Kehidupan yang di alami orang sekitarnya, terutama kakak nya sendiri membuat Harfa tak mau menjalani yang namanya pernikahan.
Apalagi, setelah Biru, membatalkan pernikahan mereka. Membuat hati Harfa begitu dingin akan yang namanya cinta. Mengunci hati hingga sulit di tembus.
Perubahan Harfa membuat kedua orang tuanya merasa sedih. Apalagi usia Harfa tak lagi mudah.
"Nak, menikahlah. Usia kamu sudah matang?"
"Tidak. Aku gak mau menikah, Ummah."
Jawab tegas Harfa membuat hati umma Sinta teriris.
yuk ikuti kisah nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahma qolayuby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Haram bagi ku
..."Rindu! Disini terlalu rindu. Tapi, rindu ini haram bagiku."...
...*Harfa*...
----------------
Sepulang kerja, dokter Harfa tidak pulang ke rumah melainkan pulang ke rumah kakak Ifa.
Dokter Harfa terlalu rindu pada sang kakak dan juga keponakannya.
Mereka bercerita panjang kali lebar. Melepas rindu karena sudah lama tak jumpa.
Dokter Harfa yang sibuk begitu juga dengan kakak Ifa. Setelah bercerita panjang mereka baru memutuskan istirahat.
Karena rumah kakak Ifa hanya punya satu kamar terpaksa mereka tidur bertiga dalam satu ranjang dengan Zidan berada di antara mereka.
Dokter Harfa sudah terlelap, mungkin karena kecapean juga. Sedang kakak Ifa masih melek.
Kakak Ifa menatap sang adik yang sedikit berbeda. Sekarang jauh lebih dewasa dari pada sebelumnya. Tutur katanya juga mulai terbentuk tidak seenaknya saja.
"Kakak yakin, kamu akan mendapatkan kebahagiaan kamu sendiri Dek. Jangan jadikan tolak ukur kehidupan kakak dengan kamu. Kamu berbeda dengan kakak."
Gumam kakak Ifa merasa bersalah atas segala hal yang terjadi pada dokter Harfa.
Kakak Ifa berharap, adiknya segera mendapatkan kebahagiaan.
...
Pagi, setelah sarapan Dokter Harfa pamit pergi. Karena hari ini dokter Harfa ada jadwal operasi.
Kesibukan dokter Harfa semakin padat seiring dengan lukanya yang sembuh. Apalagi, dokter Harfa juga harus menemani dokter Zahra menyiapkan persiapan pernikahan nya di sela kesibukannya.
Dokter Harfa masih tak menyangka jika sahabatnya akan secepat ini memutuskan menikah.
Jika waktu bisa di putar mungkin, dokter Harfa juga sedang bahagia bersama Bumi. Membangun keluarga yang mereka impikan. Tapi, kini hanya ada sebuah penyesalan yang tak bisa dokter Harfa perbaiki. Di masa lalu biarlah begitu. Tapi, dokter Harfa bisa memperbaiki masa depannya. Perjalanan dokter Harfa masih panjang dan ia harus kuat.
Di pikiran dokter Harfa saat ini hanya fokus pada kesembuhan luka, keluarga dan karir. Dokter Harfa sudah memutuskan, ia tak mau mengenal kata cinta lagi apalagi pernikahan.
Cukup dengan Bumi dokter Harfa gagal dan patah hati paling terberatnya. Dokter Harfa tak mau merasakan patah hati untuk yang kedua kalinya apalagi dengan orang yang berbeda.
Melajang seumur hidup tak jadi soal yang penting hati dokter Harfa tenang dan damai. Tak ada orang yang tersakiti atau di sakiti.
Biarlah orang lain berpandangan apapun tentang dokter Harfa. Karena mereka tak tahu seberapa terlukanya hati dokter Harfa.
Rasa lelah pasca operasi membuat dokter Harfa memutuskan untuk mencari makan. Dokter Harfa butuh asupan nutrisi dan gizi lagi. Seorang dokter juga harus pandai menjaga kesehatan nya bukan hanya jago merawat pasien saja.
"Sendiri."
Ucap dokter Sam duduk di hadapan dokter Harfa.
"Hm."
"Kemana senyum itu?"
"Basi."
Dokter Sam mengangguk santai. Melanjutkan makannya. Sama seperti dokter Harfa.
Hubungan mereka seperti adik kakak sejak dulu. Dokter Sam tidak tersinggung akan sikap dokter Harfa yang datar. Dokter Sam mengerti sekali akan apa yang di lalui dokter Harfa.
Andai jika ada hak, dokter Sam ingin mencaci dan marah pada Bumi. Tapi, semua memang bukan salah Bumi. Justru Bumi lah yang berperan penting dalam hidup dokter Harfa selama ini.
Keceriaan, senyuman semua lenyap karena ulah dokter Harfa sendiri. Terlalu terbelenggu dengan trauma membuat semuanya hancur.
"Ara pasti sudah memberi tahu. Kami akan menikah."
Ucap dokter Sam setelah mereka selesai makan.
"Hm, dan selamat."
Dokter Sam tersenyum tipis akan respon dokter Harfa. Mereka terlalu banyak kehilangan sosok Harfa yang dulu.
