Dunia tak bisa di tebak. Tidak ada yang tau isi alam semesta.
Layak kehidupan unik seorang gadis. Dia hanyalah insan biasa, dengan ekonomi di bawah standar, dan wajah yg manis.
Kendati suatu hari, kehidupan gadis itu mendadak berubah. Ketika dia menghirup udara di alam lain, dan masuk ke dunia yang tidak pernah terbayangkan.
Detik-detik nafasnya mendadak berbeda, menjalani kehidupan aneh, dalam jiwa yang tak pernah terbayangkan.
Celaka, di tengah hiruk pikuk rasa bingung, benih-benih cinta muncul pada kehadiran insan lain. Yakni pemeran utama dari kisah dalam novel.
Gadis itu bergelimpangan kebingungan, atas rasa suka yang tidak seharusnya. Memunculkan tindakan-tindakan yang meruncing seperti tokoh antagonis dalam novel.
Di tengah kekacauan, kebenaran lain ikut mencuak ke atas kenyataan. Yang merubah drastis nasib hidup sang gadis, dan nasib cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.L.I, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benda itu akan dipakai pada pakaian yang sesuai dengannya. [1]
✨AGAR MEMUDAHKAN MEMAHAMI ALUR, BACA
SETIAP TANGGAL, HARU, DAN WAKTU DENGAN
BAIK
✨PAHAMI POTONGAN-POTONGAN CERITA
✨BERTYPE ALUR CAMPURAN (MAJU DAN
MUNDUR)
^^^Kamis, 23 Juni 2022 (07.05)^^^
Hari ini gelora pagi bergemuruh di sisi timur. Bekas hujan semalam masih menyisakan dinginnya di embun kaca jendela.
Akhir-akhir tahun, hujan semakin sering merajalela, memenuhi setiap waktu, bahkan akhir pekan orang-orang tak bisa bersantai karena air Tuhan yang turun seharian.
Beruntung berbuah langka, pagi ini hanya sisanya yang tertinggal, walau langit tak terlalu cerah, tapi cukup memberitahu perkiraan cuaca bahwa di kesempatan ini hanya akan berawan tanpa hujan.
Natha sudah bangun pagi bersiap, menggunakan pakaian bebas rapi, meninggalkan seragam Sekolah Menengah Atas Jaya Pura semalam yang terlipat rapi bagian bawah lemari.
Dia tak pergi ke sekolah itu lagi pagi ini, melainkan terus melaju ke Universitas Jaya Pura, menatap halte dan halaman depan sekolah tempat dia turun kemarin dari jendela bus yang terus melaju.
Tadi malam Natha memutuskan untuk menghubungi Ketua kelasnya, demi mengonfirmasikan surat izin kemarin, apakah sudah sampai di kelas atau tidak.
Tapi aneh, selain perkataan ibu, Natha malah menemukan kejanggalan dengan ketua kelas di Universitas yang mengatakan jika di kelompok itu tidak ada mahasiswa yang bernama Nathania.
Si pemimpin kelas itu juga bingung nomor siapa yang menelepon, seingat sang ketua, di jurusan mereka bahkan tak ada gadis yang bernama lengkap Nathania.
Juga dari angkatan atas maupun angkatan bawah, nama Natha mungkin ada, tapi tidak dengan ejaan identitas Nathania lengkap.
Natha sempat merasa kebingungan sendiri akibatnya, kendati akhirnya memutuskan datang ke kampus demi mengonfirmasikan dirinya langsung ke dosen pembimbing.
Di pikir hampir sudah tiga hari Natha tidak masuk, karena mengurus permasalahan aneh yang tiba-tiba menyeruak arus kehidupan gadis itu beberapa hari.
Memang kejelasan dirinya dengan ketiga anak sekolahan tersebut belum selesai, Natha masih punya utang dengan Aslan yang dibuatnya sendiri.
Tapi setidaknya nomor mereka masih tertera di telepon pemberian tersebut, jadi sewaktu-waktu ingin membayar, Natha bisa menghubungi mereka lewat nomor itu.
