NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 BAYANG-BAYANG YANG TERBANGUN

 

Bayang-Bayang yang Terbangun

Di suatu tempat yang jauh dari Eldalune, di antara patahan dunia dan kabut abadi, sebuah menara hitam menjulang, dikelilingi oleh reruntuhan tak bernama dan sungai api yang tak pernah padam. Di dalamnya, Raja Kelam berdiri di depan cermin hitam besar yang berkilau aneh.

“Jadi... dia sudah membangunkan simpul Eldalune,” gumamnya. Suaranya seperti bisikan ribuan roh, tapi satu kata darinya bisa mengguncang tulang.

Bayangan di cermin menunjukkan sosok Lyra. Api biru dari tangannya masih menyala dalam rekaman sihir itu. Raja Kelam menatapnya lama.

“Putri warisan… akhirnya bangun.”

Di belakangnya, sosok wanita berjubah merah muncul, wajahnya tertutup kerudung gelap. “Kita bunuh dia sekarang?”

Raja Kelam tersenyum tipis. “Bukan saatnya. Biarkan dia berpikir dia sedang menang. Rasa percaya diri adalah senjata yang manis—dan mudah dihancurkan.”

 

Lyra dan timnya berjalan kembali menuju Tembok Aera, markas yang sekarang mereka anggap sebagai titik aman. Tapi “aman” di Aedhira tuh kayak sinyal WiFi di gunung: gak bisa dipercaya.

“Kita jalan udah tiga hari dan belum liat satu pun warung. Ini dunia kok gak nyediain convenience store gitu?” keluh Kaelen sambil menyeret langkah.

Lyra nyengir. “Kalau ada Indomaret di sini, mungkin gue nggak bakal sempat nyelamatin dunia, udah keburu duduk di kasir sambil nyemil keripik.”

“Lucu. Gue bakal jadi member tetap.”

Arven, yang berjalan paling depan, mendadak mengangkat tangan, menyuruh mereka berhenti. “Diam. Ada yang mengikuti kita.”

Langkah mereka membeku.

“Beruang sihir? Monster berbulu? Ex lo?” tanya Kaelen cepat.

Arven menatap tajam. “Lebih buruk. Lihat ke kiri, atas pohon.”

Dan di sanalah ia—makhluk bersayap hitam, bermata hijau menyala, tubuhnya menyerupai elang raksasa yang dimodifikasi pakai mimpi buruk.

Lyra langsung reflek, menyalakan api di tangannya.

Tapi... makhluk itu nggak menyerang.

Sebaliknya, ia menundukkan kepala dan melemparkan sebuah gulungan kecil dari cakarnya ke tanah.

Lyra mengambilnya perlahan, membuka gulungan itu. Tulisan di dalamnya berkilau keperakan:

“Pertemuan rahasia. Tengah malam. Lembah Dua Bayang.”

Kaelen mengerutkan alis. “Kita diundang ke... what, rapat komunitas monster?”

Arven mengambil gulungan itu dari tangan Lyra dan membacanya ulang. “Ini segel dari para penjaga lama. Jika benar... mereka ingin bicara. Dan itu artinya—mereka tahu sesuatu tentang Raja Kelam.”

--

Tengah malam, di bawah cahaya bulan purnama yang tampak terlalu dekat dengan bumi, mereka sampai di Lembah Dua Bayang. Tempat itu hidup... tapi bukan dengan makhluk biasa. Bayangan seperti manusia—tanpa wajah, tanpa suara—bergerak pelan di antara pepohonan kristal hitam.

“Gue gak yakin ini aman,” bisik Kaelen.

“Tenang aja. Kalau mereka mau bunuh kita, tadi udah dibakar pas kita masuk,” ujar Lyra.

Dari balik kabut, muncullah sosok berjubah putih dengan mata seperti kaca air. Suaranya tenang, tapi memantul seperti gema.

“Kami telah menunggu kalian, Pewaris.”

Lyra mengerutkan kening. “Kalian siapa?”

“Kami Para Arkhiv. Penjaga rahasia Aedhira sejak ribuan tahun. Dan kau... telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur.”

Lyra berdiri di depan salah satu Arkhiv, matanya menyapu sekeliling. Para penjaga itu tidak sepenuhnya terlihat seperti manusia, tapi juga bukan roh. Mereka seperti ingatan yang diberi wujud—sedikit transparan, sedikit bergetar, seperti citra dalam genangan air.

Salah satu dari mereka, sosok tertinggi dengan jubah biru yang berkilau samar, mengangkat tangan dan memunculkan proyeksi udara di hadapan mereka. Di sana, terlihat peta Aedhira... tapi dengan retakan hitam besar yang membelah benua.