Dokter Harfa menghela nafas berat. Matanya mulai memerah menatap dokter Sam.
"Jaga Ara. Jangan sakiti dia apapun yang terjadi."
"Pasti. Ara dunia ku, aku akan menjaganya kamu jangan khawatir. Percaya sama saya."
"Setetes air matanya keluar, aku tak segan bersikap kurang ajar pada mu."
"Tenang saja. Sekarang, kamu hanya perlu berdamai."
".....,"
"Hey .. Hey ... Kalian makan gak ngajak-ngajak."
Sewot dokter Zahra langsung duduk di samping dokter Sam.
"Sudah selesai pemeriksaan nya, sayang?"
Tanya dokter Sam lembut.
"Sudah dong, aku lapar."
"Ya sudah, makan."
Dokter Zahra langsung makan. Dokter Harfa hanya diam saja melihat tingkah dokter Zahra yang manja pada dokter Sam.
Mereka sudah seperti keluarga sendiri di hidup dokter Harfa.
Dokter Harfa bahagia jika dokter Sam menikah dengan dokter Zahra. Rasanya dokter Harfa ingin mengungkapkannya. Tapi, selalu tertahan entah kenapa. Hingga membuat dokter Harfa terlihat dingin.
"Kalian lanjut saya."
Ucap dokter Harfa langsung pergi tanpa menunggu respon dokter Sam dan dokter Zahra.
Dokter Harfa memilih pergi ke atap gedung. Guna menenangkan pikirannya.
Udara cukup kencang di atas sana. Dokter Harfa duduk sambil menatap langit sana. Mengingat puisi karya Juan Pablo Arenas, puisi yang seakan menggambarkan hati Dokter Harfa saat ini.
"Ternyata aku masih terlalu mentah untuk mekar bersamamu, aku masih terlalu kanak-kanak untuk mengiringi langkahmu. Untuk lembar-lembar berikutnya, tulislah kisah barumu.”
“Hari kemarin atau esok sama saja dengan hari ini. Duka dan suka menjadi seirama lagu, matahari di luar, matahari dalam hati menyatu dalam kepiluan sukmaku.”
"Ada yang meleleh di ujung kedua mataku, begitu goresan-goresan pena itu selesai ku baca. Ternyata bendungan air mataku tidak terlalu kuat sehingga jebol lagi, meski baru sedikit.”
Puisi itu menyayat hati dokter Harfa. Dulu, dokter Harfa tak suka dengan yang namanya membaca puisi. Tapi, semenjak mengenal Bumi, dokter Harfa jadi menyukainya. Apalagi Bumi selalu memberikan buku-buku puisi karya-karya penulis terkenal.
Kini, dokter Harfa sadar jika ia butuh akan goresan-goresan pena itu. Seolah hatinya tergambar di sana. Seolah sang penulis menyatu dengan isi hati dokter Harfa saat ini.
"Rindu! Disini terlalu rindu. Tapi, rindu ini haram bagiku."
Gumam dokter Harfa menekan dadanya kuat. Lelehan bening keluar begitu saja tanpa di minta. Sekuat apapun dokter Harfa ikhlas melepas Bumi. Tetap saja hatinya masih menyimpan semuanya.
Bohong, jika dokter Harfa baik-baik saja. Itu hanya kepura-puraan semata. Dokter Harfa bangkit, tapi bukan berarti Bumi tersingkir dari hatinya.
Apa Bumi masih sama atau sudah berbeda. Apa hati Bumi masih miliknya atau sudah beralih. Rasanya tak mau hal itu terjadi. Dokter Harfa ingin egois tapi siapa dirinya sekarang.
Dokter Harfa hanya bayang masa lalu bukan masa depan Bumi. Dokter Harfa harus belajar jika masa depannya bukan tentang Bumi lagi tapi tentang dirinya sendiri dan siapa yang akan mengisi hatinya.
"Lupakan Harfa, jangan bodoh."
Dokter Harfa sangat marah pada dirinya sendiri. Kenapa sulit sekali melepas Bumi dari hatinya.
"Kamu disini sakit sendiri, sedang mas Bumi pasti sudah bahagia dengan istrinya. Maka jangan bodoh, Mas Bumi sudah haram Harfa."
Dokter Harfa begitu terlihat frustasi. Menggambarkan sedalam apa lukanya. Tidak ada seorang pun yang tahu. Hati dokter Harfa rapuh.
"Ternyata kamu masih lemah."
Dokter Harfa benci akan tangisannya sendiri. Kenapa air matanya harus keluar lagi. Dokter Harfa lelah jika harus terus seperti ini. Iya tak mau, dokter Harfa juga ingin bahagia sama hal yang Bumi rasakan saat ini.
...
Tanpa dokter Harfa sadari jika sejak tadi ada sepasang mata yang memperhatikannya.
"Bagaimana caranya aku menyembuhkan mu. Sedang kamu sendiri masih berperang dengan perasaan mu. Aku ingin kamu menatapku lebih bukan hanya sekedar sebagai sahabat. Aku disini, lihat aku. Aku mencintaimu Harfa."
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih ...