Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
'Sebelas'
Sore itu, Yohan tengah duduk mengobrol dengan salah satu pemilik usaha cloting di kota B, di sudut salah satu cafe.
“Om salut dengan pencapaian mu, pengalamanmu terlalu melampaui usiamu yang sebenarnya,” puji Erwinsyah setelah melepaskan sisi cangkir kopi dari ujung bibirnya.
“Ah … jangan terlalu memuji Om,” sahut Yohan dengan senyum tipis, hampir tanpa ekspresi yang berarti.
“Ayahmu benar-benar berhasil mendidik putranya.”
“Jangan berlebihan Om. Niko juga mulai berhasil menjalankan perusahaannya sendiri.”
“Ah, benar … Om jadi ingat mau minta tolong hal itu, padamu.” Erwinsyah tampak menghela napas pendek, lalu melanjutkan. “Temanku, ada salah satunya yang usahanya sedang tidak lancar. Padahal kualitasnya sudah mendekati premium.”
“Hm … lalu?”
“Kolega mu kan banyak dan ada di banyak kota, kalau saja ada yang membutuhkan produk-produk kaos, cobalah bantu konveksi kecil itu.”
Yohan terdiam sejenak, memang sebuah kebetulan, tapi dia tak bisa asal mengiyakan.
“Entah kenapa rasa-rasa nepotismenya kok agak kuat ya, Om? Hehehe….” kelakar Yohan bermaksud jujur dan bercanda di waktu yang bersamaan.
“Hahaha ….” Spontan Erwinsyah pun tertawa terbahak mendengar kejujuran Yohan. “Aduh … Om jadi malu, ha … ha!”
“Aku tidak bisa mengiyakan atau menolaknya, Om. Semua harus melalui prosedur yang semestinya. Aku hanya lebih suka bermain aman saja. Hahaha…”
Percakapan basa-basi pun berlanjut ke tema lainnya, hingga akhirnya keduanya saling berpamitan untuk menuju ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, Yohan kembali melanjutkan aktivitas yang normal. Tak ada yang terlalu istimewa, semua berjalan baik sebagaimana mestinya.
“Siang, Pak. Dua tim sudah mengirimkan desainnya,” Tara menyerahkan dua map snelhecter berwarna merah pekat.
Yohan tampak serius memeriksa keduanya. “Jadwalkan meeting lagi habis makan siang, yang belum mengirim design di jam itu, kita anggap gugur!” perintahnya.
“Siap, Pak.”
“Nggak usah siapkan hal lain, aku mau lihat kinerja yang lainnya dulu.”
“Oke, Pak.”
Yohan kembali tenggelam dengan pekerjaannya. Tak ada hal istimewa lain yang terjadi, semua berjalan membosankan seperti biasanya.
Tepat jam satu siang, meeting kembali berjalan. Yohan mempersilakan tim yang telah membuat design untuk mem-presentasi-kan hasil rancangan mereka. Yohan memperhatikan hingga ke-lima design dari lima departemen pekerjaan berbeda itu selesai mendemonstrasikannya.
“Pilihan yang sulit, sekarang akan saya ulas secara kilas saja.” Yohan bangkit dengan map pertama.
“Sebelumnya terimakasih untuk divisi PR, baru kali ini kalian terlibat langsung dengan projek saya … terimakasih juga divisi R&D, dua divisi ini adalah contoh bagaimana menanggapi tantangan dengan bijak, kerja tepat waktu, saya menghargai itu.”
Tepuk tangan menjadi pencair suasana setelah pujian Yohan terlontar mulus dari mulut yang biasanya hanya berbicara seperlunya.
“Oke, sepertinya ada dua design yang akan kita pakai, simple, perpaduan warna yang tidak terlalu kontras tapi cukup mengundang rasa penasaran, dan unik … itu design yang saya tangkap dari divisi R&D. Lalu ….”
Yohan mengambil satu lagi map lainnya dari meja.
“Cerah, pemilihan font dan gambar-gambar lucu, ada sentuhan kalimat jenaka, menggambarkan kebanyakan design yang disukai warga kota J, saya rasa design dari divisi pemasaran pas digunakan untuk seragam karyawan biasa.”
“Jadinya mau buat dua seragam, Pak?” Tara membuka pertanyaan pertama.
“Hmm … iya. Setelah dipikir lagi, karena karyawan di cabang kota J itu lumayan banyak, dan antusias mereka untuk tamasya bersama itu sangat tinggi, jadi kemungkinan semua terlibat. Saya pikir akan ada baiknya nanti pembagian regu,” terang Yohan.
“Ah … ada benarnya Pak. Soalnya meskipun udah dewasa, kadang lupa waktu, tugas kepala regu untuk memastikan anggotanya tidak ada yang tertinggal!” sahut salah satu staf.
“Tepat!” Satu jempol Yohan acungkan sebagai pujian bagi staf itu.
“Jadi, selamat untuk divisi R&D dan divisi Pemasaran, selamat bergabung dengan tim projek ini. Dan untuk yang lain, terimakasih sudah berpartisipasi, menanggapi panggilan dari Pak Yohan.” Tara sang asisten mengakhiri sesi meeting.
“Tolong bagikan ini untuk tiga tim.” Yohan menyodorkan beberapa amplop pada Tara.
“Baik, Pak.”
“Tidak banyak, perusahaan baru mengalami devisit anggaran, tapi setidaknya itu cukup untuk kalian membeli kopi atau camilan!” ucap Yohan yang tentunya disambut baik dan tepuk tangan.
“Terimakasih banyak, Pak Yohan! Kalau seperti ini, sesulit apapun pekerjaannya, pasti akan terasa ringan!” sahut salah satu staf dari tim yang tak terpilih.
