Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 ACICD - Kamu menggoda Saya?
Ruby menatap Adriel. Apa pria itu menanyakan hobinya? Ataukah dia curiga kalau Ruby sebenarnya assassin?
Wanita cantik itu meluruskan punggung sembari menata tarikan napasnya. "Maksud Pak Adriel apa?"
"Apa yang kamu lakukan di waktu luang setelah bekerja?" tanya Adriel lagi.
Ruby biasanya menjalankan misi atau kalau tidak ada misi, dia belajar memasak di kontrakannya karena Ruby ini sangat payah soal memasak. Jika ada satu peran yang tidak akan bisa dijalani Ruby ketika menyamarkan identitas, jawabannya jelas, pasti chef.
"Setelah bekerja… saya langsung kembali ke tempat tinggal saya untuk istirahat, atau mempersiapkan bahan wawancara dan standby kalau ada liputan tiba-tiba," papar Ruby tanpa jeda.
"Mempersiapkan bahan wawancara, apa kamu mencari tahu soal narasumber kamu sebelum melakukan wawancara?" tanya Adriel.
"Tentu, Pak Adriel, dan bukan cuma saya, pasti semua reporter melakukan hal yang sama."
"Ya, semua reporter seperti itu, tapi kamu tipe yang mana Ruby Rose? Mencari sedetail mungkin atau hanya sekadar apa yang akan kamu bahas di naskah berita kamu?"
Ruby terjeda sejenak. Kenapa serasa dia yang diwawancarai sekarang?
Kalau mencakup misinya, tentu Ruby akan mencari tahu sedetail mungkin sampai ke akar-akarnya. Tapi, kalau soal pekerjaannya sebagai jurnalis…
Ruby menjawab, "hanya sebatas mengenai naskah yang akan saya tulis, Pak Adriel."
Adriel lagi-lagi mencondongkan tubuh tegaknya sedikit ke depan, dia menautkan jemarinya di depan lutut. Matanya tetap menatap lurus ke arah Ruby. "Sudah berapa lama kamu jurnalis?"
"Sudah hampir enam tahun, Pak."
"Enam tahun? Jadi kamu berumur 28 tahun sekarang?"
Ruby menggeleng pelan. "Saya 25 tahun dan saya jadi jurnalis sejak umur saya 20 tahun ketika masih di bangku kuliah." Tentu ini informasi samaran Ruby.
"Kamu kuliah di mana?" Lagi-lagi Adriel yang mengajukan pertanyaan. Ruby benar-benar merasa diinterogasi. Tapi, dia tidak boleh menunjukkan sikap mencurigakan.
"LMU Munich, Pak."
Adriel mengusap cincin di jari manisnya. Sejauh ini Ruby berkata sesuai dengan informasi yang sudah diteliti pria itu. Dan, mendengar wanita ini mengucapkan nama universitas tersebut mengingatkannya pada Drasha. Lagi dan lagi.
Ya, rencananya dengan Drasha setelah bulan madu memang kuliah bersama di Jerman tepatnya di Ludwig Maximilian University of Munich. Tapi, sayangnya tragedi penembakan itu terjadi.
"Jadi, kamu berasal dari Jerman?" lanjut Adriel bertanya. Dia terus memancing Ruby.
"Iya, Pak."
"Apa yang membuat kamu pindah ke sini?" Adriel menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Saya ingin mengetahui lebih banyak tentang nenek saya yang asli dari sini. Selain itu, saya memang dipindahtugaskan ke kota ini."
"Jadi, kamu blasteran Indo-Jerman."
"Benar, Pak."
"Apa pekerjaan orang tua kamu?" tanya CEO itu lagi.
"Ayah saya seorang teknisi mesin, sedangkan ibu saya seorang karyawan toko roti."
Lalu, tiba-tiba Adriel kepikiran menanyakan sesuatu mengenai masa muda Ruby. "Apa yang kamu lakukan saat berusia 18 tahun?"
Hening sejenak.
Ruby aslinya menyelesaikan misi internasional pertama di usia yang ditanyakan Adriel. Setahunya di usia 18 tahun itu, para remaja akan sibuk mengurus kelanjutan pendidikan tinggi. Tapi, Ruby tidak. Dia sudah bepergian ke berbagai belahan dunia untuk menuntaskan misi yang diberikan padanya.
"Seperti remaja pada umumnya, Pak. Mempersiapkan diri untuk… kuliah."
Ruby tak sadar mengangkat satu tangannya dan ujung bolpoin yang dia genggam menyentuh bibirnya, lalu tergigit ringan. Ruby menundukkan pandangan pada notesnya, mencari pertanyaan lain untuk diajukan ke Adriel supaya lelaki itu berhenti menanyainya.
