"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Perjamuan Iblis
Lampu kristal di aula utama kediaman Permata bersinar dengan kemegahan yang menyakitkan mata. Aroma makanan mewah, cerutu mahal, dan parfum elit memenuhi udara, mencoba menutupi bau amis pengkhianatan yang melekat di dinding rumah ini. Malam ini adalah perayaan ulang tahun Pak Surya yang ke-55, sekaligus pesta penyambutan "resmi" Doni sebagai pemimpin baru bisnis perkayuan desa.
Di sebuah ruangan kecil yang sempit di balik dapur, Risa Permata dipaksa duduk diam. Tubuhnya yang gemetar ditutupi oleh gaun sutra berwarna hitam pekat, pilihan Nyai Ratna agar noda darah dari luka punggung Risa yang kembali terbuka tidak terlihat oleh para tamu. Wajahnya yang pucat disapu oleh riasan tebal yang kasar untuk menyembunyikan lebam di tulang pipi dan sudut bibirnya.
"Dengar, Risa," Tante Dina masuk ke ruangan itu dengan senyum palsu yang memuakkan. Ia memegang sebotol kecil obat penenang. "Doni ingin kau tampil sempurna. Jangan berani-berani bicara satu patah kata pun tentang apa yang terjadi di gudang atau ladang. Kau akan tersenyum, kau akan mengangguk, dan kau akan bertingkah seperti istri yang memuja suaminya."
"Kenapa kalian tidak membunuhku saja, Tante?" bisik Risa, suaranya terdengar seperti gesekan kertas kering. "Kenapa harus ada sandiwara ini?"
Tante Dina tertawa kecil sambil merapikan kalung emas di lehernya—kalung yang Risa tahu persis adalah milik mendiang ibunya. "Karena orang-orang kota itu perlu tahu bahwa transisi kekuasaan ini berjalan damai. Mereka perlu melihat bahwa putri kesayangan Baskoro dengan sukarela menyerahkan takhtanya pada keluarga Wijaya. Sekarang, minum ini."
Tante Dina memaksa Risa menelan pil itu. Beberapa menit kemudian, dunia Risa terasa mulai melayang. Pikirannya menjadi berkabut, namun rasa sakit di tubuhnya tetap ada, berdenyut seperti peringatan yang tak henti-hentinya.
"Para tamu sekalian yang terhormat!" suara lantang Pak Surya bergema dari panggung kecil di tengah aula. "Terima kasih telah hadir. Malam ini bukan hanya ulang tahun saya, tapi juga pembuktian bahwa persatuan dua keluarga besar di desa ini telah membawa kemakmuran baru!"
Pak Surya memberikan isyarat. Doni keluar dari balik tirai dengan langkah angkuh, menarik lengan Risa dengan satu sentakan kuat. Risa terpaksa melangkah, kakinya yang masih lecet akibat kerja di ladang terasa sangat perih saat dipaksakan masuk ke dalam sepatu hak tinggi yang sempit.
"Inilah menantu saya, Risa Permata!" seru Pak Surya dengan wajah berseri-seri. "Simbol perdamaian dan kelanjutan bisnis keluarga kita!"
Tepuk tangan meriah membahana. Para tamu, yang sebagian besar adalah pengusaha kota dan pejabat daerah, menatap Risa dengan pandangan beragam. Ada yang menatap dengan iba, namun sebagian besar menatapnya sebagai barang koleksi baru keluarga Wijaya.
Doni merangkul pinggang Risa dengan sangat erat, jemarinya sengaja menekan tepat di atas luka memar di rusuk Risa. Risa meringis, namun karena pengaruh obat penenang, ia hanya bisa tersenyum miring yang tampak aneh.
"Katakan sesuatu pada para tamu, Sayang," bisik Doni di telinga Risa. Napasnya berbau alkohol kental. "Katakan betapa bahagianya kau."