“Benar! Tak terpilih aja ada bonus, gimana kalau kepilih, lebih gede pasti! Hahaha ….” kelakar yang lainnya.
“Hahaha … jangan banyak berharap, sebenarnya perusahaan kita itu pelit!” balas Yohan.
“Saya kira Pak Yohan tipe yang nggak bisa bercanda, ternyata ya sama aja kayak kita-kita!”
“Aih! Saya juga manusia yang butuh tertawa!” sahut Yohan tak membatasi jurang, namun tak mengurangi image-nya yang harus tegas sebagai atasan.
Setelah tiga tim yang tak terpilih meninggalkan ruangan itu, meeting dilanjutkan.
“Saya sudah mendapatkan beberapa nama konveksi yang bisa Pak Yohan pilih sebagai mitra.” Tara menyerahkan satu lembar kertas berisi daftar nama dan gambar contoh hasil produksi tiap konveksi itu.
Yohan memeriksanya satu persatu dengan seksama, hingga ia melihat satu nama yang kemarin sore disebutkan oleh pak Erwinsyah.
“Sample bahan yang ini bagus Pak, adem," ucap salah satu staf.
“Aku dengar dari kolega, ada konveksi yang sedang macet, bagaimana kita manfaatkan kesempatan ini?” ucap Yohan kemudian menuliskan beberapa hal di white board.
...,......
Mutu/ kualitas bahan
Bahan/jenis sablon
Harga
Waktu pengerjaan/produksi
........
Empat hal yang dituliskan Yohan.
“Memanfaatkan bagaimana Pak?” Tara menuntut penjelasan.
“Kita manfaatkan situasi mereka untuk menekan ke-empat hal tersebut!” terang Yohan menunjuk pada tulisannya di white board.
“Hmm … ada benarnya juga, Pak.”
“Cabang J sebenarnya tidak bermasalah dengan anggaran, karena nanti yang digunakan adalah anggaran untuk uang cuti karyawan. Tapi jika kita bisa meminimalisir pengeluaran itu, sisa anggaran bisa mereka alokasikan ke penunjang kegiatan.”
“Hmm … baik Pak.”
“Tapi Pak, apa itu tidak terlalu kejam untuk konveksi yang bersangkutan?” sanggah staf lainnya.
“Tugas pricelist untuk mencari perbandingan harga, lalu kita tetapkan harga maksimal pembelian dan minimal penjualan. Dari situ kita bisa bijak dalam negosiasi nanti.”
“Caranya Pak?”
“Riset harga ke toko-toko!” Tara membantu memberikan jawaban.
“Jadi keluar masuk toko cuma buat bandingin harga sama produk gitu?”
“Yep!”
“Malu lah … masa lihat-lihat doang nggak beli ….”
“Ada anggaran untuk hal itu, minimal beli satu.” Yohan selalu memberi solusi penengah yang tak akan memberatkan stafnya untuk melakukan tugas. “Tapi jangan lupa, beli yang sesuai standart bahan yang kita incar. Bukankah wajar kalau di satu toko merasa nggak cocok, lalu pindah ke toko lainnya?”
“Betul kata Pak Yohan, kayak kalau kita beli buat pribadi, kan pilih-pilih dulu lihat-lihat dulu, dan akhirnya yang kita pilih kan yang paling bagus, baik, yahut, dan paling murah harganya kan?”
“Iya juga sih ….”
“Oke, ada pertanyaan lagi? Saya rasa cukup, keterangan lain bisa ditanyakan lagi pada Tara, atau bisa ke saya.” Yohan menjeda ucapannya, menarik napas sejenak sekaligus memberi kesempatan jika ada yang masih ingin berbicara.
“Cukup sih Pak, kalau bingung nanti bolehkan nanya lagi? Heheh….” ujar Dewi dari tim design R&D.
Yohan hanya menanggapinya dengan senyum tanpa makna. “Oke, kita akhiri meeting hari ini, selamat melanjutkan pekerjaan lainnya, sekaligus mulai mengatur waktu untuk dua minggu ke depan kita akan bekerja sama.”
“Baik, Pak.”
“Oke, saya duluan. Saya tunggu laporan harga pasarnya ya ….” imbuh Yohan tanpa penekanan. “Sesegera mungkin.” kelakarnya setengah berbisik, disambut tawa riuh oleh semua yang hadir.
“Yaaah … kita kira bisa santai, Pak. Hahaha ….”
Yohan meninggalkan ruang meeting, sementara staf lain masih membereskan barang-barang mereka.
“Bekerja dengan orang itu bisa santai, kita dibebaskan berimprovisasi sendiri, dia tidak akan banyak bicara, tapi kalau sampai batas waktu yang tidak pernah diucapkannya itu kita nggk ada progress, siap-siap aja kita nggak dapet apa-apa.” Tara menjelaskan singkat bagaimana watak atasannya itu.
“Benar apa kata Bu Tara, kalau sampai dia turun tangan sendiri ke lapangan, bekerja sendirian tanpa memanggil atau menggunakan kita, itu artinya … kesempatan kita mendapatkan bonus … musnah!” imbuh Asep, staf penanggungjawab anggaran tim khusus itu, yang telah sering bekerja bersama Yohan.
“Hah? Kok gitu?”
“Karena dia nggak suka menanyakan ulang progress pekerjaan kita, kita yang harus aktif. Kalau batas kesabaran dia menunggu sudah habis, ya siap-siap aja nama kita dihapus dari daftar tim!”
“Waaah….” Sahutan kompak bernada ambigu antara kecewa, pujian atau sorakan.
...****************...
bersambung ....