Untuk permasalahan ibu, gadis berbadan munggil dan berkulit kuning langsat itu hanya bisa memilih diam.
Semalam usai sambungan telepon yang putus dari ibu, Natha nekad keluar mencari wanita paru baya tersebut di beberapa tempat yang ia ketahui.
Menembus derasnya hujan yang dingin, beralaskan payung Natha mendatangi satu-persatu tempat ibu kerja, rumah teman, dan beberapa warung yang biasa wanita itu singgahi.
Tapi sungguh tetap tak membuahkan hasil bagi Natha. Berulang dia sudah bertanya dan mendatangi ke tempat yang sama, melangkah bolak balik hingga waktu tidak terasa sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam.
Masa bodoh dengan seragam dan tubuhnya yang sudah basah kuyup karena tidak di selimuti payung dengan benar.
Hingga raga Natha yang lelah dan lemah terjerembab jatuh tengah jalan, dengan deruan hujan dan penutup bertangkai yang terlempar jauh.
Kedua lengan gadis itu mengesek jalan, dia terseret sedikit bersama arus hujan yang mengenang di hamparan, lututnya sudah tak berbentuk di hantami lagi luka baru.
Sejenak Natha terdiam menyadari tubuhnya jatuh, cairan bening ikut keluar di bawah derasan hujan yang mengguyur. Lalu akhirnya memecah tanggisan Natha untuk memarahi kesalahan sendiri.
Dia sungguh menyesal mengingat ibu, tidak pernah menyangka malam itu akan menjadi bencana amarah yang besar bagi ibunya.
Natha tau dirinya salah, dia pantas untuk di1 pukuli atau di tampar, tapi bisakah setidaknya sekarang ibu datang dan memarahi Natha yang kehujanan tengah jalan.
Pukul dan omelin saja tingkah Natha yang sudah menyerah dan buta arah sekarang. Gadis itu benar-benar kehabisan akal untuk menemukan wanita yang sangat di cintainya itu di mana lagi.
Semua tempat dan daerah yang Natha tahu telah ia datangi, orang-orang yang lewat bahkan Natha introgasi, mencari kalang kabut keberadaan ibu.
Tapi tetap tidak membuat batang hidung wanita cantik itu muncul di depan kedua bola penglihatan Natha.
Gadis itu ujungnya menyerah, menangis sejadi-jadinya bawah hujan, tengah kesunyian malam yang murung, dengan arus air yang mulai kemerahan.
Kini seolah mencoba menjawab pikirannya sendiri, Natha memaksa menguatkan diri untuk melangkah pagi kamis.
Membentuk benak bahwa ibunya hanya terlalu kesal kepada dia, makanya memilih untuk pergi dan meninggalkan gadis itu sejurus.
Pasti setelah tenang ibu akan kembali, mencoba menelan lupa kenyataan pahit bahwa ibu benar-benar telah meninggalkan dirinya.
Tiningg!!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
...(Pesan)...
\=> Olivia lucu : Natha kamu dimana, kamu ngga sekolah?
\=> Iefan handsome : Sklh bodoh, lu jgn malas, kemana aj lu!
\=> Aslan!!! : Lu di mna?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Natha mengabaikan pesan singkat dari layar handphonenya, memasukan telepon canggih tersebut ke dalam tas, dan mencoba fokus pada tujuan utama.
Dia sudah kembali ke kampus sekarang, hubungan dengan ketiga anak sekolah itu tidak ada lagi, selain utang Natha untuk membayar biaya ganti rugi, juga mengembalikan handphone ini nantinya.
Universitas Purna Witarma ramai di hari ini, banyak mahasiswa yang berlalu lalang, juga Natha yang berjalan masuk ke gedung dengan papan nama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di halaman depannya.
Itu adalah fakultas yang Natha tekuni, satu-satunya jurusan yang mungkin kelak akan membantu Natha menemukan pekerjaan dengan mudah pikir dia.
