Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelah, Keringat, dan Token Harapan
Matahari merangkak naik dengan kejam di langit biru Lembah Hijau. Panasnya mulai terasa menyengat, mencampur dengan kelembaban dari tanah dan keringat yang sudah membanjiri tubuh ketiga gadis itu. Su Yue, Xuqin, dan Lanxi masih berlari, namun kini langkah mereka lebih mirip dengan tarikan kaki yang berat di atas lumpur ketimbang larian. Napas mereka terdengar seperti bellow yang rusak, senggakan kasar yang memecah kesunyian lembah.
Paman Grey masih duduk di atas batu, wajahnya tak berubah, seolah tiga jam itu hanya sekejap baginya. Saat jarum bayangan matahari hampir tepat di bawah kakinya, dia bersuara lagi, suaranya tenang namun memotong kelelahan mereka seperti pisau.
"Waktunya hampir habis," katanya. "Dua putaran lagi."
"Dua...?" erang Lanxi, yang posisinya kini di belakang. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering dan pecah-pecah. Setiap langkahnya goyah, seperti bayi rusa yang baru belajar berjalan. Dadanya yang menjadi beban tambahan kini terasa seperti dua batu besar yang menghentak-hentak tulang rusuknya. "Aku... aku tidak sanggup..."
"Kamu sanggup, Lanxi!" teriak Xuqin, meski suaranya juga serak. "Satu kaki di depan kaki lain! Jangan berhenti!"
Su Yue, yang berada di posisi tengah, menoleh ke belakang. Dia melihat air mata keputusasaan bercampur keringat di wajah Lanxi. Melihat mata temannya yang biasanya bersinar itu kini redup dan penuh rasa sakit. Sesuatu bergerak di dalam hatinya yang beku.
Dia ingat pesan Haoran: "Terkadang, di saat sedih dan sendiri, kita sangat membutuhkan teman." Mereka mungkin belum sedih di sini, tetapi mereka pasti sangat membutuhkan satu sama lain.
Tanpa pikir panjang, saat mereka mencapai ujung lembah untuk berbalik arah, Su Yue berhenti sejenak. Dia merentangkan tangan ke arah Lanxi.
"Naik ke punggungku."
Lanxi terkesiap, matanya membelalak. "Apa? Tidak! Kamu juga sudah lelah, Su Yue!"
"Xuqin juga lelah. Tapi kamu tidak bisa melanjutkan sendiri," kata Su Yue, logikanya dingin dan masuk akal meski napasnya masih tersengal.
"Kita satu tim. Paman Grey tidak melarang bantuan. Dia hanya bilang kita harus terus berlari. Aku akan berlari. Kau akan membantuku mengamati jalan. Itu masih berlari."
Xuqin, yang mencapai mereka, juga berhenti. Dia ragu. "Apakah ini diperbolehkan? Aturannya..."
"Aturannya adalah terus berlari dan tidak mengeluh," potong Su Yue. "Dia tidak mengatakan kita harus melakukannya sendiri. Cepat, Lanxi! Waktu kita hampir habis!"
Dorongan dalam suara Su Yue yang tiba-tiba tegas membuat Lanxi menurut. Dengan sisa tenaga, dia membungkuk dan melingkarkan tangannya di bahu Su Yue. Su Yue, dengan kekuatan yang tidak diketahuinya dari mana, mengangkat Lanxi dan mendudukkannya di punggungnya. Lanxi tidak berat, tapi dalam kondisi kelelahan ekstrem, itu seperti menambah beban gunung.
"Pegang erat," geram Su Yue, lalu dia melesat.
Bukan lari lagi. Ini adalah pawai bertahan hidup. Su Yue mengerahkan setiap ounce kekuatan yang tersisa di tubuhnya yang kurus. Otot-ototnya berteriak, tulang-tulangnya berderak. Tapi dia terus berlari. Langkahnya pendek, cepat, dan penuh tekad. Dia mengabaikan rasa sakit, mengabaikan panas, dan fokus hanya pada satu hal: mencapai pohon ara di seberang.
Xuqin, melihat ini, mengambil keputusan. Jika mereka melanggar aturan, biarlah. Tapi mereka akan melakukannya bersama. Dia berlari di samping Su Yue.
"Aku akan coba menyalurkan Qi-ku untukmu, Su Yue. Tapi aku juga masih di tahap awal, Qi-ku tidak banyak."
"Apa pun itu, lakukan!" desis Su Yue, wajahnya sudah merah padam.
