Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#18
[Seminggu Kemudian]
Naysila berdiri di depan cermin di kamarnya, membenarkan posisi jilbab warna kremnya agar menutup dada sepenuhnya. Ia juga memoles wajahnya dengan sedikit bedak dan lip gloss warna alami bibir. Membuat penampilan sederhananya itu tampak sangat anggun tak berlebihan.
Bu Diah membuka pintu kamarnya dan bertanya, "Nak, kamu yakin mau cari pekerjaan?"
Naysila menoleh dan tersenyum lembut. "Iya, Bu. Aku mau cari kerjaan, supaya aku bisa dapat uang dan membantu perekonomian keluarga kita."
"Tapi, Nak... kamu itu masih punya suami, dan bahkan Alden pun masih mau menafkahi kamu. Untuk apa kamu bekerja? Bapakmu masih sanggup menafkahi Ibu. Jadi, kamu gak usah berpikir untuk bekerja, apalagi dengan niat untuk membantu perekonomian keluarga kita."
Naysila meraih tas Selempang ya, kemudian berjalan mendekati sang ibu. Ia meraih tangan ibunya dan menggenggamnya.
"Bu, dengar. Aku memang masih punya suami, tapi sekarang aku dan dia tidak serumah lagi dan aku bahkan tidak menunaikan kewajiban sebagai seorang istri. Aku merasa tidak pantas mendapatkan nafkah dari dia, Bu. Lebih baik, aku cari kerjaan dan menghasilkan uang sendiri. Bukan aku tidak menghargai pemberian suamiku, tapi aku lebih ingin menghabiskan uang yang aku hasilkan sendiri."
"Ibu mengerti, Nak, tapi... jika kamu seperti ini, bukankah sama saja kamu menutup kesempatan untuk Alden bisa kembali memiliki kamu?"
Naysila terdiam sejenak, memikirkan kata-kata ibunya. Beberapa detik kemudian, ia menghela napas dan tersenyum lagi. "Ibu gak usah memikirkan itu, aku gak mau membahasnya. Sekarang, aku pasrahkan semuanya sama Allah, Bu. Jika masih ada jodoh, dengan cara apapun, aku dan dia pasti akan bersama lagi. Tapi jika bukan jodoh, maka perpisahan kami akan benar-benar jadi perpisahan yang nyata (perceraian). Aku belum bisa membuka pintu hatiku untuknya lagi... setidaknya untuk saat ini."
Bu Diah menatap putrinya. Mendengar penuturan Naysila seperti itu, ia semakin yakin kalau selama dua tahun putrinya jadi istri Alden, pria itu tak pernah membuatnya bahagia sama sekali.
Kini, ia hanya bisa menerima keputusan putrinya dengan ikhlas, jika memang itu bisa membuat Naysila tenang dan bahagia.
"Ya sudah, Bu, aku pergi dulu," ucap Naysila sedikit terburu-buru. "Do'akan aku dapat kerjaan ya, Bu."
Naysila mencium punggung tangan ibunya takzim. Bu Diah mengusap kepala putrinya itu dan mendo'akan kelancaran untuknya.
Dengan senyum hangat, Naysila mengucapkan salam dan berlalu pergi dari hadapan sang ibu. Sementara itu, Bu Diah menatap kepergian putrinya, yang akan berusaha mencari pekerjaan di luar sana.
"Ya Allah... semoga Engkau memberinya kemudahan dan kelancaran dalam ikhtiarnya," Bu Diah berdo'a. "Semoga putriku tidak salah memilih jalan."
*
[Beberapa Jam Kemudian]
Naysila melangkah menyusuri trotoar kota kecil itu dengan tas selempang tersampir di bahunya. Matahari siang terasa terik, keringat mulai membasahi pelipisnya. Ia berhenti di depan sebuah toko pakaian wanita, menarik napas, lalu memberanikan diri untuk masuk.
"Permisi, Mbak," ucapnya sopan pada kasir yang sedang menata lipatan baju. "Apakah di sini sedang ada lowongan pekerjaan?"
Kasir itu menoleh sekilas, lalu tersenyum kaku. "Maaf, sekarang semua pegawai sudah penuh. Kalau butuh, mungkin nanti akan ditempel pengumuman di depan."
"Oh, baik. Terima kasih banyak, Mbak."
Naysila menunduk hormat, kemudian keluar lagi.
Ia kembali berjalan, kali ini berhenti di sebuah toko kue kecil. Aroma manis dari dalam membuat perutnya yang kosong sedikit bergejolak. Ia masuk dengan senyum tipis.
"Selamat siang, Bu. Saya mau tanya, apakah ada lowongan kerja di sini?" tanyanya dengan penuh harap.
