Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - Biodata Palsu
Malam itu, pukul 21:00 tepat.
Ponsel Yuni bergetar di atas meja kayu yang permukaannya kasar. Suaranya seperti dengungan lebah yang marah di keheningan kamar kos.
Sebuah notifikasi email menyala di layar yang retak.
Pengirim: Juan (tanpa subjek).
Lampiran: Skenario_Hubungan_V3.0_FINAL_REV.pdf.
Yuni menghela napas panjang, udara keluar dari paru-parunya dengan berat. Matanya terasa perih, efek dari menatap layar laptop seharian untuk tugas kuliah, dan sekarang... tugas tambahan.
Dia duduk di lantai ubin yang dingin, punggungnya bersandar pada sisi ranjang yang busanya sudah menipis.
Laptopnya menyala redup, memancarkan cahaya biru hantu yang menerangi wajahnya yang lelah. Di luar jendela, lampu jalan berkedip-kedip, seirama dengan detak jantungnya yang tidak menentu.
Dia mengklik fail itu.
Dokumen itu terbuka. Sepuluh halaman.
"Sepuluh halaman?" bisiknya, suaranya serak. "Dia pikir ini skripsi?"
Dia mulai membaca.
Ini bukan lagi sekadar garis besar cerita cinta palsu. Ini adalah otopsi kehidupan Juan. Dan rekonstruksi paksa kehidupan "Yuni" versi Juan.
Bagian 1: Fakta Remeh Temeh (Wajib Hafal).
1. Warna sikat gigi Juan saat ini:Hitam arang (Bulu halus\, merek spesifik). 2. Merek sampo Juan: (Nama merek impor Prancis yang Yuni bahkan tidak tahu cara mengejanya. Yuni membayangkan aroma mahal yang menguar dari rambut Juan kemarin). 3. Posisi tidur favorit: Telentang\, tangan kanan di bawah bantal. (Yuni merasa seperti penguntit). 4. Nama hewan peliharaan pertama: "Rex" (Anjing Golden Retriever\, mati tahun 2010 karena tua).
Yuni mendengus. "Rex. Orisinal sekali."
Dia lanjut membaca, matanya mulai berair karena lelah.
Bagian 2: Fakta Yuni (Untuk Diceritakan pada Keluarga).
1. Nama tetangga masa kecil:Bu Darmi. (Fakta: Yuni tidak ingat nama tetangganya waktu kecil karena mereka pindah tiga kali). 2. Hewan peliharaan pertama: "Si Belang" (Kucing kampung). (Fakta: Yuni bersin-bersin jika ada kucing dalam radius dua meter). 3. Makanan jajanan SD favorit: Telur gulung.
Yuni tersenyum kecil. Oke, yang ini benar. Dia bisa membayangkan rasa gurih minyak dan telur yang digoreng di depan gerbang SD.
Bagian 3: Trivia Hubungan (Tingkat Lanjut).
1. Siapa yang minta maaf duluan kalau berantem?Juan. (Alasan: Karena Juan gentleman dan Yuni keras kepala). 2. Lagu 'kita': "Perfect" - Ed Sheeran.
"Ya Tuhan," gumam Yuni, memijat pelipisnya yang berdenyut. "Kalisya banget. Dia dapet referensi dari mana? Wattpad?"
Dia menghabiskan malam itu menghafal.
Bukan menghafal teori kritik sastra yang luhur.
Tapi menghafal bahwa Juan tidak suka durian karena baunya, alergi ringan pada udang (bukan debu, itu revisi di V.3.0 yang ditandai merah), dan ukuran sepatunya 43.
Kepalanya terasa penuh. Rasanya otaknya dipenuhi sampah informasi yang tidak berguna, mendesak keluar pengetahuan-pengetahuan penting tentang kuliahnya.
Tapi sampah inilah yang bernilai ratusan juta rupiah. Sampah inilah yang membayar lunas tagihan rumah sakit kehormatan keluarganya.
Keesokan harinya.
Jam makan siang. Matahari membakar atap seng Kantin Fakultas Sastra.
Tempat ini adalah antitesis dari Kantin Teknik.
