Amel Fira Azzahra gadis kecil yang memiliki wajah sangat cantik, mempunyai lesuk pipi, yang di penuhi dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Namun sayang kebahagian itu tidak berlangsung lama. Setelah meninggalnya Ibu tercinta, Amel tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bapaknya selalu bekerja di luar kota. Sedangkan Amel di titipkan ke pada Kakak dari Bapaknya Amel. Tidak hanya itu, setelah dewasa pun Amel tetap menderita. Amel di khianati oleh tunangannya dan di tinggal begitu saja. Akankah Amel bisa mendapatkan kebahagiaan?
Yukk ikuti terus ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aretha_Linsey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 Lintasan Baru Di Tengah Bayangan
Kontrakan kecil di ujung gang itu hanya berukuran tiga kali empat meter, tetapi bagi Amel, ia terasa lebih luas daripada seluruh rumah Ulfiana. Dinding triplek tipis yang tadinya terasa rentan, kini menjadi perisai kebebasannya. Bersama Alan, Amel membangun kembali rutinitas yang sederhana namun penuh makna.
Kebahagiaan Amel tidak datang dari kemewahan, tetapi dari kepastian. la memiliki Alan di sisinya, tempat untuk tidur tanpa harus mendengar
gunjingan, dan waktu untuk fokus pada hal-hal yang ia cintai. Setiap pagi Alan akan tertawa saat Amel memandikannya di kamar mandi kecil, tawa yang tidak pernah berani ia tunjukkan di rumah Ulfiana. Amel memasak nasi dan telur dadar di kompor portabel, memastikan Alan makan dengan baik sebelum ia berangkat ke sekolah.
Kegiatan olshop-nya berjalan lancar. Amel mendedikasikan waktu sore untuk membalas pesan pelanggan dan mengepak barang. Keuntungan
kecil itu, ditambah sisa uang hasil patungan Agus dan teman-temannya cukup untuk menyewa kontrakan sebulan ke depan dan membeli kebutuhan pokok.
Di sekolah, Amel menemukan kembali fokusnya. Dukungan dari Agus, Rizal, Arif, dan Jalil benar-benar nyata. Mereka tidak hanya memberinya
dukungan moril, tetapi juga praktis. Agus sering membawakan Amel bekal tambahan, dan Rizal akan menawarkan diri menjaga Alan saat Amel harus pergi sebentar ke pasar.
"Kau terlihat lebih hidup, Mel komentar Bu Tika, guru Bahasa Indonesia mereka, suatu siang. Amel hanya tersenyum menyadari bahwa penderitaan telah mengupas lapis demi lapis kepura-puraannya. Kini, ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri: seorang pejuang
Setelah sekolah, Amel tidak langsung pulang. la punya rahasia baru, sebuah katarsis yang membakar semua frustrasi dan kesedihannya.
"Siap, Mel?". tanya Rizal, menyodorkan helm full-face hitam.
"Siap " jawab Amel, mengenakan helm itu, mengubah dirinya dari siswi SMA pendiam menjadi ’Amel si Pelari Malam.
Lintasan balapnya bukan sirkuit resmi, hanya jalan desa lama yang sepi ditutupi semak belukar di salah satu sudut pinggiran kota. Rizal dan Agus telah menjadi mentor balap dadakan Amel. Sejak lbunya tiada, Amel mencari sesuatu untuk melepaskan amarahnya, dan kecepatan memberinya jawaban
Di atas motor sport bekas milik Rizal, Amel belajar menundukkan mesin.
Awalnya ia ragu, tetapi suara knalpot yang memekakkan telinga, angin kencang yang menerpa wajah, dan fokus mutlak saat melewati tikungan
membuatnya melupakan Ulfiana, Alan yang rewel, dan bayangan Udin.
Agus mengajarinya teknik pengereman yang tepat, sementara Rizal mengajarkan bagaimana membaca lintasan. Amel punya bakat alami. la tangguh, fokus, dan punya ketahanan fisik yang mengejutkan. Dalam waktu dua minggu, ia sudah bisa mengimbangi kecepatan Rizal.
"Kau gila, Mel. Jika kau ikut balap liar, kau pasti menang,". Puji Agus melihat Amel berhasil menyentuh garis finis yang mereka buat dari
tumpukan batu.
