Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Listrik Padam
Evan tersedak mendengar perkataan bocah labil itu. Dalam pikiran pria tua itu tidur bersama bermakna melakukan hal yang bergairah.
Pria itu memikirkan seperti itu, maklum saja ini sudah tengah malam dan sedang hujan. Udara dingin dan butuh sebuah kehangatan.
"Om, ayo kita tidur bersama." Lika kini memasang wajah melas.
"Nanti aku tidur di tempat tidur dan om di lantai saja." sambung Lika kembali. Seperti ini tidur bersama yang Lika maksud. Hanya berada di kamar yang sama.
"Tidur sana di kamarmu sendiri!" tolak Evan. Ia kembali tersadar. Malah tadi sempat memikirkan menghabiskan malam bersama si Malik itu.
Saat Evan akan masuk kamar, Lika menahan dan mengeratkan pelukannya.
"Aku tidak mau tidur sendiri, aku takut, om!"
Pria tampan itu membuang nafasnya sejenak, ia memang tidak pernah menang melawan bocah kematian satu ini. Kini si Malik juga sudah bercucuran air mata.
"Kita tunggu di ruang tamu saja sampai hujan reda." putus Evan akhirnya. Ia jadi mengalah.
Nanti setelah hujan berhenti, mereka akan ke kamar masing-masing.
Lika mengangguk senang. Ia menghapus air matanya.
"Aku ambil selimut dulu, om!" ucap Lika berlari ke kamar.
Sambil menunggu hujan berhenti, Lika akan memakai selimut. Malam ini udara begitu dingin.
Dan tak lama,
"Om Evan!!!" pekik Lika ketakutan. Tiba-tiba kamarnya gelap gulita.
"Om Evan!" panggil Lika kembali. Ia masih sendirian di kamarnya.
"Om Evan di mana?"
Lika memberanikan diri untuk melangkah keluar kamar. Om Evan ada di ruang tamu. Ia berjalan dengan meraba-raba.
Dan saat keluar kamar,
"Bahhh!" Evan pun menjahili Lika. Ia menyalakan senter di ponsel yang di letakkan di dekatkan di muka.
"Akhhhh! Akhhh! Akhhh!!!" Lika berteriak histeris dengan penampakan yang tiba-tiba. Bulu kuduk jangan ditanya, sudah merinding disko.
Bugh, tangan Lika refleks memukul kepala yang bercahaya itu.
"Malik!" Evan kesal. Lika malah memukulnya. Tidak bisa diajak becanda.
"Om Evan, jangan menakutiku!"
Tak berapa lama kemudian, Evan duduk sambil melipat tangan di dada. Di sampingnya ada Lika. Mereka berdua berada di ruang tamu yang bercahayakan lilin.
"Om, maafkan aku. Tadi aku refleks dan tidak sengaja. Om juga sih, sudah listrik padam begini malah menakutiku!" oceh Lika dengan nada cemberut. Pak tua itu bercanda tidak melihat kondisi.
Evan hanya mendengus.
"Om, kapan listriknya akan menyala kembali?" tanya Lika. Lilinnya tinggal setengah.
Evan mengangkat bahu tanda tidak tahu. Ia bukan orang PLN.
"Nanti kalau sudah lampu menyala bangunkan aku! Kamu jangan tidur dan tunggu!" pesan Evan. Ia sudah mengantuk.
"Mundur lagi!" pinta Evan kemudian.
Kini Evan membaringkan tubuh di sofa, lalu memejamkan mata.
Lika mengangguk akan menurut. Ia tidak berani melawan Evan. Bisa-bisa jadi berdebat dan ia akan ditinggal sendirian di dalam kegelapan.
Pak tua itu kini sudah tidur saja. Lika pun menyandar di sandara sofa. Ia tidak boleh tidur dan akan menunggu sampai listrik menyala.
Saat pagi menjelang, Evan kesulitan menggerakkan badan. Tubuhnya seperti ketindihan.
Matanya perlahan terbuka dan melihat apa yang menindihnya.
"Malik?" ucap Evan pelan. Ia terdiam sesaat mengumpulkan jiwa raganya yang masih berhamburan.
Seseorang tidur di dadanya, menimpa tubuhnya.
Lika pun membuka mata dan melihat mata itu.
Sejenak diam mengumpulkan jiwa raga.
"Akhhh! Apa yang terjadi, om?" teriak Lika. Bangun-bangun ia sudah di atas tubuh Evan saja.
"Aww!!!" Evan meringis kesakitan. Lika langsung bangkit dengan tangan yang menekan perutnya.