Risa menatap lautan wajah di depannya. Ia melihat beberapa kawan lama ayahnya. Ia ingin berteriak, "Tolong aku! Mereka membunuh Ayah! Mereka menyiksaku!" Namun lidahnya terasa kelu. Bibirnya hanya bisa menggumamkan kalimat yang sudah didektekan oleh Tante Dina sebelumnya.
"Saya... saya sangat bersyukur... berada di tengah keluarga yang begitu menyayangi saya setelah kepergian Ayah," ucap Risa dengan suara monoton.
Doni mencium pelipis Risa di depan semua orang, sebuah gestur yang tampak romantis bagi orang luar, namun bagi Risa, itu terasa seperti kecupan seekor ular berbisa.
Acara berlanjut ke perjamuan makan malam. Namun, penghinaan yang sebenarnya baru saja dimulai. Doni membawa Risa ke meja tempat para relasi bisnisnya berkumpul—pria-pria paruh baya yang mata kelaparan mereka menatap Risa tanpa malu.
"Wah, Doni, kau benar-benar beruntung," ujar salah satu pengusaha kayu dari kota bernama Pak Broto. "Putri Baskoro ini memang cantik sekali. Sayang sekali dia tampak agak... kurang sehat?"
"Dia hanya masih sedikit trauma, Pak Broto," jawab Doni sambil menuangkan anggur ke gelas Risa, lalu memaksanya untuk minum. "Tapi jangan khawatir, dia sangat penurut. Risa, tuangkan anggur untuk Pak Broto."
Risa meraih botol anggur dengan tangan yang gemetar. Saat ia membungkuk untuk menuang, Doni dengan sengaja sedikit menarik kerah belakang gaun Risa, membiarkan Pak Broto melihat sekilas jaringan parut dan luka merah di pundak Risa yang belum tertutup sempurna.
Pak Broto tidak terkejut. Sebaliknya, ia menyeringai. "Oh, aku mengerti. Doni, kau punya cara yang 'istimewa' untuk mendidik istri ya? Khas pria Wijaya."
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Harga diri Risa diinjak-injak di depan umum. Ia diperlakukan tidak lebih dari sekadar budak pajangan yang bisa dipamerkan bekas lukanya sebagai simbol kekuasaan suami atas istri.
"Ayo, Risa, jangan hanya diam. Suapi Pak Broto dengan buah anggur itu," perintah Doni lagi.
"Doni... tolong jangan..." bisik Risa.
Cengkeraman Doni di pinggang Risa menguat hingga Risa merasa tulangnya akan retak. "Lakukan. Atau kau mau kembali ke kandang kerbau malam ini?"
Dengan air mata yang tertahan di pelupuk mata, Risa mengambil sebutir anggur dan menyuapkannya ke mulut Pak Broto yang tertawa lebar. Para pria itu bersorak, memperlakukan Risa seperti pelayan rendah di rumahnya sendiri. Setiap tawa mereka adalah tamparan bagi memori ayahnya yang dulu sangat dihormati oleh mereka semua.
Di sudut ruangan, Melati berdiri dengan gaun merah yang lebih mewah dari milik Risa. Ia merasa sangat puas melihat Risa dipermalukan. Ia mendekati meja itu dengan langkah gemulai.
"Doni, jangan biarkan Risa terlalu lelah melayani tamu," ujar Melati dengan suara genit. "Ingat, besok dia masih harus menyelesaikan pembersihan gudang kayu di ladang utara."
Beberapa tamu kota tampak bingung. "Pembersihan gudang? Bukankah itu tugas buruh?"
Nyai Ratna segera menimpali dari meja sebelah dengan suara nyaring agar terdengar semua orang. "Oh, itu terapi dari psikiater kami. Risa merasa sangat bersalah atas kematian ayahnya, jadi dia ingin bekerja fisik untuk menebus dosanya. Dia sendiri yang meminta untuk bekerja di ladang, bukan begitu, Risa?"
Risa menatap Nyai Ratna. Ia ingin meludah ke wajah wanita tua itu. Namun, ia melihat Paman Hari berdiri di belakang Nyai Ratna, memegang sebuah foto tua, satu-satunya foto asli ibu Risa yang tersisa. Paman Hari menunjukkan isyarat ingin merobek foto itu jika Risa membangkang.