Pintu ruangan dosen berdecit, kala Natha melangkah masuk, menuju ke sebuah ruangan lagi di dalam tempat itu.
Suasana di sana sejuk, pendingin ruangan menghembus udara lembut, bersama pewangi tempat membuat siapapun betah berada di sana.
Terlebih dosen pria yang berumur depan Natha, tengah duduk sambil menalaah beberapa pekerjaannya menggunakan kacamata plus.
“ Emm… Permisi pak. “ Natha masuk dengan sungkan, usai mengetok sambil membuka pintu perlahan. Dia melangkah kecil sengaja niat agar di perizinkan untuk masuk terlebih dahulu.
Pria yang duduk di tengah ruangan itu menatap Natha sekilas, melepas kacamatanya sambil mengangguk sebagai ungkapan untuk mempersilahkan duduk.
Di ikuti langkah cekatan gadis itu yang menurut, membenahi sopan dirinya di tempat duduk.
Dia tersenyum tegang dengan santun, sebagai ungkapan pembukaan antara perbincangan dirinya dan dosen tertuju.
Tapi sejenak merasakan dinginnya hawa yang terasa pernah di alami sebelumnya, padahal bisa di katakan baru kali ini Natha berhadapan dengan dosen pembimbing itu selain mengambil Kartu Hasil Studi.
“ Hm, kenapa? “ Suara pria itu tegas, juga jelas di lafalkan.
Darah Natha berdesir sekilas, dia memberanikan diri untuk bersuara. Mengingat dosen pembimbingnya ini sangat tegas, sejenak lepas dari perasaan dejavu seorang.
“ Maaf pak, saya ingin mengonfirmasikan ketidakhadiran saya beberapa hari kemarin. “
“ Ketidakhadiran? “ Alis pria itu naik sebelah mulai sensitif. Suaranya mencuat penuh di ruangan.
Membuat Natha terperanjat kecil di buatnya. Gadis itu mengangguk pelan. “ Iya pak. Mencoba siap akan jawaban sebagai alasan tidak masuk dirinya selama 3 hari berturut-turut.
Pria di depan reflek membuka lembaran di sisi, memakai kacamata lagi, sambil mengecek dengan cermat dokumen dari bilahan berkas-bekas yang bertumpuk di sudut meja.
“ Siapa namamu? “ Dia bertanya tanpa melirik Natha, kepalanya mendongak karena kesulitan melihat.
“ Nathania pak. “ Gadis itu menyahut cepat. “ Fakultas Sastra Indonesia. “ Lanjutnya melihat pria berumur itu yang tak kunjung menemukan.
Beralih alis dosen senior depan Natha mulai mengkerut satu, melihat dengan seksama sampai berulang kali membilah lembaran. “ Maaf! Kamu… anak bimbingan saya? “
Mata pria yang kerap di panggil dengan sebutan pak Laus itu mengerucut kecil mengarah Natha. Dia sudah kesal mencari di sebilah kertas.
Natha menilik bingung. “ Iya pak? Saya anak bimbingan bapak, saya semester 3. “ Gadis itu berupaya menjelaskan, berfikir pria tersebut tidak mencari dengan seksama.
“ Loh, tapi kenapa nama kamu tidak ada di daftar ini, ya? Kamu anak semester berapa tadi? “
Lagi pak Laus menatap kertas, mencoba mencari ulang. “ Soalnya yang saya lihat di semester 3 tidak ada nama kamu, juga di daftar nama siswa bimbingan saya juga tidak menerakan daftar nama mu. “
Dia beralih menyorot posisi Natha setelah usai mencari. “ Kamu salah masuk fakultas. Nama mu jelas tidak tertera di daftar ini sama sekali. “
Berdetak jantung Natha seakan di serang tegangan yang kuat, dia menatap lebar pak Laus.
“ Maaf pak, tapi saya memang benar mahasiswa fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. “ Suaranya mulai panik. “ Coba bapak cek sekali lagi, mungkin ada terselip di beberapa lembaran di belakang. Saya mohon pak. “
Tercampur perasaan tak percaya di benak Natha, mengapa semua orang mengatakan jika dia bukan mahasiswa di universitas tersebut.
