NovelToon NovelToon
Saat Aku Berhenti Berharap

Saat Aku Berhenti Berharap

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:9.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#17

"Ini dari Alden, Nak," ucap Bu Diah, sembari menyodorkan amplop coklat yang diberikan Alden padanya tadi.

Naysila menatap sejenak amplop di tangan ibunya dan lalu bertanya, "Apa ini, Bu?"

"Alden bilang... dia memberikan ini sebagai nafkah untuk kamu, karena kamu masih istri sahnya."

"Kenapa Ibu menerimanya? Kenapa tidak ditolak saja?"

Bu Diah menggeleng dengan senyum lembut. "Alden sudah melakukan hal yang benar, Nak. Dia masih menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami, yaitu memberikan nafkah pada kamu uang masih berstatus sebagai istrinya."

"Ibu tidak akan menolak apa yang sudah menjadi hakmu darinya," tambahnya.

"Tapi... sekarang kami tidak tinggal bersama lagi, Bu. Aku juga tidak melakukan kewajibanku sebagai seorang istri, lalu apakah aku berhak menerima nafkah ini darinya?"

Bu Diah mengusap bahu putrinya. "Maka dari itu, kamu harus mempertimbangkan tentang hubungan kamu dan dia."

Ia melanjutkan. "Kalau Ibu lihat, Alden memang sebenarnya pria yang baik, tapi dia seperti terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkan, sehingga membuatnya selalu ingin menyingkirkan kamu karena tidak cinta. Tapi setelah kamu pergi, dia menyadari bahwa dirinya membutuhkan kamu. Makanya, dia berusaha keras untuk memperbaiki hubungan kalian."

Naysila menunduk. "Dia hanya membutuhkan aku sebagai seseorang yang bisa menyiapkan segala keperluannya, Bu. Bukan karena dia mencintai aku..."

"Tidak, Nak. Ibu yakin, Alden tidak seperti itu. Dia benar-benar menginginkan kamu kembali karena dia butuh kamu, dalam artian dia mulai mencintai kamu dan ingin memulai segalanya dari awal. Bukan seperti yang kamu kira."

"Tapi selama dua tahun kami bersama... dia bahkan gak pernah berusaha menerimaku sebagai istrinya, Bu... Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik, menjaga fitrahku, dan berusaha membuatnya nyaman denganku. Tapi dia? Dia sama sekali gak pernah melihatku lebih, di matanya aku hanya seorang wanita yang membebani hidupnya...." Naysila mulai terisak, ingat akan semua kenangan pahit selama dua tahun menjadi istri Alden. "Lalu, bagaimana bisa aku tidak berpikir negatif tentangnya? Bagaimana aku bisa menganggap sekarang dia mulai mencintaiku?"

Naysila akhirnya menangis pelan. Bu Diah memeluk putrinya itu dengan perasaan hancur. Naysila benar-benar sakit dalam pernikahannya, sehingga menimbulkan trauma yang seolah tak berkesudahan hingga detik ini.

"Nak... Allah yang menciptakan setiap manusia dengan hati dan perasaannya. Allah pula yang dapat membolak balikkan perasaan dan hati seseorang," kata Bu Diah. "Jika dulu Alden tidak pernah mencintai kamu atau bahkan tidak pernah menganggapmu ada, bukan berarti semuanya tidak akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Allah bisa mengubah perasaan pria itu menjadi cinta dan rasa kehilangan setelah kamu pergi. Karena terkadang, seseorang akan sadar tentang seberapa pentingnya orang yang tidak pernah ia anggap penting dalam hidupnya, ketika mereka sudah telah kehilangan."

Naysila terdiam dalam pelukan ibunya. Hatinya masih terasa remuk, tapi kata-kata Bu Diah seperti membuka sedikit celah cahaya di ruang gelap yang selama ini ia bangun untuk melindungi dirinya. Ia tidak ingin percaya begitu saja, tapi ia juga tidak bisa menolak kenyataan bahwa kedatangan Alden tadi telah mengguncang pertahanan yang susah payah ia tegakkan.

"Kalau dia benar-benar bisa berubah, Bu..." suara Naysila lirih, nyaris tenggelam oleh isaknya. "Kenapa dia gak berubah sejak aku masih mau bertahan untuknya? Kenapa harus sekarang, setelah aku benar-benar berusaha keras melupakan semua tentangnya? Kenapa dia harus menyakiti aku dulu untuk membuatnya sadar?"

