Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Sinar matahari menembus tirai tipis, menghangatkan ruangan putih tempat Nayla dirawat.
Sudah hampir tiga minggu sejak ia membuka matanya dari koma, namun masih banyak yang terasa ganjil—terutama perihal Jati.
Sosok yang begitu nyata dalam ingatannya, tapi menghilang begitu saja tanpa jejak, tanpa penjelasan.
Hari ini, tubuhnya terasa sedikit lebih kuat. Ia bisa duduk sendiri di atas tempat tidur.
Di meja sebelah, nampan bekas sarapan masih ada, dan tak jauh dari sana, vas berisi bunga lili putih yang mulai mekar tampak segar, meski hati Nayla tidak demikian.
Rangga dan Bi Ina pamit pulang sebentar tadi pagi untuk mengganti pakaian dan mengurus sesuatu di rumah.
Perawat bilang ia tak boleh banyak bergerak, tapi rasa penasaran yang sejak kemarin menghantuinya perlahan berubah menjadi keberanian.
Dengan hati-hati, Nayla menggeser selimutnya. Kakinya menjejak lantai dingin.
Sedikit gemetar, ia berdiri perlahan sambil memegangi tiang infus yang mengiringi langkahnya.
Ia melangkah keluar dari kamar, menyusuri lorong rumah sakit yang lengang.
Suara detak jam di dinding dan langkah kakinya yang pelan menjadi satu-satunya irama yang mengisi keheningan.
Setelah beberapa saat, ia sampai di meja perawat. Seorang suster muda tersenyum menyambutnya, terkejut namun segera menghampiri.
“Ibu Nayla? Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.
Nayla menatap suster itu dalam-dalam, lalu dengan suara pelan namun penuh harap, ia bertanya:
“Suster… di mana ruang rawat Tuan Jati? Yang… yang kecelakaan juga bersamaku…”
Suster itu mengerutkan dahi, sejenak tampak bingung. Ia menoleh ke arah layar komputer dan mulai mengetik beberapa data.
“Tuan Jati… sebentar ya, Bu,” ucapnya sambil membuka data pasien.
Namun detik-detik berikutnya terasa begitu lambat. Suster itu berhenti mengetik, menatap layar beberapa saat sebelum akhirnya kembali menoleh pada Nayla.
Wajahnya berubah sendu.
“Maaf, Bu Nayla… Tuan Jati sudah meninggal dunia. Beliau meninggal beberapa jam setelah kecelakaan terjadi. Sudah dimakamkan dua minggu yang lalu…”
Kalimat itu meluncur perlahan—tapi bagi Nayla, rasanya seperti petir menyambar di tengah siang bolong.
Tubuhnya mematung.
Tiang infus yang ia genggam nyaris terlepas dari tangannya.
“M-maaf… a-apa tadi…?” tanyanya lagi, suaranya tercekat.
Suster itu menatapnya dengan iba. “Saya benar-benar minta maaf, Bu. Mungkin pihak keluarga belum sempat memberitahu…”
“M-mas Jati… meninggal?” ulang Nayla, seakan masih tak percaya.
Dadanya terasa sesak. Pandangannya kabur. Suara di sekelilingnya memudar.
Nafasnya tercekat seolah dunia merenggut satu-satunya bagian hidupnya yang membuatnya bertahan selama ini.
Air mata perlahan jatuh tanpa bisa ditahan.
“Tidak mungkin… Mas Jati janji… dia janji temenin aku main ke pantai lagi… dia janji masakin bubur tiap aku sakit…” gumamnya pelan.
Tangis yang semula lirih berubah menjadi isakan pelan yang mengguncang bahunya. Suster buru-buru mendekat, memegangi lengannya agar tak jatuh.
“Ibu, ayo kita kembali ke kamar. Jangan berdiri terlalu lama, ya… Ibu belum cukup kuat.”
Nayla tak menjawab. Hanya membiarkan air matanya jatuh satu-satu, mengiringi hatinya yang seketika runtuh. Nama yang selalu memenuhi pagi-pagi hangatnya… kini hanya tinggal kenangan.
Dan di lorong rumah sakit yang sepi, seorang perempuan patah oleh kabar yang ia cari terlalu lama.
Rangga melangkah cepat memasuki ruang rawat Nayla begitu mendengar dari perawat bahwa istrinya meninggalkan kamar pagi tadi.
Sesuatu dalam dirinya langsung gelisah, apalagi saat mendapati Nayla kini duduk diam di atas tempat tidur, menatap lurus ke arah jendela tanpa ekspresi.
“Nayla?” panggil Rangga pelan, mendekat.
Nayla tak menoleh. Matanya masih kosong, wajahnya pucat, dan kedua tangannya menggenggam erat ujung selimut seakan berusaha menahan sesuatu yang rapuh di dalam dadanya.
“Nay… kenapa kamu keluar kamar? Kamu belum boleh terlalu banyak bergerak,” ucap Rangga dengan nada cemas, berusaha duduk di sampingnya.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Nayla membuka mulutnya. Suaranya pelan dan datar, tapi jelas menusuk.
“Mas Rangga… di mana Mas Jati?”
Rangga terdiam. Hatinya mencelos. Ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya, tapi sudah terlambat.
“Aku ingin bertemu Mas Jati,” lanjut Nayla, kali ini menoleh, menatap Rangga dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Suster bilang… dia sudah meninggal. Itu bohong, kan? Mas Jati nggak mungkin pergi…”
“Nayla…” suara Rangga nyaris hanya bisikan.