Jika Kantin Teknik adalah food court mal dengan dinding kaca, AC sentral, dan aroma pembersih lantai, Kantin Sastra adalah sebuah ekosistem yang liar dan organik.
Lantainya ubin kusam yang retak-retak, kadang lengket oleh tumpahan kecap manis.
Meja-mejanya kayu panjang yang permukaannya tidak rata, penuh ukiran dan coretan spidol permanen dari generasi ke generasi mahasiswa. "Hidup Sastra!", "Jokowi 3 Periode?", "Aku sayang Dinda (2018)", dicoret menjadi "Dinda Jahat (2019)".
Udara di sini tebal.
Campuran aroma rokok kretek yang manis dan berat, uap soto ayam yang gurih, bau keringat mahasiswa setelah kelas pagi, dan debu buku tua.
Suara bising di sini bukan dengungan AC, tapi petikan gitar akustik sumbang dari sudut kantin, debat panas tentang politik, dan tawa lepas yang tidak ditahan-tahan.
Yuni duduk di salah satu meja di pojok, dekat jendela yang terbuka lebar agar angin bisa masuk.
Dia memesan es teh manis. Gelasnya berembun, satu-satunya hal yang terlihat dingin di tempat ini.
Dia menunggu.
Jantungnya berdebar pelan tapi konstan.
Mahasiswa Sastra di sekitarnya sedang asyik dengan dunia mereka. Ada yang sedang membedah buku puisi di atas meja yang penuh puntung rokok, ada yang bermain kartu dengan teriakan heboh.
Mereka santai. Mereka nyata.
Sampai...
Atmosfer berubah.
Seperti ada pergeseran tekanan udara.
Suara gitar di sudut berhenti sejenak di tengah lagu.
Orang-orang menoleh ke pintu masuk.
Juan datang.
Dan seperti biasa, dia terlihat seperti alien yang mendarat di planet yang salah.
Sangat salah tempat.
Dia memakai kemeja linen putih bersih yang digulung rapi sampai siku, celana chino warna krem yang tersetrika licin, dan sepatu loafers kulit cokelat yang mengkilap.
Di tengah lautan kaos oblong pudar, celana jins robek, dan sandal jepit, Juan bersinar menyakitkan mata.
Dia terlihat seperti turis kaya yang tersesat di pasar tradisional, atau pejabat yang sedang blusukan.
Dia berdiri di ambang pintu, melepas kacamata hitamnya dengan gerakan lambat.
Matanya menyapu ruangan yang berisik dan berasap itu.
Hidungnya berkerut sedikit. Mungkin karena bau rokok kretek yang menyengat langsung menyerang indra penciumannya yang terbiasa dengan aromaterapi.
Yuni mengangkat tangan. Melambai ragu. "Di sini," batinnya, berharap Juan tidak melihatnya dan pergi saja.
Tapi Juan melihatnya.
Dia berjalan masuk.
Langkahnya hati-hati, menghindari genangan air di lantai, seolah takut sepatunya yang mahal itu ternoda oleh realitas kehidupan mahasiswa Sastra.
Semua mata mengikutinya.
Bisikan mulai terdengar seperti desis ular.
"Itu Juan Teknik, kan?"
"Ngapain dia di sini? Nyasar?"
"Nyari Yuni pasti. Liat tuh."
Juan sampai di meja Yuni.
Dia menatap bangku kayu panjang itu. Ada bekas tumpahan kuah yang sudah kering dan lengket di ujungnya.
Dia tidak berkomentar. Wajahnya datar.
Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku belakangnya. Kain katun halus bermotif kotak-kotak.
Dia mengelap bangku itu dengan gerakan presisi.
Lalu duduk.
"Tempat yang... berkarakter," katanya datar, memasukkan kembali sapu tangannya yang kini ternoda.
"Namanya juga Kantin Sastra," kata Yuni defensif. "Murah meriah. Nggak ada service charge."
"Berapa harga makanan di sini?"
"Soto ayam sepuluh ribu. Nasi goreng dua belas ribu."
Alis Juan terangkat sebelah. "Itu harga sepuluh tahun yang lalu."
"Di sini harga sekarang. Inflasi belum masuk gerbang fakultas ini."