Bu Diah mengusap punggung putrinya pelan. "Karena manusia baru akan sadar ketika diuji kehilangan, Nak. Mungkin inilah waktunya Alden diuji dengan rasa itu. Kamu sendiri yang harus memutuskan... apakah kamu mau memberi dia kesempatan, atau tetap memilih jalanmu sendiri."

"Alden memang melakukan kesalahan besar, tapi dia tidak benar-benar selingkuh apalagi berzina, Nak. Jadi, apakah Alden seorang pendosa yang tak pantas mendapatkan kesempatan kedua di matamu?"

Naysila mengusap air matanya, mencoba menenangkan diri. "Aku takut, Bu. Takut kalau aku menerimanya kembali, hanya akan mengulang luka lama. Aku takut dia gak akan benar-benar berubah..."

"Takut itu wajar," jawab Bu Diah lembut. "Tapi jangan biarkan rasa takut menutup hatimu dari kemungkinan kebaikan yang Allah siapkan."

"Kamu harus percaya, setiap hal yang terjadi di dunia ini akan selalu mengandung hikmah. Allah sudah menyiapkan banyak kejutan tak terduga untukmu. Ibu yakin..." ujar Bu Diah lembut. Berusaha menasehati anaknya dengan cara yang baik.

Naysila menunduk, menatap amplop cokelat di tangannya. Ia membolak-balik benda itu dengan pandangan kosong. Bukan tentang uangnya, ia bahkan tak peduli berapa isinya, tapi lebih kepada niat di balik pemberian itu. Ia tahu, itu cara Alden menunjukkan bahwa ia berusaha menebus kesalahannya, walaupun dengan cara sederhana.

Dengan itu, Alden menunjukkan betapa dia menyesal dan ingin memperbaiki kesalahannya.

"Apa yang harus aku lakukan, Bu?" tanyanya lirih, seolah seorang anak kecil yang kebingungan.

"Doa," jawab Bu Diah mantap. "Mintalah petunjuk dari Allah. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Biarkan hatimu yang jujur bicara, bukan rasa sakitmu."

"Shalat istikharah jauh lebih baik lagi. Kamu bisa mendapatkan petunjuk dari Allah langsung untuk memutuskan."

Naysila mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun dalam benaknya, bayangan wajah Alden terus muncul, saat momen pertemuan terakhir mereka di rumah ini. Tatapan penuh penyesalan, suara bergetar ketika memohon, dan langkah gontai saat meninggalkan rumah bersama orang tuanya saat itu… semua itu membuat hatinya goyah.

"Apakah aku harus menerimanya kembali?"

*

[Rumah Orang Tua Alden]

Sore itu, mobil hitam Alden berhenti di halaman rumah besar bercat putih milik orang tuanya. Wajahnya kusut, matanya sayu, seolah tenaga dan semangatnya habis terkuras sejak meninggalkan rumah Naysila. Ia turun dengan langkah berat, pundaknya menunduk, dan napasnya terasa sesak.

Begitu pintu rumah dibuka, aroma masakan yang biasanya menenangkan tidak mampu mengusir gundah di hatinya. Ia langsung menuju ruang tamu dan duduk di sofa, meremas jemarinya sendiri dengan gelisah.

Tak lama, Bu Tamara keluar dari arah dapur, masih memakai celemek. Ia tertegun melihat putranya yang datang dengan wajah muram. Ada kerut khawatir di keningnya.

"Alden… dari mana kamu?" tanyanya lembut, lalu duduk di samping putranya, setelah melepas celemek.

Alden menunduk, menarik napas dalam sebelum menjawab lirih, "Dari rumah Naysila, Bu…"

Bu Tamara menatapnya lekat dengan rasa ingin tahu yang besar. "Apa kamu bertemu dia?"

Alden menggeleng pelan. "Tidak… dia menolak bertemu denganku." Suaranya serak, matanya berkaca-kaca. "Aku hanya bicara dengan ibunya… dan itu pun rasanya berat sekali, Bu. Nay… dia bahkan tidak mau menatap wajahku lagi."

Bu Tamara menghela napas panjang. Tangannya terulur, mengusap lengan putranya dengan lembut. "Nak… itulah akibat dari sikapmu dulu. Kamu pikir perasaan seorang istri bisa diabaikan begitu saja selama dua tahun, tanpa bekas? Itu salah besar."

"Belum lagi, kamu menyakitinya dengan membawa seorang wanita ke rumah dan memperkenalkan wanita itu sebagai istri baru. Kamu bersikap mesra dengan wanita itu di hadapannya. Lalu setelah itu kamu jujur di hadapannya bahwa wanita itu bukan istrimu, hanya wanita yang dibayar untuk berpura-pura jadi istrimu, hanya untuk membuatnya terluka dan pergi."