Seakan segala seluruh insan tidak mengenal dan tidak menerima keberadaan Natha. Seolah dunia yang dia pinjaki sekarang bukan lagi tempat yang sama.
“ Saya sudah mengeceknya berulang kali, kamu memang tidak ada di fakultas ini. “ Suara pak Laus setingkat naik, dia sedikit tidak terima di ragukan.
“ Mungkin kamu salah fakultas, silahkan cari dulu dengan seksama dari fakultas mana tempat kamu berasal. Baru temui dosen yang membimbing kamu. “
Natha terpaku menyahut, bibirnya kelu menatap lebar, dia bungkam dan bingung tidak bisa berkata-kata lagi.
Desiran denyut nadi gadis itu terasa berhenti, ia berjalan tak percaya keluar ruangan. Pandangannya datar tanpa tujuan.
Detik itu rasanya jiwa Natha bagai tertusuk ratusan jarum tajam kenyataan, belum selesai permasalahan semalam dengan ibunya, kini Natha malah di hadapi kenyataan bahwa jika dia buka mahasiswa Universitas Purna Witarma.
Gadis itu bingung, apa yang terjadi, tak mungkin ibu Natha yang datang ke kampus untuk mengajukan pengunduran dirinya, meski benar setidaknya masih ada jejak yang tersisa.
Seperti ketua kelasnya yang masih mengingat Natha, atau minimal dosen pembimbing tadi yang menyatakan langsung akan pengeluaran dirinya.
Sebaliknya, saat ini semua hal itu tidak terjadi, Natha marasa dirinya seakan di musuhi seluruh dunia, dikucilkan dan sengaja dilupakan.
Padahal belum habis masa sulit hidupnya selama kehidupan 19 tahun, dibawah hinaan dan gunjingan orang karena dirinya yang miskin tanpa ayah.
Sudah biasa Natha tidak memiliki teman, sudah wajar jika orang-orang dan tetangganya membicarakan mereka, apalagi makan seadanya karena berhemat.
Tapi semua masa sulit itu dia lalui bersama ibunya, dia akhiri dengan tindakannya yang berkuliah, juga bercanda gurau dengan wanita yang paling dia cintai itu selama pulang ke rumah.
Berharap kecil semua masa sulit yang dialami hanya akan sampai di saat-saat itu saja, bukan sekarang yang seakan membuat Natha hidup kembali seorang sendiri.
Tidak ada lagi orang yang menjadi alasan Natha tersenyum, tempat dia bersembunyi dari rasa sakit hati, dan alasan Natha untuk bertekad sukses. Seakan semuanya hancur.
Dia sendiri dan benar-benar sendiri.
“ Natha! “
Deg!
Kedua bola penglihatan Natha melebar, dia terperanjat menoleh kepala, menaikan kelopak matanya memandangi seorang laki-laki yang tiba-tiba berdiri dihadapan Natha.
Sekujur rambut laki-laki itu kuyup, pelipisnya basah di guyuri keringat, dia terengah-engah mengenggam lengan Natha.
Bibir merah muda laki-laki itu sedikit pucat, dia menyoroti wajah Natha dengan penuh raut khawatir.
Sosok tersebut adalah Aslan, yang sekarang di balasi tatapan Natha, memberi mereka seakan waktu yang lambat untuk saling bertemu mata.
Merasakan gelombang jeda di antarnya, berbalikan dengan langkah orang di sekitar mereka yang berlalu cepat dan ramai.
Baru kali ini Natha menengadah wajah Aslan dengan serius, dan pertama kalinya orang yang datang usai perkataan Natha yang mengatakan dirinya seakan sendiri.
Gadis itu buyar melamun, udara di sekitar tubuhnya sekan lambat, bahkan saat Aslan yang menelpon, dan kedatangan dua anak sekolahan itu lagi dari ujung tangga.