"Oke," kata Juan. Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Pesan."
"Kamu mau makan? Beneran?"
"Tentu saja. Aku harus merasakan 'kearifan lokal' pacarku. Itu bagian dari riset karakter."
Yuni menahan senyum sinis. "Oke, Tuan Riset."
Dia memanggil ibu kantin yang sedang mengelap keringat dengan handuk kecil di lehernya.
"Bu! Soto dua! Nasi setengah!"
"Siap, Neng Yuni! Tumben bawa gandengan ganteng!" teriak si Ibu, membuat separuh kantin menoleh lagi.
Yuni ingin menghilang di kolong meja.
Juan melihat sekeliling.
Mahasiswa Sastra menatap mereka terang-terangan.
Tapi tatapan mereka beda dengan anak Teknik.
Anak Teknik menatap dengan kaget dan kagum, seolah melihat selebriti.
Anak Sastra menatap dengan analisis kritis. Mata mereka menyipit, menilai, mendekonstruksi.
Seolah Juan adalah teks asing yang kolonial dan mereka sedang mencoba mencari subteks penindasannya.
"Mereka menatapku seperti aku ini penjajah," bisik Juan, sedikit tidak nyaman.
"Di mata mereka, kamu memang penjajah," kata Yuni. "Borjuis yang masuk ke wilayah proletar dengan sepatu kulit Italia."
Juan tertawa. Tawa pendek. "Kosakata Sastra sekali."
"Oke, sambil nunggu," kata Juan. Dia mencondongkan tubuh ke depan.
Aroma cologne-nya—kayu cendana dan citrus—bertabrakan dengan aroma soto dan rokok.
"Tes V.3.0."
Yuni menegakkan punggung. "Siap."
"Apa nama kucing tetanggaku waktu aku umur 7 tahun?"
"Mochi," jawab Yuni cepat. "Kucing persia putih."
"Salah."
"Hah? Di file tulisannya Mochi! Halaman 4, poin 2!"
"Itu kucing sepupuku. Aku revisi tadi pagi di kepala saat sikat gigi."
"Curang!"
"Tetanggaku punya anjing. Namanya Bruno. Anjing kampung warna cokelat."
"Kamu nggak kirim revisi itu! Itu namanya jebakan!"
"Improvisasi, Yuni. Kalau kamu lupa atau salah, karang saja yang masuk akal. Jangan Mochi. Itu nama dessert, nggak cocok buat anjing kampung."
Yuni mendengus kesal. "Oke. Bruno. Anjing kampung."
"Apa warna sikat gigiku sekarang?"
"Hitam arang."
"Bagus. Kenapa?"
"Karena... ada kandungan charcoal untuk memutihkan gigi? Dan karena kamu obsesif soal estetika bahkan untuk benda di dalam mulut?"
"Tepat. Analisis karakter yang bagus."
Soto ayam datang.
Dua mangkuk ayam jago yang retak di pinggirnya, mengepul dengan asap yang wangi.
Juan menatap mangkuk itu.
Kuahnya kuning pekat, berminyak. Ada potongan ayam suwir, bihun, irisan kol, dan separuh telur rebus.
"Ini... aman?" tanya Juan, menatap lapisan minyak di permukaan kuah.
"Aman, Tuan Muda. Nggak ada racunnya. Paling kolesterol dikit."
Juan mengambil sendok stainless tipis yang sudah bengkok sedikit.
Dia mencicipi kuahnya sedikit. Ujung lidahnya menyentuh cairan panas itu.
Yuni memperhatikannya. Menunggu reaksi jijik.
Wajah Juan berubah. Matanya melebar sedikit.
"Enak," katanya, terdengar kaget.
"Iyalah. Bu Darmi jagoan soto. Micinnya pas."
Juan mulai makan. Dan dia makan dengan lahap.
Dia tidak makan dengan anggun. Dia makan seperti laki-laki lapar.
Keringat mulai muncul di pelipisnya karena panasnya kuah dan udara kantin.
Dia melonggarkan kancing kerahnya.
Untuk sesaat, di tengah asap rokok dan suara bising itu, dia tidak terlihat seperti Juan si Raja Teknik.
