Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Rangga tercekat melihat pintu yang tertutup rapat, bayangan Nayla yang pergi masih membekas di matanya.
Tanpa menunggu lama, ia buru-buru mengenakan pakaiannya, jantungnya berdetak kencang, suara langkahnya tergesa-gesa melewati lorong rumah.
“Nayla, tunggu!” teriaknya sambil berlari ke arah pintu depan.
Di luar, suara mesin taksi sudah mulai meraung pelan, lampu merah dari lampu depan mobil menyinari jalan malam yang sepi.
Rangga membuka pintu dengan cepat dan melangkah ke jalan, matanya memburu sosok Nayla yang duduk sendirian di kursi belakang taksi.
“Tunggu, Nayla!” panggilnya lagi, suaranya penuh putus asa.
Sopir taksi menoleh ke belakang, sementara Nayla menatap ke luar jendela, wajahnya penuh air mata dan luka.
Rangga berjalan mendekat, berharap bisa menyentuh bahunya, atau setidaknya membuatnya mendengar.
“Tolong, Nay. Jangan pergi seperti ini. Aku salah, tapi aku ingin memperbaikinya,” kata Rangga dengan suara bergetar.
Namun, taksi itu mulai berjalan pelan meninggalkan rumah, sementara Rangga berdiri terpaku di pinggir jalan, berjuang melawan rasa sakit yang begitu dalam.
Malam itu, Rangga sadar bahwa waktu dan hati tak bisa dipaksa, tapi ia bertekad akan mengejar dan menyembuhkan luka yang ada, apapun yang terjadi.
Nayla menatap kaca mobil dengan tatapan kosong saat taksi melaju menuju klub malam yang berjarak tak jauh dari rumahnya.
Hatinya penuh dengan rasa sakit dan kecewa, seolah ingin melarikan diri dari semua yang membebani pikirannya.
Sesampainya di depan klub malam yang penuh lampu warna-warni dan suara musik yang menggelegar, Nayla turun dengan langkah gontai, masuk ke dalam keramaian yang bercampur antara tawa dan hiruk-pikuk malam.
Ia duduk di bangku bar, memesan beberapa minuman keras yang disajikan satu demi satu.
Setiap tegukan seolah mencoba menenggelamkan rasa yang mengganjal di dadanya, walaupun hati dan pikirannya tetap terasa berat.
Perlahan, efek minuman mulai menguasai tubuhnya, membuat langkahnya semakin tak menentu dan pandangannya berkunang-kunang.
Tiba-tiba, saat Nayla hampir kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh, sebuah tangan kuat menggenggam pinggangnya dengan sigap.
Ia terkejut, menoleh dan melihat seorang pria yang berdiri di sampingnya. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam, wajahnya serius namun ada kilatan penasaran di matanya.
"Bukankah kamu istri dokter Rangga?" tanya pria itu dengan suara rendah dan tegas.
Nayla menatapnya, hatinya bergetar. Pria itu kemudian mengeluarkan ponselnya dan tanpa basa-basi mulai menekan beberapa angka.
Sebuah panggilan telepon menuju Rangga segera dilakukan.
Di sisi lain kota, Rangga masih mencari keberadaan istrinya sampai tiba-tiba ponselnya bergetar, layar menampilkan nomor Aslan.
Saat ia mengangkat telepon itu, suara Aslan tersebut terdengar jelas, memberitahukan keberadaan Nayla.
“Dokter Rangga, istri Anda sedang di klub malam ini. Saya menemukan dia dalam keadaan yang… kurang baik. Saya sedang bersamanya sekarang.”
Jantung Rangga seketika berdetak sangat cepat.
Tanpa pikir panjang, ia menekan pedal gas lebih dalam, memacu mobilnya melaju kencang menembus gelap malam.
Pikiran dan hatinya dipenuhi rasa cemas, takut terjadi sesuatu buruk pada Nayla.
Lampu mobil menembus kegelapan, sirene mobilnya seolah menambah ketegangan dalam setiap detik yang berlalu.
Di dalam klub malam, Nayla mulai merasa semakin lemah, suara musik yang bising membuatnya bingung.
Namun ketika Rangga tiba, wajahnya muncul seperti penyelamat di tengah badai.
Rangga segera melangkah ke arah Nayla, meraih tangannya dengan lembut namun tegas, “Nayla, ayo kita pulang.”