Banyak orang yang memerhatikan eksistensi tiga anak sekolahan tersebut, terlepas dari seragam mereka yang sudah mencolok.
Beberapa dari insan sekitar ada yang sedikit centil, mencuri pandangan pada Iefan dan Aslan, sebagain lagi masih heran. Dan separuh memilih tidak peduli.
“ Natha!!! “ Seorang gadis berteriak histeris memeluk Natha.
Membuyarkan pandangan gadis tersebut, baru sadar jika ketiga anak sekolah kemarin sudah mengelilingi dirinya lengkap.
“ Natha kamu ke mana aja! “ Olivia menanggis memeluk erat. Kedua tubuhnya bergetar karena panik, bahkan tampak bibir gadis itu yang pucat karena habis berlari cemas.
Telapak tangan Aslan yang menggapai lengan Natha reflek terlepas di aktivitas kedua gadis.
Iefan yang kesal menimpali. Nafasnya juga berat habis berlarian mencari keberadaan Natha di beberapa fakultas lain sebelumnya.
“ Woi lu ngapain di sini Natha. Lu gila ya! “ Iefan menarik tangan Natha cepat, bermaksud membawanya pergi. Orang-orang di sana sudah semakin memerhatikan posisi mereka.
Natha bereaksi cepat, dengan mengehentikan langkahnya, menahan juga melepaskan paksa tangan Iefan dari lengannya.
“ Lu ngapain di sini! “ Natha kesal di tarik begitu saja.
Serempak membuat ketiga anak sekolah itu, yang semula akan berduyun-duyun berjalan pergi bersama, kembali menoleh menghentikan langkah. Berbalik menyoroti Natha dengan heran dan alis yang bertaut-taut tidak habis.
“ Astaga, lu kenapa lagi sih Natha. Seharusnya gue yang nanya sama lu, lu ngapain di sini. Lu kenapa bolos sekolah segala. Lu ngga inget apa, gimana pak Fredrik ngehukum kita kemarin, apalagi tau kalo lu bolos sekarang. “
Iefan sudah tidak mampu lagi menahan emosinya. Dia mencoba menjelaskan dengan cepat.
Bergejolak alis Natha naik menerima gelombang kalimat Iefan, dia bingung menyaksikan ekspresi serupa dari Aslan dan Olivia bergantian. Namun di ikuti angin yang berhembus kencang seketika.
Wuss...
Olivia yang khawatir memegangi bahu Natha. “ Kenapa Natha, ada yang masih ketinggalan atau kelupaan kah? “
Tiba-tiba tanpa menjawab, Natha memeluk Olivia secara erat. Dia mendadak menangis sejadi-jadinya. Menumpah semua emosi di gejolak pelukan sang gadis cantik.
“ Aku takut Olivia, aku ngga tau kenapa aku disini. “ Alis Natha bahkan sudah menyatu ketakutan.
Deg!
Jiwa keaslian Natha terkejut di dalam batin, dia mendengar sendiri bibirnya bersuara, otaknya beku didalam gumaman, merasa bingung apa yang telah mulutnya katakan barusan.
Natha sendiri yang memilih untuk datang ke universitas ini pagi tadi, memang sewajarnya karena dia harus lanjut berkuliah.
Tidak mungkin dia perlu izin terlebih dahulu dengan ketiga anak Sekolah Menengah Atas yang tidak dikenalinya itu, atau mungkin membuat surat izin untuk sekolah yang seharusnya dari awal tidak dia masuki dengan salah.
Aneh namun nyatanya mulut Natha berkata lain saat ini, dia mengaku bingung dan tidak tahu atas keberadaan raganya di Universitas yang paling di kenali di seluruh Indonesia, bahkan menanggis sejadi-jadinya memeluk gadis sekolah bernama Olivia. Seakan mereka telah saling mengenal lama satu sama lain.
Sekoyong-koyong yang berbicara barusan bukanlah Natha. Gadis itu berguman menentang di dalam batin, tapi tak mampu dan tidak kujung bisa untuk bersuara.