Xuqin mengulurkan tangan, menyentuh lengan Su Yue. Dia memusatkan perhatian, menarik energi kecil dari dantiannya yang hampir kering. Sebuah aliran hangat, tipis seperti benang sutra, mengalir dari tangannya ke tubuh Su Yue. Itu bukan banyak, tapi cukup untuk memberikan sedikit suntikan energi, meredakan kelelahan yang paling akut di meridian Su Yue.
Sementara itu, Lanxi, meski lemas, memaksakan dirinya untuk berguna. Matanya yang tajam mengamati jalan di depan mereka.
"Akar di kiri, Su Yue! Hati-hati! Lubang kecil di depan kanan Xuqin! Belok sedikit!"
Suara petunjuk Lanxi itu seperti peta hidup. Su Yue dan Xuqin, yang terlalu fokus pada rasa sakit dan tenaga mereka, bisa menghindari rintangan tanpa harus membuang energi untuk mengamati. Kerja sama mereka, meski kacau dan terburu-buru, mulai terbentuk.
Dua putaran terakhir itu adalah penyiksaan. Tapi dengan Su Yue yang menjadi kuda pekerja yang tak kenal lelah, Xuqin sebagai pendukung spiritual, dan Lanxi sebagai pengintai, mereka bertahan. Saat Su Yue, dengan Lanxi di punggung, dan Xuqin di sampingnya, melintasi garis finis di pohon ara untuk yang terakhir kalinya, matahari tepat berada di puncak langit.
Mereka berhenti. Su Yue membungkuk, membiarkan Lanxi turun dengan gemetar, sebelum dia sendiri terjatuh berlutut di rumput, muntah-muntah hanya mengeluarkan cairan kuning. Xuqin bersandar pada batang pohon, dadanya naik turun tak terkendali. Lanxi hanya terduduk lemas, menangis dalam hening, air mata kelegaan dan rasa sakit bercampur.
Paman Grey berjalan mendekat. Wajahnya tak terbaca. Dia memandangi mereka yang berantakan, penuh keringat dan lumpur.
"Kalian," katanya, suaranya datar, "melanggar aturan."
Hati mereka jatuh. Semua usaha sia-sia?
"Aturannya adalah berlari sendiri-sendiri, tanpa bantuan," lanjut Paman Grey. Dia menepuk jidatnya dengan telapak tangan, seolah kesal. "Tapi... kalian melakukannya dengan bekerja sama."
Dia berjalan mondar-mandir di depan mereka. "Dunia kultivasi penuh dengan persaingan. Seringkali, orang menganggap mereka harus mengandalkan kekuatan sendiri, menginjak yang lain untuk naik. Itu benar, sampai batas tertentu. Tapi mereka yang bisa bertahan paling lama, yang bisa mencapai puncak, seringkali adalah mereka yang mengerti nilai kerja sama, yang tahu kapan harus mempercayai dan dititipi kepercayaan."
Dia berhenti, memandangi mereka dengan tatapan yang kini penuh apresiasi.
"Apa yang kalian lakukan tadi, meski kacau, menunjukkan sesuatu yang lebih berharga daripada sekedar menyelesaikan lari sendiri: loyalitas, kecepatan berpikir dalam tekanan, dan kesediaan untuk berkorban untuk tim. Itu... sangat patut diapresiasi. Dan dalam banyak situasi di dunia kultivasi, itu lebih penting dan lebih sulit didapat daripada kekuatan individu."
Dia mengeluarkan tiga benda dari dalam jubahnya: token kayu sederhana, diukir dengan simbol awan dan gunung.
"Karena itu, aku menganggap kalian lolos ujian kecil hari ini. Token ini adalah tiket kalian untuk langsung mengikuti ujian tahap kedua besok. Datanglah ke Lapangan Batu Besar di gerbang Sekte Qingyun paling lambat jam sepuluh pagi. Jangan terlambat."
Dia melemparkan token itu, dan dengan akurasi sempurna, masing-masing mendarat di pangkuan ketiga gadis yang masih terengah-engah.
"Terima... terima kasih, Paman Grey!" Xuqin berhasil mengucapkan, sambil memegang token erat-erat.
Paman Grey mengangguk. "Istirahatlah yang baik. Dan bersiaplah. Ujian besok... tidak akan hanya menguji kaki kalian."
Dengan itu, dia berbalik dan berjalan pergi, menghilang di balik tikungan tebing dengan kecepatan yang membuat mata mereka silau.