“Retakan ini... adalah warisan Raja Kelam,” katanya. “Ia bukan berasal dari Aedhira. Ia adalah cacat dari percobaan dunia lain. Dan sekarang, ia berusaha menjadi tuan rumah di negeri yang menolaknya.”

Arven menyipitkan mata. “Kau bilang dia bukan dari sini?”

“Tidak. Ia datang dari celah antara dunia—tempat yang bahkan para Dewa takut untuk menyentuh. Tapi dia menemukan jembatan—seseorang dari dunia kalian yang membukakan gerbang.”

Lyra langsung menegang. “Dari dunia kami? Maksud kalian, dunia manusia?”

“Benar.”

Kaelen melipat tangan. “Oke, ini makin seram. Jadi ada manusia yang kerja sama sama monster interdimensi?”

Arkhiv lain menjawab, “Bukan sekadar kerja sama. Orang itu adalah kunci. Dan kami percaya... orang itu masih hidup.”

Lyra menatap mereka satu per satu. “Jadi kalian tahu siapa dia?”

Sosok tertua di antara Arkhiv maju perlahan, menggenggam liontin kristal yang menggantung di lehernya.

“Namanya... Serena Caellum.”

Dunia Lyra langsung runtuh.

“Ma... maaf, apa tadi lo bilang?” gumam Kaelen kaget.

“Serena Caellum adalah ibumu... bukan?” tanya Arkhiv itu dengan tenang.

Lyra mundur satu langkah, wajahnya pucat. “Itu... nggak mungkin. Ibuku meninggal waktu aku kecil. Dia bukan—”

“Dia bukan mati, Lyra,” potong Arven pelan. “Dia... mungkin berpindah dunia.”

 

Lyra duduk di atas batu besar yang dingin, menatap kosong ke arah cahaya api unggun kecil. Suasana jadi hening setelah pengungkapan itu. Tak ada yang bisa mengatakan apa pun tanpa terdengar seperti menusuk luka terbuka.

Kaelen akhirnya duduk di sampingnya. “Gue... nggak tahu harus bilang apa. Tapi gue yakin satu hal—lo bukan ibu lo.”

Lyra tersenyum kecut. “Gue bahkan nggak tahu siapa ibu gue sekarang.”

Arven datang membawa secangkir ramuan hangat dan duduk tak jauh dari mereka.

“Kalau benar Serena Caellum membuka gerbang untuk Raja Kelam, berarti dia tahu caranya menutupnya juga. Mungkin... kita bisa menemukannya.”

“Kalau dia masih hidup,” bisik Lyra.

“Kalau dia masih berpihak pada kita,” tambah Kaelen hati-hati.

“Tapi kita harus coba,” kata Arven mantap. “Kalau lo mau jawabannya, kita harus ke tempat asal mula kejatuhan Serena—Benteng Noctvar. Di sanalah dia terakhir terlihat.”

Kaelen mengerang. “Tolong bilang benteng itu bukan tempat terkutuk penuh tulang dan monster kelaparan.”

Arven menyeringai. “Gue bisa bilang gitu... tapi gue bohong.”

 

Sebelum mereka berpisah dari Para Arkhiv, Lyra mendekati salah satu penjaga dan bertanya pelan, “Apa kalian yakin Serena masih hidup?”

Arkhiv itu menatap langsung ke dalam matanya. “Kami tidak tahu... tapi Raja Kelam menyimpan sesuatu di menaranya yang tidak bisa dihancurkan, tidak bisa disentuh. Dan itu... memanggil namamu.”

Lyra mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku akan ke sana. Aku akan menemukan ibu—dan menghentikan dia jika perlu.”

Arkhiv itu menunduk. “Kau telah tumbuh, Pewaris.”

Pagi itu, udara di Lembah Dua Bayang terasa lebih dingin dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mengawasi setiap langkah mereka. Lyra memandang ke arah lembah yang terbentang luas, dengan pepohonan kristal berkilau yang berdebur tertiup angin sepoi-sepoi. Di kejauhan, menara hitam yang menyeramkan itu sudah bisa terlihat, seperti mata burung raksasa yang siap menerkam.

"Jadi, kita harus menuju ke Benteng Noctvar?" tanya Kaelen dengan ekspresi skeptis.

Arven mengangguk. "Ya. Di sana mungkin kita bisa menemukan jawaban tentang Serena dan Raja Kelam."

"Seriusan deh... benteng itu kelihatan lebih kayak sarang monster yang nggak bisa dihadapi dengan logika biasa," komentar Kaelen sambil menyeringai.

