MOHON MAAF, MASIH BANYAK TYPO BERTEBARAN, DAN TANDA BACA YANG MASIH AMBURADUL 🙏
Dulu. demi bisa mendekati lelaki yang ia cintai, Emira nekat mengubah identitas nya, jati dirinya, bahkan penampilannya, yang sungguh jauh berbeda dengan dirinya yang asli, namun lelaki yang ia suka tiba tiba menghilang, tanpa kabar, dan tanpa jejak, seperti di telan bumi.
Mereka kembali bertemu, perdebatan tak penting mewarnai hari hari mereka sebagai dokter residen.
Tapi malam reuni itu merubah segalanya, di pagi hari mereka terbangun didalam sebuah kamar hotel, tanpa apapun selain selimut yang menutupi tubuh keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
BAB 12
“Ada apa sih kak?” tanya Emira pura pura oon dan tak mengerti situasi. “Abang juga aneh gitu wajahnya.” Emira sudah menyiapkan kuda kuda, dengan berjalan pelan mendekati Andre dan Kevin.
“Dasar gadis nakal,” pekik Kevin yang sudah tak sabar ingin memarahi adik kecilnya, namun sebelum sempat mendekat, dengan gesit Emira berlari, tentu saja tujuannya adalah berlindung di balik punggung pria kesayangannya, Daddy Alex.
“Daddy … tolong,” rengeknya manja.
Mendengar putri kesayangannya meminta tolong, membuat Alex segera bersikap waspada, mantan duda tampan ini bahkan bisa lebih galak daripada induk ayam, jika ada yang berani mengganggu dan menyakiti putri kesayangannya.
"Ada apa sih?" Tanya Daddy Alex bingung.
"Itu kakak dan Abang mau memarahiku." Adunya.
Daddy Alex mengerutkan keningnya, ketiga anak anaknya memang sering adu mulut, bahkan untuk hal sepele, dan kadang ia masih harus dituntut menjadi penengah karena walau ketiga anaknya sudah dewasa, kadang sifat kanak kanak mereka melebihi cucu cucu nya.
"Kenapa sih bang?" Tanya Daddy Alex pada si sulung.
"Semalam aku memberinya kartu kredit, dan hari ini dia sudah menghabiskan ratusan juta, entah untuk apa, itu baru kartu milikku, belum milik Andre."
"Benar begitu kak?"
"Iya dad …" jawab Andre kalem.
Alex memijat keningnya, putri kesayangannya ini memang benar benar menguji kesabarannya, bahkan sang istri Stella tak punya hobby belanja, kenapa Emira sangat suka belanja.
"Benar begitu?"
"Benar dad, tapi aku kan masih ingin bersenang-senang sebentar, aku masih bosan dengan aktivitas belajar, tapi mereka buru buru menyuruhku bekerja." Adu Emira dengan wajah yang di buat memelas, hingga membuat Daddy Alex iba seketika. "Hiks … aku kan anak daddy, bukan kuli bangunan yang harus bekerja keras demi sesuap nasi." Jawab Emira berpura pura menangis, namun ketika Daddy Alex tak melihatnya, Emira menjulurkan lidahnya pada kedua saudara laki lakinya.
Melihat seringai ejekan dari wajah Emira, kedua kembar Geraldy itu semakin tersulut emosi, tapi Emira sudah mengantisipasi dengan berlari terlebih dahulu ke halaman Belakang, Geraldy Kingdom bukan tempat sembarangan, luas halaman belakangnya saja melebihi lapangan sepak bola, dan Emira memilih berlari di sana, sudah yakin jika kedua kakak sulungnya pasti akan kewalahan mengimbangi kecepatan larinya, menurut Emira, kedua kakak nya sudah terhitung sebagai pria tua, dengan beberapa buntut di belakang mereka, belum lagi mereka kerap tenggelam dalam padatnya aktivitas, jadi kadang tak sempat berolahraga, sementara Emira, sedang berada di puncak masa remaja beralih ke masa dewasa, sedang dalam fase sangat cantik penuh aura yang mampu memikat lawan jenis nya, begitu pula energinya yang seakan tak ada habisnya.
