"Papa tidak setuju jika kamu menikah dengannya Lea! Usianya saja berbeda jauh denganmu, lagipula, orang macam apa dia tidak jelas bobot bebetnya."
"Lea dan paman Saga saling mencintai Pa... Dia yang selama ini ada untuk Lea, sedangkan Papa dan Mama, kemana selama ini?."
Jatuh cinta berbeda usia? Siapa takut!!!
Tidak ada yang tau tentang siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, dimana akan bertemu, dalam situasi apa dan bagaimanapun caranya.
Semua sudah di tentukan oleh sang pemilik takdir yang sudah di gariskan jauh sebelum manusia di lahirkan.
Ikuti ceritanya yuk di novel yang berjudul,
I Love You, Paman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12 - Remaja
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, bahkan tahun berganti tahun. Tidak terasa kini Lea telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja. Usianya kini dua belas tahun, saat dimana kini Lea memasuki sekolah tingkat pertama.
Berkat ketekunan Saga yang bekerja sebagai pengantar barang, mereka berhasil menyewa sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Meski rumah itu tidak terlalu besar, namun nyaman dan cukup untuk kebutuhan mereka berdua.
Pagi itu, Saga sedang menyiapkan sepeda motornya untuk berangkat bekerja, sementara Lea bersiap-siap untuk hari pertamanya di sekolah baru.
"Lea, sudah siap?," tanya Saga sambil memeriksa barang-barangnya.
Lea pun muncul dari kamarnya dengan seragam sekolah baru. "Sudah, Paman."
Saga tersenyum melihat penampilan Lea yang kini semakin dewasa. "Kamu tampak cantik dengan seragam itu. Sudah siap untuk hari pertama?."
Lea mengangguk dengan semangat. "Iya, Paman. Lea tidak sabar untuk bertemu teman-teman baru."
Saga mendekat kemudian mengelus kepala Lea seraya berkata, "Ingat, belajar yang rajin dan selalu berhati-hati. Jika ada masalah, segera hubungi Paman."
Lea mengangguk lagi. "Paman, jangan khawatir. Lea akan baik-baik saja."
Mereka berdua pun keluar rumah. Saga mengantar Lea terlebih dahulu ke sekolah sebelum melanjutkan perjalanannya bekerja.
Setibanya di sekolah, Lea merasa sedikit gugup namun tetap semangat. Di lorong sekolah, anak-anak lain bergerombol, bercanda dan berbicara satu sama lain.
Lea mencoba menenangkan diri, mengingat nasihat Saga untuk selalu berhati-hati dan belajar rajin.
Sementara itu, di tempat kerja, Saga menerima tugas pengantaran yang cukup banyak. Hari-harinya semakin sibuk, namun ia merasa senang karena usahanya telah membawa mereka ke kehidupan yang lebih stabil.
Malam harinya, saat mereka berkumpul di meja makan, Lea menceritakan pengalamannya di sekolah kepada Saga.
"Bagaimana hari pertamamu, Lea?" tanya Saga sambil menyendok nasi ke piringnya.
Lea tersenyum dengan ceria lalu menjawab. "Menyenangkan, Paman. Lea bertemu banyak teman baru dan guru-gurunya juga baik."
Saga pun tersenyum bangga. "Bagus sekali. Paman senang mendengarnya. Ingat, selalu jaga sikap dan rajin belajar."
"Iya, Paman. Lea janji akan belajar dengan sungguh-sungguh."
Keesokan harinya...
Saat hari kedua sekolah, Lea merasa senang karena telah mendapatkan teman sebangku yang baik. Pagi itu, semua berjalan lancar.
Lea menikmati pelajaran dan mulai merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Namun, kejadian tidak terduga menantinya saat pulang sekolah.
Ketika bel pulang berbunyi, Lea bergegas mengemasi buku-bukunya dan berjalan menuju gerbang sekolah. Saat itulah, dia melihat kerumunan siswa di sudut halaman sekolah.
Penasaran, Lea pun mendekat dan melihat seorang siswi yang sedang dibully oleh sekelompok anak-anak. Siswi itu berlutut di tanah dan menangis, sementara anak-anak yang lain mengelilinginya, mengejek dan mendorongnya.
Awalnya, Lea merasa ragu untuk ikut campur dan tidak ingin terlibat dalam masalah orang lain karena bisa berisiko. Namun, saat salah satu dari anak-anak itu hendak menendang siswi yang menangis, Lea pun tidak bisa hanya berdiam diri.
"Hei, hentikan!," teriak Lea seraya melangkah semakin cepat mendekati kerumunan.
Anak-anak yang sedang membully itu pun menoleh dan terlihat terkejut dengan keberanian Lea. Lalu, salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki yang tampak sebagai pemimpin kelompok, melangkah maju dengan tatapan meremehkan.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Ini bukan urusanmu," katanya dengan nada menantang.
Lea menatapnya dengan berani lalu berkata, "Ini urusan semua orang ketika seseorang disakiti tanpa alasan. Biarkan dia pergi."