"Iya... itu keinginan saya," jawab Risa lirih.
Penghinaan publik ini terasa sangat sistematis. Keluarga Wijaya sedang membangun narasi bahwa Risa adalah wanita gila yang depresi, sehingga jika suatu saat nanti Risa ditemukan mati, tidak akan ada orang di desa maupun di kota yang akan merasa curiga. Mereka sedang menyiapkan kuburan legal bagi Risa di depan mata semua orang.
Tengah malam tiba, para tamu mulai pulang. Namun, Doni belum selesai dengan Risa. Ia merasa sangat bergairah setelah memamerkan "budak"-nya di depan rekan-rekan bisnisnya.
Ia menyeret Risa ke kamar utama. Di sana, Melati sudah menunggu dengan senyum licik.
"Malam ini, Risa akan melayani kita berdua," ujar Doni sambil melempar jasnya ke lantai.
"Doni... aku mohon... jangan lakukan ini," Risa berlutut di lantai, memeluk kaki Doni. "Kau sudah mengambil hartaku, kau sudah mempermalukanku... tolong biarkan aku memiliki sedikit martabat yang tersisa."
Doni tertawa, sebuah tawa yang terdengar sangat menyeramkan di ruangan yang sunyi itu. Ia mencengkeram wajah Risa dengan kasar. "Martabat? Martabatmu mati bersama ayahmu di dasar jurang itu, Risa! Di sini, kau hanya memiliki satu tugas: Menyenangkanku. Jika kau tidak mau, aku akan memanggil penjaga di bawah untuk ikut masuk ke sini."
Penderitaan batin Risa mencapai titik nadirnya. Ia melihat Melati yang sedang tertawa sambil menuangkan minuman. Ia melihat Doni yang tampak seperti monster. Ia menyadari bahwa di kehidupan pertama ini, dia benar-benar berada di dasar neraka paling bawah.
Malam itu, di dalam kamar yang dulu penuh kenangan indah bersama orang tuanya, Risa dipaksa menjalani siksaan mental dan fisik yang paling menghinakan. Ia diperlakukan seperti objek, dibiarkan menjadi tontonan dan bahan tertawaan antara Doni dan selingkuhannya.
Setiap sentuhan Doni terasa seperti api yang membakar kulitnya. Setiap tawa Melati terasa seperti silet yang mengiris jiwanya. Risa memejamkan mata rapat-rapat, mencoba melarikan diri ke dalam pikirannya sendiri, namun rasa sakit fisik terus menyeretnya kembali ke kenyataan.
Aku benci kalian... aku benci dunia ini... batin Risa berulang kali seperti mantra.
Saat fajar mulai menyingsing, Doni dan Melati tertidur dalam keadaan mabuk di atas ranjang. Risa, yang dibiarkan tergeletak di lantai dengan tubuh yang hanya ditutupi kain tipis, mencoba merangkak menuju sudut ruangan.
Ia melihat bayangan dirinya di cermin besar. Matanya tampak mati. Tidak ada lagi binar kehidupan di sana. Yang tersisa hanyalah kekosongan yang dingin.
Tiba-tiba, ia teringat bungkusan dari Bi Nah semalam di kandang kerbau. Ia telah menyembunyikan kunci perak itu di dalam selipan korset gaun hitamnya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ke dalam kain sutra itu.
Kunci itu masih ada. Dingin dan keras.
Risa menatap kunci itu. Ia tahu ia tidak akan bisa masuk ke ruang kerja ayahnya selama pesta berlangsung semalam karena Pak Surya berjaga di sana. Namun sekarang, saat semua orang sedang mabuk dan kelelahan, ini adalah satu-satunya kesempatannya.
Dengan sisa tenaganya, Risa berdiri. Ia tidak peduli pada rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia keluar dari kamar dengan sangat perlahan, melewati para penjaga di koridor yang sedang tertidur karena pengaruh alkohol pesta semalam.