"Bagaimana menurutmu perasaan Naysila dengan semua perbuatanmu? Dia sangat hancur, Al... Dia sangat terluka oleh semua itu."

Bu Tamara menghela napas sejenak dan melanjutkan, "Jika sekarang Naysila enggan bertemu denganmu apalagi menerimamu kembali, maka itu memang pantas untukmu. Jika Ibu ada di posisinya, tentu Ibu akan lakukan hal yang sama terhadap orang yang telah menghancurkan hati Ibu."

Alden terdiam. Setiap kata ibunya terasa seperti cambuk yang menyadarkan, tapi sekaligus menyakitkan.

"Alden," lanjut Bu Tamara, suaranya bergetar menahan emosi. "Ibu sedih melihat kamu seperti ini, sungguh. Tapi, inilah hukuman untukmu. Kamu terlalu menganggap remeh perasaan Naysila. Kamu baru sadar betapa berharganya dia setelah dia memilih pergi. Dan sekarang… luka yang kamu tanam di hatinya membuatnya menutup pintu untukmu."

"Dia sudah bertahan untukmu selama dua tahun, menunggu dengan sabar cinta suaminya akan ia dapatkan. Tapi kenyataannya? Dia malah mendapatkan rasa sakit yang tak pernah dia bayangkan. Rasa sakit yang kamu rasakan saat ini, belum sebanding dengan apa yang Naysila rasakan, Nak."

Alden menunduk semakin dalam. Air matanya jatuh, membasahi tangannya yang mengepal. "Bu… aku benar-benar menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya… tapi Naysila bahkan tidak mau memberi kesempatan sedikit pun. Aku takut benar-benar kehilangan dia."

"Kamu mencintainya sekarang?" tanya Bu Tamara serius.

Alden mengangguk perlahan. "Aku gak tahu ini cinta atau bukan, tapi setelah kepergiannya aku selalu merasa hampa, aku selalu merindukan dia, Bu..."

"Itu cinta, Nak... Kamu baru menyadarinya sekarang."

Alden menangis menutup wajahnya. "Aku... aku mencintainya, Bu... Bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan dia kembali, Bu..."

Bu Tamara menahan air matanya sendiri. Hatinya hancur melihat anak lelakinya yang biasanya tegar, kini luluh lantak oleh penyesalan. Tapi ia tahu, inilah cara Tuhan menegur putranya.

Ia yakin, Alden benar-benar telah mencintai Naysila, sehingga ia terlihat tersiksa setelah wanita itu pergi meninggalkannya.

"Kamu tidak bisa memaksa, Al," ucapnya lembut namun tegas. "Kalau kamu benar-benar mencintai dia sekarang, tunjukkan dengan kesabaran. Jangan lagi menyakiti. Jangan lagi memandang rendah. Buktikan pada Naysila bahwa cintamu ini bukan sekadar kata-kata."

Alden mengangkat wajahnya, matanya merah. "Tapi… bagaimana kalau dia sudah benar-benar membenciku, Bu? Bagaimana kalau dia sudah membuka hatinya untuk orang lain?"

Pertanyaan itu membuat dada Bu Tamara ikut sesak. Ia menggenggam tangan putranya erat. "Kalau itu memang terjadi, berarti kamu harus ikhlas, Nak. Cinta sejati bukan hanya tentang memiliki… tapi juga tentang merelakan jika memang itu yang terbaik untuk orang yang kamu cintai."

"Jika Naysila bahagia dengan orang lain, kamu harus ikhlas. Dia berhak bahagia, Nak..."

Alden terisak pelan. "Tapi aku gak sanggup kehilangan dia, Bu…"

Bu Tamara menahan perasaan, lalu meraih kepala putranya dan mendekatkannya ke pelukannya. "Ibu tahu, Nak. Ibu tahu… Tapi inilah kenyataan yang harus kamu hadapi. Doa dan usahamu yang akan menentukan. Jangan menyerah, tapi jangan pula memaksa. Berdoalah, semoga Allah masih memperkenankan kalian berjodoh."

Di pelukan ibunya, Alden untuk pertama kalinya menangis sekeras itu. Tangis seorang lelaki yang akhirnya mengakui kesalahannya sendiri, tangis penyesalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Bu Tamara tidak menangis, ia hanya berusaha menguatkan putranya dan memintanya agar tak menyerah begitu saja sebelum Naysila benar-benar berpaling hati pada orang lain.

