, kalau udah selesai langsung pulang"
Aza kecil cemberut menatap wanita yang duduk bersimpuh di depannya, sedangkan ia duduk di kursi salah satu taman panti.
Bukannya menjawab, wanita yang ia panggil Bu Caca tersebut justru menangis.
"Mama Papa Aza udah pulang, sayang ...."
"Mana, Bu? Kok nggak jemput Aza ke sini?"
"M-mama sama Papa Aza pulangnya nggak ke sini lagi," jawab Bu Caca. Ia bingung harus menjelaskan bagaimana kepada Aza.
"Maksud Ibu? Mama sama Papa Aza pulang ke mana, Bu?"
"Pulang ke tempat yang sangat jauh-"
"Mereka, kan, lagi sakit, Bu. Mereka juga berdarah waktu itu, Aza sangat takut saat orang-"
"Karena itu mereka pergi jauh, sayang. Mereka mau berobat supaya sakitnya sembuh," jelas Bu Caca memotong ucapan Aza. Ia tidak tega melihat anak kecil di depannya kembali mengingat kejadian yang menakutkan tepat di depan matanya. "Mereka titipin Aza ke sini, soalnya di sini ada banyak teman," sambungnya lagi.
"Berarti Mama sama Papa udah pulang, tapi nggak ke sini?"
"Iya, cantik."
"Kalau Aza kapan pulang? Terus kalau Aza kangen gimana?" tanya Aza dengan polos.
"Mereka ada di sini," balas Bu Caca menunjuk ke arah hati Aza.
"Di sini? Mama Papa ada di dalam tubuh, Aza?"
"Di hati Aza, sayang."
Aza terkesiap saat tangannya memecahkan gelas yang sedari tadi ia pegang dengan kuat. Potongan kenangan masa lalunya langsung buyar.
Kenyataannya kedua orangtuanya memang benar-benar pulang. Pulang untuk selama-lamanya. Tidak akan pernah menemuinya lagi.
Aza sedikit meringis akibat tergores pecahan gelas yang mengenai telapak tangannya. Namun, ia tidak peduli. Rasa sakit di hatinya lebih dari itu.
Seketika ia teringat bahwa pintu kamar Agraven tidak dikunci. Buktinya Bi Elin bisa masuk tanpa diperintah oleh Agraven.
Dengan cepat Aza berlari menuju pintu kamar. Dan benar saja pintunya tidak dikunci.
Ia harus kabur.
Perlahan kakinya keluar dari kamar Agraven. Selagi laki-laki itu tidak berada di rumah, ini adalah kesempatannya untuk kabur.
Baru saja ia ingin menuruni tangga, tapi dua orang yang hendak menaiki tangga membuat Aza kembali mundur. Ia bersembunyi di samping lemari yang terdapat di sana.
Aza dapat melihat Agraven membawa seorang gadis.
"Apa dia akan melakukan hal yang sama kepada gadis itu?" gumam Aza. Matanya terus mengarah kepada Agraven dan seorang gadis itu.
Agraven membawa gadis tersebut ke sebuah ruangan yang berjarak satu ruangan dari kamarnya, tempat Aza tadinya berada.
"Ini nggak boleh dibiarkan! Cukup Aza yang dia hancurin, jangan orang lain," gumam Aza. Dengan ragu ia melangkah ke arah pintu ruangan yang sudah tertutup itu.
Aza mengambil napas dalam berkali-kali untuk mengumpulkan keberanian.
Perlahan ia membuka pintu ruangan tersebut yang untungnya tidak dikunci.
Aza langsung menutup mulutnya karena kaget saat melihat pemandangan yang ada di depannya.
•
•
•
To be continue....