Lyra berbalik menatap Arven dan Kaelen. “Kalian nggak paham. Ini bukan cuma tentang ibu gue lagi. Ini tentang Aedhira, tentang Raja Kelam, dan tentang dunia kita yang mulai hancur. Gue nggak punya pilihan.”

Kaelen mengangkat tangan dengan nada agak bercanda. "Oke, oke, gue nggak mau ikutan jadi beban, tapi gue harap ada bumbu komedi di perjalanan ini."

"Jangan khawatir, pasti ada sesuatu yang lucu di depan," jawab Lyra sambil mengangkat dagu, mencoba memberikan semangat pada dirinya sendiri dan teman-temannya.

Perjalanan mereka terasa semakin berat ketika mendekati Benteng Noctvar. Makin dekat, aura gelap menebal di udara, seperti sesuatu yang tak terlihat sedang memandang mereka dengan penuh kebencian.

“Gue nggak suka sama perasaan ini,” Kaelen berbisik, sesekali melihat ke arah pepohonan yang semakin jarang. “Kayak ada yang nyamar jadi pohon dan siap ngeluarin racun.”

"Tenang aja, kita semua di sini. Nggak ada yang bisa nyerang kita kalau kita tetap waspada," kata Arven.

Namun, meskipun dia berbicara dengan percaya diri, Lyra merasakan ketegangan yang menguat setiap langkah mereka.

 

Setelah beberapa jam berjalan melewati lembah yang semakin sunyi, akhirnya mereka tiba di depan Benteng Noctvar. Menara hitam menjulang tinggi, melesat menembus langit, seakan ingin mencakar bintang-bintang di atas sana. Benteng itu dipenuhi dengan simbol-simbol kuno yang hampir tak terlihat, terukir pada batu besar dan tertutup oleh semacam kabut hitam yang menghalangi pandangan.

"Ini tempat paling ngeri yang pernah gue lihat," gumam Kaelen.

Lyra mengangguk, perasaannya juga berat. “Kita harus masuk.”

Saat mereka mendekat, gerbang benteng yang besar terbuka dengan sendirinya, berderit seperti suara keluhan lama. Tak ada yang menjelaskan kenapa gerbang itu terbuka, tapi mereka tahu—mereka harus masuk.

Begitu melangkah masuk, mereka disambut oleh lorong panjang dengan dinding batu yang tampak hidup, seperti bernapas. Lantai berderit di bawah langkah mereka, dan udara di dalam terasa berat, seperti ada banyak rahasia yang terpendam.

"Senyap banget," bisik Kaelen.

"Jangan bicara. Kalau ada yang mendengar, kita bakal terjebak di sini selamanya," bisik Arven.

Di ujung lorong, mereka tiba di ruang utama yang luas. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah altar besar yang dihiasi dengan simbol-simbol sihir kuno, berkilau dengan cahaya pudar. Di tengah ruangan, ada sebuah meja batu besar yang dihiasi oleh peralatan sihir yang tampak sangat tua.

Di atas meja itu, ada sebuah buku besar dengan sampul yang hampir mengelupas. Lyra bisa merasakan, buku itu dipenuhi dengan kekuatan gelap yang kuat.

Lyra mendekat dengan hati-hati, tangannya gemetar ketika ia membuka halaman pertama. Di sana, tertulis nama yang tak asing lagi baginya.

"Serena Caellum," bisiknya, suaranya hampir tenggelam di ruang hening itu.

Tiba-tiba, ruang itu terasa lebih sempit, seperti ada sesuatu yang mengintai mereka. Lantai bergetar pelan, dan dari bayang-bayang gelap, sebuah suara berat terdengar.

"Jangan sentuh itu."

Lyra terkejut, dan ketika ia menoleh, sosok yang muncul adalah seorang pria besar dengan jubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik topeng. Ia berjalan mendekat, dan setiap langkahnya seakan mengguncang tanah.

"Kamu siapa?" tanya Kaelen, tangannya siap mengeluarkan senjata.

"Nama saya tidak penting. Yang penting adalah... kamu tidak boleh mengambil buku itu."

Lyra mengunci pandangan pada pria itu. “Kenapa? Apa yang ada di buku ini yang kalian sembunyikan?”

Pria itu tertawa pelan. “Ini bukan untuk manusia. Ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Rencana yang akan membangunkan kekuatan yang tak bisa kalian bayangkan.”

Kaelen maju sedikit. “Lo ngomong apa sih? Lo mau jadi jahat, atau lo cuma ngancem doang?”

Pria itu hanya tersenyum, namun senyumnya terasa lebih seperti ancaman daripada kedamaian.

"Ini lebih dari sekadar ancaman. Ini adalah takdir. Dan kamu, Lyra Caellum, tidak akan pernah bisa melarikan diri darinya."

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!