Ia sampai di depan pintu ruang kerja ayahnya. Pintu itu digembok dengan rantai besi besar. Doni benar-benar sangat waspada.
Aku harus masuk... aku harus tahu apa yang ayah simpan...
Risa mencari cara untuk membuka rantai itu. Namun, ia melihat sesuatu yang aneh. Ada noda darah kering di gagang pintu. Ia teringat kejadian semalam saat ia mencoba masuk dan melihat Pak Surya.
Tunggu... Pak Surya semalam ada di sini... apakah dia juga mencari brankas itu?
Risa menyadari bahwa brankas itu adalah incaran utama mereka semua. Bukan hanya kayu, bukan hanya tanah, tapi ada sesuatu yang jauh lebih besar di dalamnya. Sesuatu yang membuat ayahnya dibunuh.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Risa panik. Ia tidak punya waktu untuk bersembunyi.
"Nona Risa?"
Suara itu lembut namun penuh dengan ketegasan. Risa menoleh dan melihat seorang pria muda mengenakan seragam pelayan baru, namun tatapan matanya berbeda dengan anak buah Doni lainnya. Pria itu mendekat dan memberikan sebuah surat kecil kepada Risa.
"Saya dikirim oleh seseorang dari kota. Jangan menyerah sekarang. Waktunya akan segera tiba," bisik pria itu sebelum segera pergi menghilang di kegelapan koridor.
Risa membuka surat itu. Hanya ada satu kalimat tertulis di sana dengan tinta biru:
"Revano Adhyaksa sedang mengawasimu. Bertahanlah."
Nama itu. Revano Adhyaksa. Risa pernah mendengar ayahnya menyebut nama itu sekali sebagai anak dari rekan bisnis terbesarnya di kota.
Sebuah cahaya kecil mulai muncul di tengah kegelapan jiwa Risa. Ia tidak tahu siapa Revano, atau mengapa pria itu mengawasinya. Namun, nama itu memberikan sedikit oksigen bagi paru-parunya yang sesak.
Ia menyimpan surat itu di balik bajunya, tepat di samping kunci perak ayahnya. Ia kembali ke kamar utama sebelum Doni terbangun. Ia berbaring kembali di lantai yang dingin, namun kali ini, ia tidak menangis.
Ia menatap langit-langit kamar, menghitung detak jantungnya.
Revano Adhyaksa... jika kau adalah iblis yang lebih besar dari Doni, aku tidak peduli. Selama kau bisa membantuku menghancurkan mereka, aku akan memberikan jiwaku padamu.
Namun di kehidupan pertama ini, bantuan itu tidak pernah datang tepat waktu. Revano hanyalah bayangan di masa depan yang belum terjangkau. Risa masih harus melewati sembilan bab penderitaan lagi, termasuk kerja paksa di ladang dan pengkhianatan yang lebih kejam, sebelum ia akhirnya benar-benar hancur di Bab 20.
Neraka Risa baru saja memasuki babak baru yang lebih gelap. Dan kali ini, musuhnya bukan hanya keluarga Wijaya, tapi juga rasa harapannya sendiri yang bisa menjadi pisau bermata dua.
Keesokan paginya, Doni menyeret Risa bukan ke ladang, melainkan ke tepi sungai desa yang arusnya sangat deras karena musim hujan. Di sana, sudah berkumpul Pak Surya dan Paman Hari.
"Risa, kau bilang kau tidak tahu kode bank ayahmu, kan?" Doni tertawa sambil mengikatkan sebuah batu besar ke kaki Risa. "Mari kita lihat, apakah air sungai ini bisa membantumu mengingat. Jika dalam sepuluh menit kau tidak bicara, aku akan melepaskanmu ke dalam arus ini."
Paman Hari hanya berdiri di sana, memegang kamera untuk merekam adegan itu sebagai "bukti bunuh diri" jika rencana mereka berjalan lancar. Risa menatap arus sungai yang keruh, menyadari bahwa ajalnya mungkin lebih dekat dari yang ia duga.