Dan, ruangan luas itu jadi senyap, hanya suara jam dinding dan lembutnya detik terasa menekan waktu. Gerakan kecil Ruby memang nyaris tanpa makna apa-apa, tapi cukup untuk membuat pandangan Adriel berhenti.
Ujung bibir pria itu sedikit terlipat. Dia menegakkan punggung, pura-pura menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, padahal pikirannya terhenti di satu titik. Bibir Ruby.
Seketika dada Adriel terasa aneh, ada semacam getaran halus yang mengalir dari dada hingga ujung jarinya, seperti aliran listrik yang samar. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Selain itu, ada pula desiran hangat yang bercampur bingung, perasaan yang sulit dijelaskan antara kagum, terganggu dan... tertarik.
Tidak ada wanita yang pernah membuatnya seperti ini Selain Drasha. Tapi… Ruby Rose…
Ah… tidak!
"Sadar Adriel! Jangan termakan trik licik wanita itu!" Dalam hatinya, laki-laki itu mengumpat diam-diam.
Tapi di balik dinginnya wajah dan nada suaranya yang tetap datar, ada getaran lain yang sulit dibohongi.
Bibir Ruby bergerak pelan, menekan bolpoin seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri dan tanpa sadar, Adriel menelan saliva, menyadari betapa tenang tapi memabukkan momen itu terasa.
"Saya rasa wawancaranya cukup sampai di sini," sahut Adriel cepat. Melihat Ruby membuatnya hilang akal, wanita itu harus pergi dari sini.
Ruby menurunkan bolpoin dan mengangkat pandangannya pada Adriel. "Oh… baik, Pak Adriel. Terima kasih sudah meluangkan waktu Anda." Dia lalu menekaan tombol merah di layar untuk menghentikan rekamannya, lalu membereskan notes serta bolpoin ke dalam tas.
Begitu Ruby beranjak, dia menatap Adriel. "Permisi, Pak, sebenarnya saya juga butuh foto Pak Adriel untuk keperluan dokumentasi berita."
Adriel mengangkat pandangannya yang dingin. "Tentu."
Sudah mendapatkan izin, Ruby segera mengarahkan kamera hapenya pada Adriel.
Cekrek!
Cekrek!
Ruby memperhatikan hasil tangkapan kamera hapenya, lalu memandang Adriel. Sedikit lama.
Sementara itu, Adriel tampak sedikit mengerti dengan keresahan Ruby. "Kamu mau ambil foto saya duduk di depan meja kerja?" tanyanya datar.
"Iya, Pak."
Detik itu juga, Adriel beranjak menuju kursi kerjanya yang besar dan duduk di sana, lalu dipotret oleh Ruby.
Setelah selesai, mereka berdua berjalan berdampingan menuju pintu ganda ruangan Adriel. Langkah mereka pelan dan berat seolah ada magnet di sol sepatu masing-masing yang tertarik arah ke lantai.
Ruby merasakan jantungnya berdebar, sehingga dia menggigit bibir bawahnya untuk menekan perasaan gugup yang entah kenapa tidak ada ujungnya itu.
Di momen yang sama, lirikan Adriel tertuju pada bibir Ruby. Sial. Dia dengan cepat mendesak reporter muda itu ke dinding.
"Ah!" Ruby meringis kecil. Lantas pandangannya terangkat kaget menatap Adriel yang mengurung dirinya sampai tidak ada celah untuk kabur.
Ruby bisa saja menggunakan teknik melepaskan diri dari musuh, menyerang titik lemah Adriel, tapi jika melakukan itu sekarang, bisa-bisa Adriel akan curiga kalau dia bukan jurnalis seperti pada umumnya.
Sementara itu, Adriel menunduk menatap Ruby tajam. Napasnya memburu. Dia kesal karena Ruby sangat…
Tidak. Tidak ada yang mampu membuatnya goyah selain Drasha, istrinya.
"Kamu menggoda saya?" sahut Adriel dengan nada yang menusuk seperti pedang.
Ruby mengedipkan mata berulang kali dan manik matanya bergerak pelan ke kiri kanan, sembari mencari apa arti pertanyaan Adriel.
"S-saya tidak menggoda Anda…" Ruby bersuara. Sedikit bergetar nadanya.
"Oh yah? Tapi kamu dari tadi memainkan bibir depan saya, Ruby Rose!" tegas Adriel.
"Saya tidak sadar melakukan itu, saya tidak berniat menggoda Anda, Pak Adriel!" tekan Ruby.
Hening sekilas. Hanya tatapan dua pasang mata yang saling mencari maksud masing-masing. Sama-sama bingung.
"Lalu yang semalam bagaimana, Ruby Rose? Kamu mencuri cake cokelat kesukaan mendiang istri saya! Apa itu, kalau bukan ingin menarik perhatian saya!"