Setelah Lita putus asa mencari keberadaan Tian, suaminya yang tidak pulang tanpa kabar, Lita tidak tahu harus kemana dan bagaimana agar bisa mencukupi kebutuhan hidup karena tidak bisa bekerja dalam kondisi hamil, tetapi juga tidak bisa melihat anak sulungnya kelaparan.
Di ujung keputusasaan, Lita bertemu Adrian, pria yang sangat ia takuti karena rasa sakit dan kekecewaan di masa lalu hingga membuatnya tidak mau bertemu lagi. Tetapi, Adrian justru bahagia bisa bertemu kembali dengan wanita yang bertahun-tahun ia cari karena masih sangat mencintainya.
Adrian berharap pertemuan ini bisa membuat ia dan Lita kembali menjalin hubungan yang dulu berakhir tanpa sebab, sehingga ia memutuskan untuk mendekati Lita.
Namun, apa yang Adrian pikirkan ternyata tidak seindah dengan apa yang terjadi ketika mengetahui Lita sudah bersuami dan sedang mencari keberadaan suaminya.
"Lita, jika aku harus menjadi suami ke-duamu, aku akan lakukan, asalkan aku bisa tetap bersamamu," ucap Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HM_14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ide Mendekati Lita
Erlan langsung mengernyitkan kening dan menatap heran Adrian. "Maksudmu, kamu tahu siapa dia?" tanyanya untuk memastikan.
"Aku tidak tahu namanya atau di mana dia tinggal," Adrian mengaku jujur.
"Lalu apa maksudmu kamu tahu pengendara motor itu?"
"Aku hanya tahu pekerjaannya dan di mana dia bekerja."
"Apa pekerjaannya?"
"Dia seorang security"
"Di mana?"
"Di kompleks perumahanku."
"Kamu yakin?" tanya Erlan menegaskan karena khawatir Adrian salah orang.
"Aku yakin, karena aku sering melihat dia. Dia sering membantu mobilku keluar ke jalan raya saat lalu lintas di depan komplekku macet."
"Itu artinya kamu bisa dengan mudah menghubungi keluarganya."
Adrian menghela napas lagi karena harus mengakui ketakutannya untuk menghubungi keluarga pria yang ia tabrak.
"Aku takut kalau aku menghubungi keluarga pengendara motor itu, mereka akan mengambil tindakan hukum. Aku masih sangat takut kalau masalahku diketahui banyak orang."
"Kamu belum mencoba bertemu keluarganya, jadi jangan berpikir buruk dulu."
"Justru aku harus memikirkan keburukan dulu untuk situasi ini agar aku tidak membuat kesalahan lagi."
Erlan tidak setuju dengan pemikiran Adrian hingga ia memprotes bahwa Adrian tidak boleh terus menyembunyikan keberadaan orang lain meskipun Adrian masih bertanggung jawab untuk merawatnya.
"Adrian, jangan hanya memikirkan kesulitanmu sendiri, tapi juga pikirkan perasaan keluarganya. Bayangkan, betapa sedihnya mereka sekarang, menunggu pria itu pulang."
Adrian menjadi emosi mendengar kata-kata Erlan yang menuntut dan menyudutkan hingga ia membalas dengan sedikit marah. "Justru kesedihan itu yang aku takuti. Aku takut kesedihan itu akan membuat mereka menyalahkanku karena tidak bisa terima orang yang mereka cintai terluka karena aku."
Erlan juga menjadi emosi karena kesal dengan nada suara Adrian. "Lalu mau berapa lama lagi kamu akan menyembunyikan orang itu?"
"Bukankah sudahku bilang sejak aku bawa dia ke sini, aku akan menunggu dia siuman dan pulih baru memberitahu keluarganya? Karena ketika kondisinya membaik, tidak akan ada kemarahan untukku."
"Itu jika dia bisa siuman dan pulih, bagaimana jika dia tidak bisa?"
Adrian membuka mulutnya untuk menanggapi ucapan Erlan, tapi ia urungkan karena menyadari bahwa berdebat saat marah hanya akan menimbulkan pertengkaran antara ia dan Erlan.
"Maafkan kemarahanku," kata Erlan, mengusap pundak Adrian, karena dia juga menyadari bahwa nasihatnya akan terdengar memaksa jika disampaikan dengan emosi. Selain itu, ia juga menyadari bahwa telah mencoba campur tangan dalam urusan Adrian, yang bukan urusannya.
"Pahami posisiku. Aku bukan orang jahat yang ingin membuat orang lain menderita. Aku akan bertanggung jawab dengan caraku sendiri, tapi untuk saat ini, tanggung jawabku hanyalah membayar biaya perawatan pengendara motor itu."
"Ya, aku mengerti. Cara kamu menyelesaikan masalahmu adalah urusanmu. Tugasku hanyalah merawat dan mengobatinya pemotor itu sebaik mungkin."
"Aku maaf juga untuk kemarahanku," kata Adrian dengan senyum.
Erlan membalas senyumnya. "Apa kamu masih ingin tinggal di sini atau pergi ke ruanganku?" tawarnya.
"Kita ke ruanganmu saja."
"Baiklah."
Setelah itu keduanya pergi dari ruang ICU, meninggalkan sosok tak terlihat sendirian menatap tubuh yang terbaring di ruangan itu.
"Erlan, apakah kamu ingat Lita—adik perempuanku?" tanya Adrian, memulai percakapan setelah meninggalkan ruang ICU.
Erlan tersenyum kecut saat mendengar hubungan yang disebutkan Adrian. "Saudara perempuanmu atau wanita yang kamu cintai?"