Dan benar saja, belum sampai sepuluh menit berlari, Kevin dan Andre sudah kehabisan nafas, “sudah mengejarnya? … segitu saja kemampuan kakak dan abang? hahaha …”
“Hei bocah … ber … henti, si … ni ka … mu !!!” teriak Andre dengan suara terputus putus.
“Gak mau, Kalau mau kalian saja yang mengejarku, jika kalian berhasil mengejarku, aku akan kembalikan Black Card milik kalian,” Emira mencoba bernegosiasi.
“Jika ka … mi ga … gal?” kali ini Kevin yang bertanya.
“Black Card kalian jadi milikku, termasuk diantaranya kalian tak boleh protes jika aku memakai kartu tersebut untuk belanja sesuka hati.” Emira berlari pelan, sesekali ia berjalan mundur demi mengimbangi kecepatan kedua kakak kembarnya. "Bagaimana?" Tanya emira dengan seringai di wajah cantiknya.
"Terserah lah… aku tak peduli kamu apakan kartu itu," Kevin yang pertama mengalah, mengancam Emira sama sekali tak ada gunanya, karena pada dasarnya adik kecil nya itu, tak suka diatur, tak sudi dianggap anak bawang, dia hanya ingin diberi kepercayaan, karena merasa bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
"Hei… kenapa kamu menyerah begitu cepat?" Tanya Andre.
"Aku lebih baik kehilangan kartu, daripada kehilangan reputasi, "Kalah lomba lari hanya akan merusak reputasi kita di depan anak anak." Bisik Kevin, yang pantas di setujui oleh Andre.
Melihat kedua saudara laki lakinya berbisik menjauh, membuat Emira curiga.
"Lalu menurutmu bagaimana?"
"Biarkan saja dia jajan sesuka nya, kamu belum jatuh miskin kan?"
Andre menggeleng, seraya menjatuhkan tinju ke pundak saudara kembarnya, "ngomong seenak jidat, mau ku beri makan apa anak istriku kalau aku jatuh miskin,"
"Ya sudahlah kita ikhlaskan saja, lagi pula benar perkataan istri istri kita, Emira tak akan bertindak berlebihan, kita cukup mengawasinya dari jauh,"
Andre manggut manggut menyetujui ucapan Kevin, dan memilih segera menemui kelima anak mereka.
"Abang… kakak … kok udahan, kan permainan belum berakhir?" Seru Emira kecewa, bisa bermain dengan kedua saudara laki lakinya adalah kesempatan langka, sayangnya mereka kini semakin bertambah dewasa, semakin susah menyisihkan waktu luang bersama.
Andre dan Kevin hanya menjawab seruan Emira dengan lambaian tak peduli.
Emira tertawa senang, ia kini justru berbalik mengejar kedua saudara sulungnya, kemudian naik ke punggung Andre.
"Maaf kalau aku membuat kalian kesal." ujarnya pelan.
Kevin mengacak rambut Emira yang kini bergelayut manja di punggung Andre, "baguslah kalau kamu mengerti,"
"Tapi sudah lama aku tak main bersama kalian." Aku Emira.
"Iya… maaf," Jawab Andre. "sekarang kami semakin sibuk, dan kamu juga harus menyelesaikan pendidikan,"
Andre menurunkan Emira dari gendongannya, "kami memintamu ke rumah sakit bukan karena kami ingin kamu bekerja, tapi jangan sia siakan pendidikanmu, perjuangan mu hingga sampai di titik ini pasti tak mudah, jika tak kamu selesaikan sekarang, kapan lagi?"
Kini berganti Kevin yang merangkul pundak Emira, "masa residen memang berat, abang tidak ingin memaksamu, kamu ingin ke bedah umum seperti abang dan mommy, atau ke spesialis yang lain terserah padamu, tapi untuk maju dan melanjutkan memang benar benar perlu niat dan tekad yang kuat, dan hanya yang tangguh yang akan jadi pemenang."
Emira terdiam, merenungkan kalimat kedua kakak nya.
Pada saat seperti ini, ia benar benar merasa beruntung, karena dikelilingi orang dewasa yang sangat menyayanginya.
.
.
.