Dia hanya terlihat seperti mahasiswa biasa yang menikmati makan siang murah di sela kuliah.
Yuni merasa... sedikit lebih rileks. Bahunya turun.
Mungkin karena tempat ini wilayahnya.
Mungkin karena melihat Juan makan soto di pinggir jalan itu memanusiakannya.
"Jadi," kata Juan di sela-sela suapan, menyeka sudut bibirnya dengan tisu kasar kantin.
"Apa ketakutan terbesarmu?"
Yuni berhenti makan. Sendoknya menggantung di udara.
"Itu nggak ada di file."
"Memang. Aku tanya beneran."
"Buat apa?"
"Buat file V.4.0. Oma suka tanya hal-hal filosofis. Dia psikiater pensiunan."
Yuni meletakkan sendoknya.
Ketakutan terbesarnya?
Gagal bayar UKT? Sudah selesai.
Dika putus sekolah? Sudah aman.
Dia melihat ke luar jendela, ke pohon mangga tua di halaman fakultas.
"Takut... jadi biasa saja," kata Yuni pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara gitar.
Juan berhenti makan. Dia menatap Yuni. "Maksudnya?"
"Takut hidup dan mati tanpa meninggalkan jejak apapun. Cuma jadi statistik. Lahir, kerja, bayar pajak, mati."
"Makanya aku masuk Sastra. Aku ingin nulis. Aku ingin bikin sesuatu yang abadi. Walaupun cuma satu puisi."
Yuni terdiam. Dia baru saja jujur.
Terlalu jujur. Dia membuka lapisan dirinya pada seseorang yang hanya membayarnya untuk berbohong.
"Maaf," kata Yuni, menunduk. "Itu... terlalu serius. Harusnya aku jawab 'takut kecoa'."
Juan diam lama.
Suasana di meja itu hening, terpisah dari hiruk pikuk kantin.
Dia menatap Yuni dengan tatapan yang baru.
Bukan tatapan menilai aset. Bukan tatapan meremehkan.
Tatapan... hormat? Pengakuan?
"Itu jawaban yang bagus," kata Juan pelan. Suaranya berat.
"Jawaban yang sangat Yuni."
"Oma akan suka itu. Dia benci orang yang nggak punya ambisi jiwa."
"Kalau kamu?" tanya Yuni balik, memberanikan diri. "Ketakutan terbesarmu?"
Juan bersandar di bangku reyot itu.
Dia melihat ke langit-langit kantin yang penuh sarang laba-laba dan kipas angin berdebu yang berputar malas.
"Takut mengecewakan," katanya.
Singkat. Padat. Seperti batu yang jatuh ke dasar sumur.
"Mengecewakan siapa? Orang tua?"
"Semua orang," kata Juan. Matanya menerawang. "Orang tua. Keluarga besar. Kampus. Dosen. Teman-teman."
"Semua orang mengharapkan aku jadi hebat. Jadi penerus. Jadi pemimpin. Jadi 'Juan'."
"Kalau aku cuma jadi... biasa saja..." Dia tertawa kecil, pahit. "Itu kegagalan."
Dia tidak melanjutkan.
Tapi Yuni mengerti.
Ketakutan mereka... adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Yuni takut tidak menjadi siapa-siapa karena dia mulai dari nol.
Juan takut menjadi biasa saja karena dia dituntut menjadi seratus.
Ada keheningan di antara mereka.
Keheningan yang tidak canggung.
Keheningan pemahaman. Sebuah jembatan rapuh yang terbentuk di antara dua dunia yang berbeda.
Tiba-tiba, pengamen gitar yang tadi di pojok mendekat ke meja mereka.
Dia memetik senar gitarnya.
"I found a love... for me..."
Menyanyikan lagu Perfect dari Ed Sheeran. Suaranya parau tapi merdu.
Yuni tertawa. Tawa yang lepas.
"Lagu kita," katanya, menyindir file V.3.0. "Semesta berkonspirasi."
Juan tersenyum miring. Senyum yang hampir tulus.
Dia mengeluarkan dompet kulitnya.
Mengambil lembaran merah. Seratus ribu.
Dia memberikannya ke pengamen itu.