Kini giliran Adrian yang menanggapi kata-kata Erlan dengan senyum malu-malu karena Erlan masih mengingat perasaannya terhadap Lita. "Aku pikir kamu sudah lupa."
"Tidak mungkin aku lupa mengancam, bahkan memukul beberapa pria yang mendekati Lita hanya karena mereka membantu temanku yang pengecut ini."
Adrian langsung mengingat tindakan posesifnya di masa lalu, saat ia meminta Erlan dan tiga teman lainnya untuk bertemu dengan pria-pria yang dekat dengan Lita tanpa sepengetahuan Lita. Bahkan, beberapa pertemuan yang awalnya sangat malah berubah menjadi perkelahian jika pria-pria tersebut tidak takut dengan ancamannya.
"Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Lita? Apakah kamu ingin meminta aku bertemu dengan pria-pria yang mendekati dia lagi?" Erlan bergurau, sementara Adrian hanya tersenyum.
"Tidak. Sekarang aku tidak kekanak-kanakan seperti dulu."
"Kamu akan bodoh jika masih seperti itu,"
"Hehehe." Adrian menjawab komentar Erlan dengan tawa malu-malu.
"Kenapa tiba-tiba kamu bicara tentang Lita?" Erlan bertanya lagi karena penasaran.
"Aku baru menemukan dia siang ini."
Erlan langsung berhenti berjalan karena terkejut dengan jawaban Adrian. "Menemukannya? Apa dia hilang?" tanyanya penasaran.
"Ya. Dia meninggalkan rumahku sudah lama."
"Kenapa?"
"Ibuku bilang itu karena keluarganya ingin bekerja di tempat lain."
"Tante Maya yang bilang?" tanya Erlan untuk memastikan.
"Ya."
"Lita tidak memberitahumu langsung?"
"Tidak. Saat dia pergi, aku sedang koas di luar kota."
Erlan mengernyitkan keningnya heran karena merasa ada yang aneh dalam cerita Adrian.
"Kenapa?" tanya Adrian dengan penasaran ketika melihat ekspresi Erlan.
"Aku merasa aneh."
"Aneh kenapa?"
"Hubunganmu dengan Lita sangat dekat, bahkan sebagian teman-teman kita ada yang menganggap Lita adalah kekasihmu karena dia adalah satu-satunya wanita yang kamu bawa ke pesta teman-teman kita atau saat kita berlibur ke mana pun, tapi ketika meninggalkan rumahmu, dia malah memberitahu Tante Maya, bukan kamu."
"Aku sudah bilang sebelumnya, saat Lita pergi, aku sedang koas di luar kota, bukan hanya seminggu atau dua minggu, tapi enam bulan, jadi dia tidak sempat pamit padaku?"
"Kamu dan dia punya HP, pasti bisa saling menghubungi satu sama lain meski jauh."
"Saat itu kami berdua sibuk. Aku sibuk dengan koasku, sementara dia sibuk dengan pendidikan keperawatannya. Jadi kami tidak punya waktu untuk saling memberitahu."
"Lalu saat kamu tahu Lita sudah pergi, apa kamu tidak mencarinya?"
Adrian diam sejenak karena pertanyaan Erlan mengingatkan pada kepanikan saat mencari Lita dulu. Ia bahkan meninggalkan tugasnya di rumah sakit saat tahu Lita dan Bibi Ellen sudah pergi dari rumahnya. Namun, ia merasa Erlan tidak perlu tahu hal itu, jadi ia menjawab dengan kebohongan.
"Saat aku pulang, Lita sudah pergi dari rumahku selama dua bulan, jadi aku merasa tidak ada gunanya mencarinya."
Jawaban Adrian hanya membuat Erlan semakin curiga karena ia ingat betapa gilanya Adrian pada gadis belia itu. Bahkan, sebelum menikahi Alicia, Adrian masih berharap bisa menikahi Lita, jadi tidak mungkin Adrian diam saja jika dia tahu Lita telah meninggalkan rumahnya. Namun, Erlan merasa itu bukan urusannya untuk ikut campur, sehingga ia tidak mengungkapkan kecurigaannya.
Erlan berjalan kembali ke ruangan dengan Adrian mengikuti di sampingnya.
Tiba-tiba, Erlan tersenyum saat ia ingat sesuatu yang menurutnya bukan sekadar kebetulan. "Waktu yang sempurna!" ujarnya dengan antusias.
"Waktu yang sempurna?" tanya Adrian, bingung dan penasaran dengan perubahan ekspresi Erlan yang tiba-tiba.
"Kamu baru saja bercerai, lalu bertemu Lita lagi. Bukankah itu waktu yang sempurna?"
Adrian langsung tersenyum kecut menanggapi ucapan Erlan. "Lita sudah menikah dan punya anak. Tidak mungkin dia mau denganku."
"Dia sudah menikah?" tanya Erlan memastikan.
"Iya, dia sudah menikah."
"Sepertinya ini juga waktu yang tepat bagi kita untuk bertemu suaminya dan mengancamnya agar meninggalkan Lita. Kalau dia tidak mau, kita akan memukulinya," gurau Erlan.
Adrian tertawa mendengar saran konyol Erlan. "Kamu benar-benar gila."
Tiba-tiba, Adrian berhenti tertawa saat ingat kata-kata Dava tentang ayahnya yang tidak pulang selama dua minggu dan baru menemukan cara untuk bertemu Lita lagi besok.
"Sial!! Kenapa aku baru ingat itu?" ujar Adrian semangat hingga membuat Erlan heran.