Lantas melirik pergelangan tangannya yang bahkan tidak bisa di gerakan. Tubuhnya kaku, lagi seperti kejadian-kejadian tempo lalu yang menimpa Natha di peristiwa kemarin.
Cepat Iefan yang panik lekas membawa Natha pergi, tidak ada waktu lagi untuk saling berbincang.
Pikir Iefan, mereka sudah sangat terlambat, menghindari keterlambatan sudah tidak mungkin, tapi setidaknya mereka tidak akan semakin memperburuk waktu yang terus berjalan.
Masa hukuman keterlambatan di Sekolah Menengah Atas Jaya Pura sangat berat, dihitung perjamnya dengan 10x lari keliling lapangan estafet.
Sebagai upaya agar siswa di sana tidak ada yang berani untuk bolos. Sekolahan itu menyediakan berbagai fasilitas agar siswanya tetap masuk, jadi semisal ada siswa yang sakit maka mereka tidak perlu izin, melainkan tetap datang ke sekolah, tetapi di beri keringanan untuk di obati di Unit Kesehatan Sekolah.
Mereka pikir jika di rawat di Rumah Sakit luar juga akan sama, orang tua perlu mengeluarkan biaya pengobatan sendiri, namun di Sekolah Menengah Atas Jaya Pura tidak perlu.
Sekolah itu sungguh menanggung semua penyakit yang di alami siswanya, termasuk penyakit berat, makanya rata-rata orang tua siswa tidak mempermasalahkan aturan bolos tersebut.
Sementara jika ada keperluan mendesak di luar sakit tetap di berikan izin, namun dengan syarat harus wali atau orang tua dari siswa itu yang datang ke sekolah untuk menandatangi surat izin di atas materai.
Makanya ketiga anak sekolah itu begitu gencar mencari keberadaan Natha, mereka tidak mungkin membiarkan gadis itu bolos dan baru mencarinya saat pulang.
Natha bisa di tetapkan bolos selama 8 jam dalam satu hari masa sekolah, jika sungguh tidak hadir tanpa ada keterangan bahkan dari orang tua atau wali Natha hari ini.
Tentu akan menghadiahkan hukuman lari sesuai dengan waktu keterlambatan gadis tersebut, tidak bisa di bayarkan dengan uang atau dilimpahkan kepada siswa lain seperti permasalahan kemarin.
Hukuman telat ini sungguh tidak pandang bulu, baik pria ataupun wanita, tak jarang pak Fredrik benar-benar menghukum siswi untuk lari keliling lapangan.
Tutup telinga dengan semua alasan, bahkan sampai siswi itu pingsan di tengah lapangan karena tak sanggup.
Apalagi Natha yang jelas-jelas ketahuan bolos, dia bahkan baru selesai dengan permasahalan percobaan pembunuhan kemarin, lalu dengan lancangnya hari ini bolos dari sekolah.
Tentu pak Fredrik yang sangat membenci siswa pembangkang akan menjadi murka. Tidak heran kepala sekolah itu juga membenci Aslan karena kerap melawan dari aturannya untuk membela Natha.
Kini mobil mewah kedua anak sekolah itu mengaum keluar Universitas, melaju dengan masing-masing penumpang antara Natha dan Iefan satu mobil, serta Aslan dan Olivia satu kendaraan. Mengejar kecepatan waktu, berlomba dengan detik yang terus marah tak mau kalah.
Sekilas Natha memandangi kemampuan menyetir dua anak orang kaya tersebut, tak di pungkiri keduanya cukup mahir, terbukti mereka bahkan sudah sampai di sekolah dalam waktu hampir 15 menit.
Padahal Natha tau jarak tempuh antar Sekolah Menengah Atas Jaya Pura dengan Universitas Purna Witarma.
Mungkin normalnya perlu waktu 30-45 menit. Terlebih dalam keadaan kota Jakarta yang padat di siang hari. Berdecit kedua kendaraan mewah itu sudah terpakir rapi di halaman.