"Makasih, Mas," kata Juan. "Lagunya pas. Akurasi waktunya bagus."
Pengamen itu melongo menatap uang merah itu. "Waduh, makasih Bos! Rejeki nomplok! Langgeng ya sama Mbaknya! Cocok banget!"
Pengamen itu pergi dengan wajah berseri-seri, siap mentraktir teman-temannya.
"Seratus ribu?" bisik Yuni, matanya membelalak. "Juan, itu uang makanku seminggu."
"Anggap saja investasi marketing," kata Juan santai. "Biar dia nyebarin gosip kalau kita pasangan paling romantis dan dermawan di kantin Sastra."
Yuni menggelengkan kepala. "Kamu gila. Beneran."
"Aku tahu."
Juan menghabiskan sotonya sampai tetes terakhir.
"Enak," katanya lagi, menyeka keringat di dahinya.
Dia melihat jam tangannya yang harganya mungkin bisa membeli gerobak soto itu beserta isinya.
"Oke. Sesi latihan selesai."
"Besok..."
"Besok apa?" tanya Yuni waspada. "Latihan tatap mata?"
"Besok libur latihan fisik," kata Juan.
Yuni menghela napas lega. Bahunya turun.
"Tapi," lanjut Juan, membuat Yuni tegang lagi. "Besok kamu harus beli baju."
"Baju?"
"Buat acara keluarga. Minggu depan kita berangkat."
"Aku nggak punya baju pesta. Dan aku nggak punya uang buat beli baju yang sesuai standar keluargamu."
"Pakai kartu ini," kata Juan.
Dia merogoh dompetnya lagi.
Mengeluarkan sebuah kartu kredit berwarna hitam matte. Berat. Logam.
Black Card.
Dia meletakkannya di meja kayu yang penuh coretan itu.
Kontrasnya sangat mencolok. Kartu simbol kekayaan tak terbatas di atas meja warung.
Yuni menatap kartu itu seperti menatap bom aktif.
"Aku nggak bisa terima ini. Ini terlalu..."
"Itu fasilitas kantor," potong Juan santai. "Anggap saja seragam kerja."
"Beli dress yang sopan tapi elegan. Jangan warna merah. Oma benci warna merah, katanya agresif."
"Beli sepatu yang nyaman tapi classy. Dan tas."
"Ajak temanmu yang ngerti fashion."
Yuni teringat Sarah.
Hatinya mencelos. Sakit.
Dia tidak punya teman lain. Sarah adalah satu-satunya yang mengerti seleranya, satu-satunya yang bisa dia ajak tertawa saat mencoba baju jelek.
"Aku... akan cari sendiri," kata Yuni pelan.
Dia mengambil kartu itu dengan dua jari, takut tersetrum. Kartu itu terasa dingin dan berat.
"Pin-nya tanggal jadian kita," kata Juan.
Yuni mengerutkan kening. "Tanggal berapa itu?"
"Cek di skenario V.1.0. Kalau lupa, kartu itu keblokir di kasir dan kamu bakal malu."
Juan berdiri.
Dia merapikan kemejanya yang sedikit kusut.
"Makasih sotonya, Sayang," katanya keras-keras, suaranya memenuhi kantin, sambil mengedipkan mata pada Yuni.
Lalu dia berbalik dan berjalan pergi.
Meninggalkan Yuni dengan mangkuk kosong, kartu kredit tanpa batas di tangan, dan tatapan iri serta bingung dari separuh kantin.
Yuni menatap kartu hitam di tangannya.
Tanggal jadian.
Dia harus buka file lagi.
Dia merasa lelah secara mental.
Tapi di sudut hatinya, di tempat yang paling dalam... ada perasaan aneh.
Perasaan bahwa Juan... mungkin bukan sekadar robot kaya yang menyebalkan. Ada manusia di balik kemeja linen mahal itu. Manusia yang takut mengecewakan.
"Takut mengecewakan," gumamnya, mengulangi kata-kata Juan.
Dia memasukkan kartu itu ke dompet bututnya yang resletingnya macet.
Misi selanjutnya: Transformasi Cinderella. Tanpa ibu peri, hanya dengan kartu kredit hitam.