Nayla menatap suaminya, air mata mulai mengalir, dan di matanya terlihat ada penyesalan serta kerinduan.
Rangga menggandengnya keluar dari keramaian, melewati orang-orang yang mulai memperhatikan kedatangan mereka.
Di mobil, suasana sunyi, hanya suara mesin yang menemani perjalanan pulang.
Rangga meraih tangan Nayla, “Aku di sini, Nay. Aku nggak akan biarkan kamu sendiri.”
Nayla hanya bisa terisak pelan, menyesali semua yang telah terjadi.
Malam itu menjadi titik balik, bukan hanya untuk luka yang mereka sembunyikan, tapi juga untuk harapan akan sebuah awal baru yang bisa mereka bangun bersama.
Rangga terdiam di balik kemudi, mendengarkan ocehan Nayla yang tak karuan. Suaranya terdengar penuh luka dan kebingungan.
"Kenapa kamu menyebutkan nama itu lagi? Di saat kita akan mulai, kamu malah membawa-bawa namanya. Aku cuma bayangan, cuma bayangan..." Nayla terus mengoceh, suaranya mulai serak.
Ia memejamkan mata, terhuyung dalam pengaruh alkohol dan rasa sakit yang membuncah di hatinya.
Rangga menatap wajah istrinya dengan campuran perasaan sedih, marah, tapi lebih dari itu, ia merasa iba.
Baru kali ini ia melihat Nayla seperti ini rapuh, kehilangan arah, dan terluka begitu dalam.
Sesampainya di rumah, Bi Ina yang sudah menunggu di depan pintu langsung terkejut. Ia mencium bau alkohol yang menyengat dari Nayla.
"Ya Tuhan, Nona Nayla... kamu kenapa sampai begini?" Bi Ina buru-buru membantu menuntun Nayla ke dalam kamar.
Rangga memandang istrinya dengan tatapan berat, hatinya bergemuruh dalam diam.
Malam ini bukan hanya tentang perpisahan dengan bayang-bayang lama, tapi juga tentang menyembuhkan luka yang belum pernah mereka ungkapkan.
"Aku akan jaga kamu, Nay," bisik Rangga pelan, merangkul tubuh istrinya yang mulai terlelap dalam pelukan hangat di kamar.
Malam itu, di bawah atap rumah yang baru penuh harapan, mereka tahu jalan untuk kembali bersama tidak akan mudah, tapi Rangga siap berjuang untuk Nayla dan cinta mereka.
Rangga dengan hati-hati menggendong Nayla ke kamar, memastikan tubuhnya yang lemah tertopang dengan baik.
Ia melepas pakaian Nayla yang basah oleh keringat, menggantinya dengan pakaian bersih dan nyaman yang sudah disiapkan sebelumnya.
Setelah memastikan Nayla tertidur dengan nyenyak di ranjang, Rangga mengambil kain lembut yang sudah direndam air dingin dan memerasnya hingga tak terlalu basah.
Perlahan ia mengompres kening Nayla, berharap bisa menurunkan panas tubuhnya dan sedikit meredakan gejolak di dalam hatinya.
Wajah Nayla yang masih pucat itu membuat Rangga merasa semakin terluka, tapi tekadnya untuk menjaga dan menyembuhkan istrinya semakin kuat.
“Tenang ya, Nay... Aku di sini,” bisik Rangga lirih, sementara matanya menatap penuh kasih sayang.
Setelah memastikan Nayla tertidur dengan tenang, Rangga mengambil ponselnya dan membuka pesan. Ia menatap layar beberapa saat, lalu mulai mengetik.
[Aslan, terima kasih sudah menjaga Nayla tadi malam. Aku benar-benar berutang budi padamu.]
Beberapa detik kemudian, notifikasi balasan masuk.
[Tidak masalah, bro. Dia terlihat sangat rapuh malam ini. Jaga dia baik-baik.]
Rangga menatap pesan itu lama, lalu membalas dengan singkat namun penuh makna
[Aku janji.]
Ia meletakkan ponselnya di meja samping ranjang, kembali duduk di sisi Nayla sambil menggenggam tangannya.
Dalam hatinya, Rangga bersumpah tak akan pernah mengucapkan nama yang salah lagi dan akan memperbaiki semua luka yang telah ia sebabkan.