#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Calon Kades
.
Mereka tiba di rumah Bu Sukma. Raka dan Pak RT duduk di teras.
“Pak, ini Pak RT sama Mas Raka," ucap Amelia. "Katanya mau ngobrol-ngobrol."
Pak Marzuki yang kebetulan memang masih duduk di teras, tersenyum menyambut kedatangan mereka. "Selamat pagi, Pak RT, Raka," sapa Pak Marzuki ramah.
"Selamat pagi, Pak Marzuki," jawab Pak RT dan Raka bersamaan. Lalu mereka bertiga pun bersalaman. Pak Marzuki mempersilahkan mereka berdua untuk duduk di kursi yang ada di teras tersebut.
"Maaf, Pak, kami datang mendadak," ucap Pak RT. "Saya mau minta data diri Neng Amelia, karena dia kan sudah beberapa hari tinggal di sini."
Pak Marzuki mengangguk mengerti. "Oh, iya, iya. Silakan, Pak," ucap Pak Marzuki. Pria itu juga jelas paham akan prosedur yang berlaku.
Amelia bergegas membawa ember berisi keong ke belakang rumah. Ia meletakkan ember-ember itu di dekat kandang bebek, dan nantinya akan diberikan pada bebek pada siang hari karena tadi pagi sudah diberikan makan. Setelah itu, Amelia mencuci tangan dan kakinya di sumur, lalu kembali ke beranda.
"Ini KTP-nya, Pak," ucap Amelia, sambil menyerahkan KTP-nya kepada Raka.
Raka mengambil KTP Amelia dan menyerahkannya kepada Pak RT.
"Terima kasih, Neng Amelia," ucap Pak RT, sambil memfoto KTP Amelia dengan ponselnya.
"Oh, iya, Neng. Bulan depan kan, akan diadakan pemilihan kepala desa, tetapi karena Neng Amel adalah warga baru jadi Neng Amel masih belum bisa berpartisipasi dalam pemilihan tersebut," ucap Pak RT memberitahukan tentang agenda desa tersebut.
Amelia tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak," jawab Amelia. "Yang penting, saya bisa tinggal di desa ini, saya sudah merasa senang."
Pak RT mengangguk dan ia cukup senang dengan sikap Amelia. Pak RT dan Raka kemudian berbincang-bincang sejenak dengan Pak Marzuki.
Setelah berbincang sejenak dengan Pak Marzuki, Pak RT dan Raka berpamitan.
"Terima kasih atas waktunya, Pak Marzuki," ucap Pak RT, sambil menjabat tangan Pak Marzuki.
"Sama-sama, Pak RT," jawab Pak Marzuki.
"Saya pamit dulu ya, Mbak Amelia," ucap Raka, sambil tersenyum kepada Amelia.
"Makasih ya, Mas Raka," jawab Amelia, mengingat tadi Raka membantunya membawa dua ember berisi keong yang sebenarnya memang cukup melelahkan.
Pak RT dan Raka melambaikan tangan kepada Amelia dan Pak Marzuki lalu pergi meninggalkan rumah.
"Amelia juga pamit ya, Pak," ucap Amelia. "Amelia mau nyusul Ibu ke sawah. Kasihan Ibu sendirian."
Pak Marzuki mengangguk. "Iya, hati-hati di jalan, Nak," pesannya.
"Ada yang mau diambilkan sesuatu nggak, Pak?" tanya Amelia sebelum dia pergi
Pak Marzuki tersenyum, Amelia benar-benar gadis yang pengertian dan perhatian. "Nggak ada, Nak," jawab Pak Marzuki. "Kamu hati-hati aja di jalan. Oh iya, tolong bantu Bapak kembali ke kamar ya?"
Amelia tersenyum dan membantu Pak Marzuki untuk berdiri dari kursi. Ia kemudian memapah Pak Marzuki dengan hati-hati menuju kamarnya
*
Sesampainya di sawah, Amelia melihat Bu Sukma yang masih mencabuti rumput di antara tanaman padi. Ia segera menghampiri Bu Sukma dan ikut membantu.
"Bu," ucap Amelia, memulai percakapan. "Tadi Pak RT sama Mas Raka datang ke rumah."
Bu Sukma menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah Amelia. "Mereka ngapain datang?"
"Pak RT mau minta fotocopy KTP Amelia," jawab Amelia. "Itu salah Amel karena lupa untuk melapor.”
"Ya ampun, ibu juga lupa," ucap Bu Sukma ikut merasa bersalah.
"Nggak papa, Bu. Yang penting Sekarang kan sudah diurus sama Pak RT,” ucap Amelia. "Oh iya Bu, katanya bulan depan akan ada pemilihan kepala desa ya? Tapi Amelia masih belum bisa ikut pilihan. Soalnya Amelia kan masih baru di sini."
Bu Sukma menatap Amelia sendu. Iya tak tahu harus menjawab apa.
"Tapi nggak apa-apa, Bu," ucap Amelia sambil tersenyum. "Yang penting, Amel bisa tinggal di desa ini. Itu sudah lebih dari cukup buat Amel."