*

[Malamnya]

Malam itu, ketika semua orang terlelap, Naysila duduk sendiri di atas sajadah. Mengenakan mukena putih berenda. Wajahnya terlihat teduh setelah berwudhu dan melakukan shalat Sunnah tahajud. Lampu kamarnya hanya temaram, dan suara jangkrik dari luar jendela menemaninya. Dengan tangan bergetar, ia menengadahkan kedua telapak tangannya.

"Ya Allah..." suaranya bergetar. "Jika benar Mas Alden menyesal... jika benar dia ingin memperbaiki semua yang pernah rusak... dan jika memang Engkau takdirkan aku kembali mendampinginya... maka lembutkanlah hatiku, kuatkanlah aku untuk menerima. Ikhlaskan aku untuk bisa memanfaatkan semua kesalahannya. Tapi jika semua ini hanya akan mengulang luka yang sama, lindungi aku dari perasaan yang bisa menghancurkan lagi diriku."

"Ya Allah... jika kami masih berjodoh, persatukanlah kami dalam hubungan yang sehat, hubungan yang indah dan tidak ada drama menyakitkan lagi. Aku ingin merasakan kebahagiaan yang orang-orang dapatkan dalam pernikahan."

"Ya Allah... aku meminta pada-Mu. Jika Mas Alden jodoh dunia akhiratku, dekatkan dia padaku. Namun jika dia bukan jodoh dunia akhiratku, maka jauhkan dia, dan pertemukan aku dengan jodoh yang lain, yang jauh lebih baik darinya. Aamiiin..."

Air mata jatuh satu per satu, membasahi sajadah. Hatinya berperang hebat, antara cinta yang tak pernah mati, dan luka yang terlalu dalam.

Di sisi lain, Alden yang memutuskan menginap di rumah orang tuanya, juga melakukan hal yang sama. Ia duduk di atas sajadah dan menengadahkan tangan untuk berdoa.

"Ya Allah, kalau Engkau masih izinkan aku menjadi suami Naysila dan memperbaiki semuanya, tolong kembalikan Naysila ke dalam hidupku... kali ini, bukan untuk aku abaikan, tapi untuk aku cintai sepenuh hati."

*****

1
Tutuk Isnawati
😍 bu tamara getol bener pgn mntunya bertahan
Tutuk Isnawati
semangat thor😍
Lestari Ari Astuti
ditunggu kelanjutannya,setelah minum jus dari ibunya adel🤭
Tutuk Isnawati
kyanya ini ulah bu tamara biar kluarga adiknya nginep 🤣
Lisdaa Rustandy: sengaja dia mah biar anak mantu satu kamar🤣
total 1 replies
Sunaryati
Karena sejak awal pernikahan kamu langsung menutup hati, dan menyakiti hati dan sekarang malu akan berjuang, setelah merasakan kehilangan saat ditinggalkan
Sunaryati
Jika ragu akan disakiti lagi namun kamu akan beri kesempatan, buat perjanjian Nay
Aretha Shanum
ahh bosen alurnya , menye2 kaya bumi sempit ga ada lski2
Lisdaa Rustandy: iya, emang sempit kok. kalo mau yg luas keluar dari novel aja🤣🤣
total 1 replies
lovina
ketawa sj kalau baca novel modelan gini, wnaitanya selalu naif dan bodoh sdngkan laki2nya selalu di buat semaunya dan ujungnya balikan dgn ending sm semua novel, baca buku berkali2 dgn alur yg sama... niat amat author2 dadakan kek gini g bisa yah buat yg beda, g mungkinkan oyak nya cmn satu tuk semua author...kalau di kritik biasnaya tantrum
Lisdaa Rustandy: maaf, saya sudah berkarya hampir 4thn, jadi bukan dadakan lagi. Setidaknya buatlah versi anda sendiri sebelum menertawakan karya orang lain🤣🤣🤣
total 2 replies
Sunaryati
Kamu renungkan semua kesalahan kamu Alden, dan berpikir cara memperbaikinya. Nayla jika kamu masih ada cinta untuk Alden berpikir jernih baru ambil keputusan.
Lestari Ari Astuti
semoga bersatu kembali
partini
hemmm enak bener jadi laki udah cup sana cup nyesel minta maaf balikan ga jadi baca Thor
Lisdaa Rustandy: tapi Alden gak pernah ngapa2in sama Serena, kan dari awal cuma boongan. Cup sana cup sininya darimana, kak? 😄 Alden masih ORI itu
total 1 replies
Lestari Ari Astuti
di tunggu kelanjutannya
Tutuk Isnawati
nyesel deh sekarang gliran orgny dah. prgi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!