Pemilik toko, seorang ibu paruh baya, menggeleng pelan. "Maaf, Nak. Untuk saat ini belum ada. Tapi kalau nanti ada kabar, biasanya saya pasang di papan pengumuman depan toko."
Naysila tersenyum meski sedikit kecewa. "Iya, Bu. Terima kasih."
Keluar dari toko itu, langkahnya mulai terasa berat. Ini sudah percobaan yang 5 kali, tapi ia belum menemukan tempat yang bisa menerimanya bekerja.
Ia kemudian mencoba ke sebuah minimarket. Namun jawaban yang sama kembali ia dapatkan: tidak ada lowongan.
Nasyila kembali kecewa.
Rasa lelah dan haus mulai membuat langkahnya berat. Namun, Naysila tak ingin menyerah begitu saja. Ia masih harus berjuang sebelum benar-benar tak ada lagi harapan untuknya hari ini.
Wanita itu kembali mencari pekerjaan, memasuki toko demi toko dan menanyakan lowongan. Tetapi sepertinya memang belum ada rezeki untuknya saat ini, sehingga dari banyaknya tempat yang ia datangi, tak satupun yang memberikannya kesempatan.
Di tengah kesibukannya mencari pekerjaan, Naysila tak lupa akan kewajibannya melaksanakan shalat lima waktu. Ia mampir ke sebuah masjid lalu melaksanakan shalat di sana dan juga berdoa untuk diberikan kemudahan.
Selepas itu, Naysila berjuang kembali dengan harapan yang tak pernah padam sepenuhnya.
_
Hingga sore menjelang, Naysila sudah mendatangi lebih dari 5 toko. Semua jawabannya sama, penolakan halus yang membuat hatinya sedikit perih. Ia berdiri di depan sebuah halte, menunduk, lalu menghela napas panjang.
"Ya Allah..." lirihnya dalam hati. "Ternyata mencari pekerjaan itu tidak semudah yang aku bayangkan, bahkan hanya di toko pun sangat susah. Tapi aku gak boleh menyerah. Aku harus tetap berusaha."
Dengan langkah gontai namun semangat yang masih ia jaga, Naysila kembali melanjutkan pencarian, berharap ada satu pintu rezeki yang terbuka untuknya.
Langkah Naysila terhenti ketika melihat sebuah toko sepatu yang cukup ramai pengunjung. Matanya terpaku pada papan kecil di kaca depan bertuliskan:
"Dibutuhkan karyawan toko. Syarat: minimal lulusan SMA."
Hatinya langsung berdegup kencang. "Ya Allah, semoga ini jalanku," batinnya penuh harap. Dengan menguatkan diri, ia membuka pintu dan masuk.
Seorang pria berusia sekitar empat puluhan yang tampaknya pemilik toko menghampirinya. "Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat siang, Pak. Saya mau tanya… apakah lowongan yang di depan itu masih berlaku?" Naysila bertanya dengan suara lembut namun penuh harapan.
Pria itu tersenyum ramah. "Masih, Mbak. Kamu mau coba melamar kerja di sini?"
Dengan cepat Naysila mengangguk. "Iya, Pak. Saya punya ijazah SMA, dan saya siap bekerja keras. Kalau boleh, saya sangat ingin bekerja di sini."
Pemilik toko menatap wajahnya sejenak, lalu mengangguk. "Bagus. Toko ini memang butuh pegawai tambahan. Tapi karena minggu ini kami masih dalam proses penataan gudang baru, jadi kamu baru bisa mulai bekerja Minggu depan. Kalau kamu setuju, saya catat dulu namamu."
Naysila menahan napas, matanya berbinar. "Tentu saja saya setuju, Pak. Terima kasih banyak!"
Ia menyebutkan namanya lengkap, dan pemilik toko menuliskannya di buku catatan. "Baik, Naysila. Minggu depan kamu bisa datang pagi-pagi ya, jam sembilan. Nanti kamu akan saya kenalkan dengan pegawai lain, dan kamu bisa belajar dulu tentang sistem kerja di sini."
Naysila menunduk hormat, rasa syukur meluap di dadanya. "InsyaAllah, Pak. Saya pasti datang tepat waktu. Terima kasih sekali lagi atas kesempatan ini."
Keluar dari toko itu, wajahnya penuh senyum lega. Seolah semua lelah seharian mencari pekerjaan terbayar lunas. Dalam hati, ia berdoa penuh syukur, "Alhamdulillah… akhirnya Engkau bukakan pintu rezeki untukku, Ya Allah."
Dengan langkah ringan, Naysila meninggalkan tempat itu dan ingin segera pulang. Ia ingin memberikan kabar gembira pada orang tuanya, bahwa ia sudah dapat pekerjaan.
*****