Lika lalu melihat dirinya yang masih berpakaian utuh. Sedikit bernapas lega, sepertinya tidak ada yang terjadi tadi malam. Mereka hanya tidur saja dan tidak melakukan apapun.
"Kenapa kita jadi tidur di sini?" tanya Lika. Terakhir mengingat menunggu listri menyala.
"Kamu kenapa tidak membangunkanku? Kamu malah ikutan tidurkan?!" Evan berucap dengan nada sinis. Tadi malam ia berpesan untuk dibangunkan setelah listrik menyala.
"Aku juga tidak tahu kapan mataku terpejam." bela Lika. Bangun-bangun sudah pagi saja.
"Aku mau mandi!" Lika berlari kabur untuk mencari aman. Ia menghindari kemurkaan Evan di pagi ini.
"Malik!!!"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Malik, cuci piringmu itu!" pinta Evan. Tadi ia hanya mencuci piringnya yang kemarin.
Lika yang baru keluar kamar pun menggerutu. Si pak tua itu sedang cuci piring dan bukan sekalian mencuci semua. Ini malah dipilih-pilih.
"Mulai sekarang, jika pakai peralatan dapur cuci sendiri!" jelas Evan. Ia akan tegas dan tidak akan bersikap lembut lagi pada Lika lagi.
"Kamu mau ke mana?" tanya Evan. Ia melihat Lika berpakaian rapi.
Wanita yang sedang membuat teh itu melihat Evan dengan sengit. Kembali ingat saat ia menunggu berjam-jam di teras rumah.
"Mana kunciku, om?" bukannya menjawab, Lika malah meminta kunci rumah. Ia tidak mau menunggu di teras lagi.
"Di laci bawah tv." jawab Evan. Ia mengelap tangan dengan kain lap. Cucian piringnya telah selesai.
"Kamu masih kerja?" tanya Evan. Ia akan menyampaikan pesan papanya.
Lika mengangguk tanda iya.
"Kamu hari ini juga berhenti dari kerjaanmu!"
"Enak saja! Om, jangan mengatur-ngaturku!" sewot Lika. Pak tua itu siapa, seenaknya saja mengaturnya.
"Berhenti kerja!" paksa Evan.
"Tidak mau! Aku mau kerja kok!" bantah Lika.
Huft, Evan mengatur napas.
"Kamu tidak boleh bekerja lagi, itu pesan papa!"
Lika menunjukkan wajah tidak percaya.
"Kalau kamu tidak percaya, akan ku telepon!" Evan meraih ponsel dan menghubungi papanya.
"Halo, pa." ucap Evan begitu ponsel menempel di telinga.
...
Lika mendelik, Evan beneran menelepon papanya.
"Pa, Malik-, Malika mau bicara sama papa." ucap Evan. Ia hampir ceplos lagi.
Lika menggelengkan kepala. Ia tidak mengatakan begitu.
Evan tidak peduli dan menyodorkan ponsel pada Lika. Ia tetap memaksa meski Lika berusaha menolak.
Hingga akhirnya,
"Halo, om. Selamat pagi." ucap Lika dengan tatapan membunuh melihat Evan yang tersenyum mengejeknya.
"Pagi, Lika. Jangan panggil, om. Panggil papa saja, kamu kan sudah menjadi menantu papa." ucap papa dari seberang sana.
"I-iya, pa." jawab Lika yang jadi gugup.
"Apa yang mau kamu bicarakan dengan papa?" tanya papa kemudian.
"Hah, i-itu, pa. Itu-," Lika tidak tahu mau bicara apa.
"Tan-, maksud Lika. Mama apa kabar, pa?" wanita itu jadi bertanya begitu. Itu yang terlintas di pikirannya. Lupa mau bertanya tentang kerjaannya.
"Mama baik. Kapan kamu sama Evan ke rumah?" tanya papa. Istrinya sudah memberitahu kalau Evan kemarin datang seorang diri tanpa Lika.
"Hah, nanti malam pa." jawab Lika, ia langsung tutup mulut. Malah menjawab begitu.
"Baiklah, kita akan malam bersama. Papa akan meminta pada mama, untuk memasak yang banyak."
Lika hanya tersenyum lemah. Papa mertuanya baik sekali tidak seperti anaknya.
"Terima kasih, pa."
Tak berapa lama kemudian, obrolan Lika pun berakhir. Ia melihat Evan kembali dengan mode sinisnya.
"Papa menyuruh kita ke rumah malam ini."
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang
makanya jangan perang dunia trs, romantis dikit kek sebagai pasutri 😁