Anak laki-laki itu tertawa sinis lalu diikuti oleh teman-temannya. "Oh, lihat, pahlawan baru kita datang. Apa kamu pikir bisa mengalahkan kami?."
Lea pun menelan ludah karena merasa gugup namun tetap mencoba tegar dan terlihat. "Aku tidak peduli. Aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti dia lagi," ucapnya.
Melihat keberanian Lea, anak laki-laki itu pun melangkah lebih dekat bahkan hampir menyentuh wajah Lea dengan jarinya. "Kamu ingin jadi pahlawan, ya? Lihat, apa yang akan terjadi padamu sekarang."
Namun, sebelum anak laki-laki itu sempat melakukan apapun pada Lea, tiba-tiba seorang guru muncul dari pintu sekolah dan menarik perhatian semua orang.
"Apa yang terjadi di sini?!," teriak guru itu, dengan wajah yang memerah karena marah.
Anak-anak yang membuly itupun segera membubarkan diri dan melarikan diri sebelum guru bisa mendekat. Sementara Lea membantu siswi yang dibully tadi untuk berdiri, dan keduanya pun berjalan menjauh dari kerumunan yang tersisa.
Dari kejauhan, anak laki-laki yang menjadi pemimpin pembuly tadi menatap Lea dengan tatapan sulit di artikan sementara Lea tidak menyadarinya.
"Terima kasih," ucap siswi itu dengan suara gemetar. "Namaku Rina."
Lea tersenyum meski hatinya masih berdebar. "Sama-sama, aku Lea. Kamu baik-baik saja?."
"Iya, terima kasih. Mereka sering melakukan ini padaku, sebagian dari mereka teman sekelasku waktu sekolah dasar. Mereka sangat jahil dan benar-benar tidak baik."
"Kita harus melaporkan ini ke guru. Mereka tidak boleh terus begini."
Rina terlihat ragu. "Aku takut. Mereka akan membalas dendam."
Lea menatap Rina dengan penuh empati. "Kita harus berdiri bersama. Jangan biarkan mereka menang. Aku akan bersamamu."
Rina akhirnya setuju, dan mereka berdua pun berjalan menuju ruang guru untuk melaporkan kejadian tersebut.
Lea merasa bangga karena telah berdiri melawan ketidakadilan, namun ia tidak tahu bahwa ini mungkin hanya awal dari tantangan-tantangan lain yang harus dihadapinya di sekolah.
**
Saat malam hari, ketika hendak makan malam, Lea menceritakan kejadian tersebut kepada Saga. Saga merasa bangga atas keberanian Lea, namun juga khawatir akan keselamatannya.
"Lea, kamu harus berhati-hati. Bullying itu berbahaya. Paman bangga kamu berani membela teman, tapi ingat untuk selalu waspada," kata Saga dengan serius.
"Iya, Paman. Lea akan berhati-hati. Tapi Lea tidak bisa diam saja melihat ketidakadilan."
"Kamu benar, Lea. Tapi selalu ingat, keselamatanmu yang paling penting."
"Siap Paman! He he...."
Sambil bersiap untuk makan malam, Lea memperhatikan orang asing yang sudah dia anggap seperti pamannya itu dari berbagai sisi dan mulai menyoroti penampilan Saga.
"Paman, kenapa rambut Paman dibiarkan selalu panjang? Bahkan, wajah Paman hampir tidak terlihat karena kumis dan janggut ini," ujar Lea seraya menunjuk pada bulu-bulu di wajah Saga itu.
Saga berpikir sejenak dan hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Lea.
"Kenapa Paman diam saja? Atau wajah Paman itu benar-benar jelek ya?," goda Lea sambil tertawa kecil.
"Paman lebih nyaman seperti ini, sudahlah, lebih baik sekarang makan saja."
"Em, tapi... Orang-orang di sekitar sini suka mengatakan jika Lea itu tinggal bersama orang jahat karena penampilan Paman yang seperti ini," ujar Lea dengan wajah sedikit kecewa.
"Benarkah?."
"Iya, teman Lea juga banyak yang punya paman, tapi paman temen Lea itu punya wajah tampan dan bersih, gak seperti Paman..." ucap Lea sedikit ragu.
Saga hanya tersenyum dan melanjutkan makannya. Sementara Lea merasa sedikit bersalah karena takut menyinggung perasaan Saga. Mereka pun makan dalam keheningan sejenak, namun akhirnya Saga berbicara lagi.
"Lea, penampilan itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah hati dan tindakan kita. Paman memang terlihat berbeda, tapi Paman tidak pernah berniat jahat."
"Lea tahu, Paman. Lea hanya tidak suka orang-orang menilai Paman begitu saja."
Saga mengusap kepala Lea dengan lembut. "Terima kasih, Lea. Kamu memang anak yang baik. Paman akan memikirkan kata-katamu."
Malam itu, setelah Lea tertidur, Saga merenungkan kata-kata Lea. Ia berpikir, mungkin penampilannya itu memang membuat Lea tidak nyaman dan agar tidak ada lagi prasangka buruk dari orang-orang di sekitar mereka.
Bersambung...