"Iya sih. Ibu juga senang ada Neng Amel," sahut Bu Sukma. "Oh iya Neng, tahu gak, Den Raka itu salah satu calon kepala desa lho?" Bu Sukma bercerita tanpa diminta.
Amelia menatap Bu Sukma dengan tatapan terkejut. "Wah, serius Bu?" tanya Amelia tak percaya. "Mas Raka nyalon jadi kepala desa?"
Bu Sukma mengangguk. "Iya, Den Raka itu memang pemuda pintar sih. Walaupun anak orang kaya, dia gak pernah sombong sama tetangga. Makanya dia disukai sama warga desa sini.”
Amelia mengangguk. Ia sendiri juga mengakui bahwa Raka memang baik.
*
*
*
Hari-hari terus berganti. Amelia semakin menikmati hidupnya di desa Karangsono. Ia semakin akrab dengan para tetangga.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Amelia menyimpan kekhawatiran yang mendalam. Ia merasa tabungannya semakin menipis. Ia tidak ingin menjadi beban bagi Bu Sukma dan Pak Marzuki. Dia ingin memiliki penghasilan, tapi apa? Dari mana?
Pagi itu, ketika Mas Diman si tukang sayur datang, dan Amelia ikut berbelanja bersama dengan Bu Sukma dan para tetangga, tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Amelia. Melihat sayur-sayur yang ada di dalam gerobak Mas Diman, ia teringat dengan ilmu pertanian yang pernah ia pelajari di kampus.
"Bu," panggil Amelia ketika ia sedang membantu Sukma untuk memasak di dapur.
“Ada apa, Neng?” Tanya Bu Sukma tanpa menoleh karena dia sedang mengiris bawang.
"Gimana kalau kita bikin kebun sayur?" tanya Amelia. "Kita tanam berbagai macam sayuran terus nanti kita bisa jual sayuran ke pasar atau dititip ke Mas Diman. Lumayan kan, Bu, buat nambah penghasilan?"
Bu Sukma menggelengkan kepalanya. "Aduh, Neng" ucap Bu Sukma. "Mau tanam sayur di mana?" tanya Bu Sukma mengingat Mereka cuma memiliki sepetak sawah yang sudah ditanami padi. Sedangkan lahan di belakang rumah juga hanya kecil dan itupun sudah dipakai untuk kandang bebek.
Amelia tersenyum. "Nggak usah khawatir, Bu," ucap Amelia. "Asal Ibu izinin, Amelia bisa kok menyulap halaman depan rumah jadi kebun."
Bu Sukma mengerutkan kening. "Gimana caranya, Neng?" tanya Bu Sukma, bingung.
"Amelia bisa nanam sayurannya pakai batang bambu atau paralon yang diberdirikan di pagar," jelas Amelia. "Jadi, kita nggak butuh lahan yang luas. Kita bisa memanfaatkan pagar rumah sebagai media tanam."
Bu Sukma masih bingung dengan apa yang diterangkan oleh Amelia. Ia belum pernah melihat kebun sayur yang ditanam di dalam bambu atau paralon. Namun, ia juga tidak ingin mematahkan semangat Amelia. Karena itu Bu Sukma pun mengangguk dan mengiyakan.
Amelia bersorak kegirangan. "Asyik! Makasih ya, Bu!" ucap Amelia, sambil memeluk Bu Sukma erat-erat.
Keesokan harinya, Amelia ingin merealisasikan niatnya membuat kebun sayur di halaman depan.
Setelah selesai membantu Bu Sukma menyiapkan sarapan, Amelia menghampiri Bu Sukma yang sedang menyiram tanaman di halaman belakang.
"Bu," ucap Amelia, dengan nada bersemangat. "Di sini kalau mau beli bibit tanaman di mana ya?"
"Di dekat pasar ada toko pertanian, Neng. Nanti Ibu minta Udin, tetangga kita, buat nganterin kamu ke sana," jawab Bu Sukma.
Amelia tersenyum. "Makasih ya, Bu."
*
*
*
Amelia dan Bu Sukma berjalan menuju ke rumah Udin yang berada di ujung jalan. Saat mereka sedang berjalan, mereka berpapasan dengan Raka yang sedang mengendarai sepeda motor.
Raka tersenyum dan menghentikan motornya. "Selamat pagi, Bu Sukma, Mbak Amelia," sapa Raka, dengan ramah.
"Selamat pagi, Den Raka," jawab Bu Sukma, tersenyum.
"Mau ke mana ini pagi-pagi?" tanya Raka, penasaran.
"Ini, Den Raka," jawab Bu Sukma. "Mau ke rumahnya mang Udin. Mau minta tolong anterin Neng Amelia ke toko pertanian dekat pasar."
Raka mengangguk-angguk. "Mau beli apa, Mbak?" tanya Raka.
"Mau beli bibit sayur, Mas,” jawab Amelia.
"Ya udah gak usah nyari mang Udin. Biar saya aja yang anterin Mbak Amelia. Kebetulan saya juga mau beli obat.” Raka menawarkan diri penuh semangat.
Amelia mengerutkan kening. Apa benar sebelumnya Raka berniat ke pasar. Jelas-jelas tadi mereka berjalan berlawanan arah.
bentar lagi nanam padi jg 🥰