Begitu dia pergi, ketegangan akhirnya runtuh. Mereka bertiga langsung merebahkan diri di atas rumput hijau yang lembut, membentuk formasi bintang yang compang-camping. Matahari menghangatkan kulit mereka yang basah.
"Kita... berhasil?" gumam Lanxi, masih tidak percaya.
"Kita mendapat token," jawab Su Yue, suaranya parau, matanya tertutup. Tangannya menggenggam token kayu itu. Terasa hangat.
"Su Yue..." Lanxi membalikkan badan, menghadap Su Yue dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih. Aku... aku akan jatuh tanpa kamu."
"Kamu membantu dengan menunjukkan jalan," balas Su Yue, membuka matanya. "Dan Xuqin dengan Qi-nya. Kita melakukannya bersama."
Xuqin tersenyum lelah. "Benar. Tapi Su Yue, dari mana kekuatanmu tadi? Menggendong Lanxi dan masih bisa berlari seperti itu..."
Su Yue memandangi langit biru. "Aku hanya... tidak ingin gagal."
Dia tidak bisa menjelaskan bahwa kekuatan itu datang dari ketakutan akan kembali ke keadaan sendirian dan tidak berdaya.
Mereka berbaring di sana hampir satu jam, mengumpulkan tenaga, sebelum akhirnya dengan gerakan mengerang, mereka bangkit dan berjalan tertatih-tatih kembali ke kota.
Perjalanan pulang terasa sepuluh kali lebih jauh. Saat mereka melewati gerbang kota, tubuh mereka yang basah kuyup oleh keringat dan masih sedikit berlumpur menarik perhatian. Beberapa pria di pinggir jalan melirik, beberapa dengan pandagan kurang ajar yang mengikuti lekuk tubuh mereka yang terbentuk oleh kain basah.
Lanxi, yang masih lemas, tiba-tiba mengangkat bahu dan membusungkan dadanya dengan berlebihan, menatap tajam ke arah seorang pria muda yang melirik lama.
"Apa lihat? Tidak pernah lihat pahlawan wanita kelelahan?" hardiknya, suaranya masih serak tapi penuh sikap.
Pria muda itu tersipu malu, langsung membuang muka dan berjalan cepat pergi. Aksi Lanxi yang tidak terduga itu membuat Xuqin dan Su Yue terkesiap, lalu sebuah tawa kecil, lelah, namun tulus, meledak dari bibir mereka. Itu adalah tawa pertama mereka setelah penderitaan di lembah, dan terasa seperti obat ajaib yang meredakan sedikit pegal di tubuh.
"Mengerikan," komentar Xuqin, sambil tersenyum.
"Biarkan mereka tahu kita bukan sembarangan gadis," sahut Lanxi, bangga.
Mereka sampai di Pondok Beringin dengan langkah terakhir yang hampir merangkak. Nyonya Wei yang melihat mereka menggeleng-geleng.
"Ujian penyiksaan dari Sekte Qingyun sudah mulai, ya? Mandi, cepat, sebelum kalian membuat kamar jadi kandang babi."
Mereka membayar tambahan satu malam lagi, lalu masuk ke kamar. Proses melepas pakaian yang lengket adalah sebuah pencapaian tersendiri. Mandi air dingin di kamar mandi umum terasa seperti surga. Mereka saling membantu membasuh punggung, tertawa ringan melihat memar dan goresan di kulit masing-masing.
Kembali ke kamar, dengan tubuh bersih dan mengenakan pakaian tidur bersih, mereka duduk di tempat tidur masing-masing. Token kayu ditaruh di atas meja kecil, benda sederhana yang kini berarti segalanya.
"Ujian apa kira-kira besok?" tanya Lanxi, memecah keheningan.
"Paman Grey bilang tidak akan hanya menguji kaki kita," kata Xuqin, merenung. "Mungkin menguji kekuatan? Atau bakat spiritual?"
"Atau keteguhan hati," tambah Su Yue. Dia ingat kata-kata dalam buku Han Xing tentang pentingnya Fondasi yang kokoh dan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
"Apapun itu, kita harus tetap bersama," ucap Lanxi, dengan keyakinan polos. "Seperti tadi. Aku jadi pengintai, Xuqin jadi pendukung, Su Yue jadi... kuda perang."
Su Yue mendengus, hampir tersenyum lagi. "Jangan harap aku menggendongmu lagi besok."
Xuqin tertawa. "Kita lihat saja. Yang penting, kita sudah melewati satu penghalang. Kita tidur sekarang. Besok adalah hari yang baru."