Mengeluarkan masing-masing insan dari kendaraan mereka. Tapi anehnya yang kini Natha lihat bukanlah halaman depan Sekolah Menengah Atas Jaya Pura, melainkan gedung tak terpakai yang berada di sisi belakang sekolah.
Entah apa yang direncana oleh ketiga anak sekolahan tersebut, tapi yang jelas sekarang Natha merasa kesal, tubuh bodohnya terus mengikut dengan gerakan tiga Anak Sekolah Menengah Atas serupa.
Padahal sesuai otaknya dia harus pergi, sudah beruntung Natha bisa keluar dari sekolah ini kemarin, tapi mengapa hari ini malah mencoba masuk lagi. Bukankah Natha sedang memasukan dirinya sendiri ke dalam jurang yang sama.
“ Hei… hati-hatilah, Natha! “ Olivia berbisik membantu.
Mereka tengah menyelinap lewat jendela belakang gedung. Setelah berupaya susah payah memanjat pagar menjulang belakang sekolah. Kini giliran Natha yang masuk perlahan dengan bantuan kedua laki-laki tersebut dari belakang.
“ Liat kondisi! Gue sama Iefan akan naik sekarang. “ Aslan bersuara berbisik dari luar.
Olivia mengangguk. “ Oke-oke! Cepetan! “ Dia memandang bolak balik mengecek keadaan.
Membuahkan hasil kini keempat siswa itu yang sudah berhasil masuk ke gedung.
Raut mereka senang, saling membersihkan diri satu sama lain agar tidak terlihat jelas telah menyelinap dari gedung belakang yang kotor.
Lamun siapa sangka selebrasi mereka belum bisa di rayakan saat itu, seseorang tiba-tiba bersuara di pintu ruangan kelas tempat keempatnya menyelinap.
“ Ck,ck,ck! Aku harus membenahi akses itu nanti. “
Keempat siswa tersebut terperanjat serentak, mereka berbalik bersamaan, kaget saat menemukan pak Fredrik sebagai pelaku buka suara barusan.
Laki-laki berumur itu melipat kedua tangannya santai, dia menatap sombong ke arah Aslan. Tepat sisiran dinding pintu kelas terbengkalai.
Dia sadar atas kepergian tiga siswa itu dari sekolahnya ketika pagi tadi sewaktu bel tepat tengah berbunyi.
Seharusnya semua siswa berlari satu arah untuk masuk, menghindari tertutup pagar, tahu jika keterlambatan adalah hal yang paling kepala sekolah mereka benci.
Namun sebaliknya pagi tadi tadi terjadi kejadian unik, dua mobil sport mewah siswa malah melaju keluar menembus padatan siswa yang masuk.
Yang sempat di pandangi oleh pak Fredik dari gedung menjulangnya, kenal jika dua kendaraan itu adalah milik Iefan dan Aslan.
Makanya saat ini laki-laki berumur dengan pakaian kemeja berwarna coklat, yang dilipat setengah lengan, dalam paduan hitam itu berdiri di dalam gedung tak terpakai ini. Dia telah menebak kemana tindakan yang akan di ambil dua siswa pembangkangnya itu.
Natha sendiri terdiam di dalam batin, pandangan gadis itu teralihkan, bukan dengan ketegangan dari wajah pak Fredrik.
Melainkan gelombang sorot mata antara kepala sekolah itu dengan laki-laki yang berada di sebelahnya, yakni Aslan.
Entah mengapa saat bertemu dengan pak Fredrik pandangan Aslan selalu sama, dia begitu sinis dan tajam meneliti pria yang bisa dikatakan juga seumuran dengan ayah anak itu seharusnya.
Menderukan gelombang angin yang menerpa anak rambut Natha saat itu.
Wuss...
...~Bersambung~...
✨MOHON SARAN DAN KOMENNYA YA
✨SATU MASUKAN DARI KAMU ADALAH SEJUTA
ILMU BAGI AKU