“Jawab aku, Mas,” suara Nayla bergetar. “Kamu bilang cuma perasaanku aja. Tapi sekarang… semuanya jelas.”
Ia mulai menangis, air matanya mengalir deras.
“Kenapa kamu bohongin aku? Kenapa kalian semua nutupin?”
Rangga menarik napas panjang, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak.
“Aku… aku cuma nggak mau kamu drop, Nay. Kamu baru sadar dari koma, aku takut kalo kamu tau… kamu—”
“Jadi lebih baik aku dibohongi?” potong Nayla, suaranya meninggi, penuh luka.
“Aku punya hak tahu… Mas Jati itu penyelamatku. Dia orang yang selalu ada waktu kamu nggak ada. Dia yang masakin bubur, dia yang genggam tanganku, yang… yang bilang aku kuat waktu aku sendiri nggak yakin.”
Rangga menunduk, tak sanggup membalas tatapan istrinya. Diam-diam, air mata ikut jatuh dari sudut matanya.
“Aku minta maaf, Nay… Aku bener-bener minta maaf…”
Nayla mengalihkan wajahnya, memeluk tubuhnya sendiri, seolah mencari kehangatan yang sudah hilang.
“Jati titip kamu ke aku, Nay,” ucap Rangga akhirnya, suara parau. “Sebelum dia pergi… dia bilang kamu harus bahagia. Dia tahu kamu pernah disakiti. Dia cuma pengen kamu disayangi, sepenuhnya…”
Nayla menutup matanya, tangisnya pecah kembali. Tak ada kata yang bisa menjawab kehilangan sebesar itu.
Dan di ruangan putih yang sunyi itu, mereka berdua hanya bisa larut dalam keheningan yang penuh luka terpisah oleh kebenaran, dan dihantui oleh cinta yang pergi terlalu cepat.
****
Hujan turun deras dari langit yang kelam, mengguyur atap rumah sakit dengan ritme kacau yang menggambarkan isi hati Nayla.
Di dalam kamar, alat-alat medis berbunyi pelan, tetapi infus yang tergantung kini sudah kosong, selangnya tergeletak di lantai. Tempat tidur Nayla kosong.
Dengan langkah tertatih dan tubuh masih lemah, Nayla berjalan perlahan di lorong rumah sakit.
Gaun pasien yang basah kuyup menempel di tubuhnya, dan tetesan darah kecil terlihat di bekas tusukan infus di tangannya. Namun tak ada rasa sakit yang mengalahkan perih di hatinya.
"Tunggu aku, Mas Jati…" bisiknya, lirih tapi penuh tekad.
Tangga menuju atap tak terkunci. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Nayla mendorong pintunya hingga terbuka.
Angin malam langsung menyambutnya, menusuk ke kulit dan membawa suara hujan yang menggelegar.
Di rooftop itu, Nayla berdiri sendirian, rambutnya terurai dan menempel di wajah karena basah.
Ia mendongak ke langit, air mata bercampur hujan membasahi wajahnya.
“Mas Jati… aku kangen…,” isaknya. “Kenapa pergi secepat itu? Aku belum sempat bilang terima kasih. Aku belum sempat bilang… aku minta maaf.”
Langkah kakinya perlahan maju ke arah pagar pembatas. Tangannya menyentuh besi yang dingin, dan matanya menatap jauh ke bawah kota yang bermandikan cahaya malam.
Sementara itu, di kamar, Rangga terbangun. Ia mendapati tempat tidur Nayla kosong, selang infus tercabut, dan pintu kamar terbuka. Jantungnya langsung berdegup kencang.
“Nayla?!”
Ia berlari menyusuri lorong, bertanya ke perawat, panik.
Salah satu dari mereka menyebut ada pasien yang terlihat menuju tangga darurat. Tanpa pikir panjang, Rangga menyusul ke rooftop.
Begitu membuka pintu atap, ia melihat Nayla berdiri di tengah hujan, menggigil, tubuhnya goyah.
“Nayla!” teriak Rangga.
Nayla menoleh, matanya berkabut air mata. “Mas, jangan dekati aku…”
“Turun, Nay. Kamu belum sembuh. Kamu bisa sakit lebih parah…”
“Aku nggak peduli… aku cuma mau bersama Mas Jati… aku capek Mas…”
Rangga mendekat perlahan, berusaha tak membuat Nayla terkejut.
“Aku tahu kamu sayang Jati. Aku juga… aku juga kehilangan, Nay. Tapi kamu nggak boleh pergi. Jati titip kamu ke aku.”
“Aku nggak sanggup hidup tanpa dia…” Nayla terduduk, tubuhnya gemetar hebat. “Kenapa semua orang yang sayang sama aku malah pergi?”
Rangga akhirnya berhasil sampai di sisinya, memeluk tubuh Nayla yang dingin dan basah kuyup.
“Aku di sini, Nay… Aku nggak akan ninggalin kamu. Kita hadapi semuanya sama-sama.”
Di bawah derasnya hujan dan gelapnya langit malam, pelan-pelan tubuh Nayla melemas dalam pelukan Rangga, tangisnya pecah.
Dalam kesunyian yang penuh luka itu, Rangga menggenggam erat tangan Nayla dan berharap masih ada waktu untuk menebus segalanya.