"Aku hanya lari dari masalah, Gus. Dan motor ini adalah sayapku, " kata Amel, terengah, namun matanya memancarkan kegembiraan yang tulus.
Namun, kegembiraan ini tidak luput dari mata pengawasan. Suatu malam, saat Amel sedang menghitung uang hasil penjualan dan Alan
sudah terlelap, ponselnya bergetar.
Nomor Udin.
Udin: Aku dengar kau menghabiskan waktu dengan kecepatan, Amel. Itu berbahaya. Kamu itu calon istriku, bukan pembalap jalanan.
Tubuh Amel menegang. Bagaimana Udin tahu? Hanya Agus dan Rizal yang tahu. Mustahil mereka membocorkannya. Kecuali Udin punya mata-mata di setiap sudut desa.
Amel: Itu urusanku, Din. Jangan campuri hidupku.
Udin: Aku peduli. Kecelakaan bisa datang kapan saja. Siapa yang akan mengurus Alan jika terjadi apa-apa padamu? Aku sering transfer uang untukmu. Pakai uang itu untuk membayar angkutan, bukan bensin balap liar
Amel memeriksa saldo rekeningnya. Benar. Ada transfer masuk, kadang Rp 300.000, kadang Rp 500.000, dengan keterangan yang selalu sama:
"Untuk Alan dan Derita.
Amel memang tidak pernah menyentuh uang itu, karena ia tahu, itu adalah tali yang mengikat.
Udin tidak pernah mengancamnya lagi, ia hanya menampakkan wajahnya sebagai Pelindung Obsesif yang berlimpah harta. Setiap transfer uang itu
adalah pengingat bahwa Udin mampu memberikan segalanya, dan bahwa Amel tidak akan pernah benar-benar mandiri.
Jika Udin adalah bayangan obsesif, maka satu bayangan lagi datang dari masa lalu yang terlupakan: Ayahnya.
Di Jakarta, jauh dari hiruk pikuk desa, Ayah Amel mendapat kabar buruk tentang kepindahan putrinya. Kabar itu datang dari telepon UIfiana, yang sengaja dilebih-lebihkan untuk menjatuhkan mental Amel. Ulfiana. Menceritakan Amel yang diusir, tinggal di kos-kosan kumuh, dan bergaul dengan anak-anak liar di desa.
Ayah Amel, yang selama ini fokus pada pekerjaannya di bidang konstruksi merasa tertampar. la meningaalkan Amel demi mencari rezeki tetapi kini putrinya menderita. Penyesalan itu mendorongnya membuat keputusan besar.
Ayah Amel menelepon Ulfiana, meminta lokasi kontrakan Amel dan detail lainnya.
"Aku tidak bisa membiarkan putriku tinggal di sana. Aku akan segera pulang, dan aku akan membelikan rumah yang layak untuk Amel dan Alan. Ini sudah saatnya aku menjadi Ayah seutuhnya, ” ujar Ayah Amel kepada rekannya
la mulai menghubungi agen properti di desanya, meminta dicarikan rumah sederhana dengan dua kamar. la ingin segalanya siap saat ia tiba, sebuah kejutan manis untuk penebusan dosanya.
Namun, informasi ini, secara tidak terduga, sampai ke telinga Udin.
Udin, yang memiliki jaringan kuli bangunan di berbagai proyek, termasuk proyek Ayah Amel di Jakarta, mendapat bocoran tentang rencana
kepulangan Ayah Amel. Bukan hanya itu, ia juga tahu tentang rencana pembelian rumah.
Kekhawatiran Udin bukan lagi soal balap motor Amel, tetapi soal hilangnya kendali atas hidup Amel.
Jika Ayahnya kembali dan memberikan rumah yang layak, maka uang transfernya tidak akan ada artinya lagi. Amel akan benar-benar bebas
Di Jakarta, Ayah Amel membeli tiket pulang. la akan tiba di desa dua hari lagi.
Sementara di kontrakan kecilnya, Amel yang bahagia karena berhasil menaklukan tikungan di motor Rizal, tertidur pulas di samping Alan. Ia merasa kuat, ia merasa mandiri, tidak menyadari bahwa dua pria dewasa, seorang obsesif dan seorang penebus dosa sedang merencanakan masa depannya, dan kebebasan yang baru ia raih terancam direnggut.