Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Berduka
Ketika matahari terbit dari timur membawa warna ungu kekuningan di ujung cakrawala. Seorang pria dengan penampilan berantakan berjalan sembari menggendong sesuatu yang di tutupi menggunakan kain di pundaknya. Para warga yang melihat ke pulangan orang tersebut langsung menyambutnya.
Hana, yang melihat kedatangan suaminya langsung berlari dengan khawatir. "Sayang, apa yang terjadi?" Pertanyaan Hana membuat semua orang disana menahan napas. Hal itu dikarenakan Glen kembali hanya seorang diri dengan wajah begitu pucat.
"... Maaf...," lirihnya dengan bergetar. Ia seorang pria dewasa namun, ia tidak kuasa menahan rasa sedihnya pagi itu.
Glen menurunkan sesuatu yang ia bawa di pundaknya. Saat dibuka, di dalamnya terdapat George dan Delia yang sudah tidak bernyawa lagi. Para warga desa hanya bisa terdiam dengan napas tercekat.
"A-apa yang terjadi sebenarnya, sayang!? Lalu, dimana Ralf? Bagaimana dengan Elena!?" Hana bertanya dengan begitu panik. Air matanya turun dengan deras.
"Maaf ...." Glen hanya bisa menunduk sembari memberikan pedang yang dimiliki oleh anaknya. Ia sama sekali tidak berani menatap langsung ke mata sang istri.
Ketika mendapati pedang kesayangan anaknya itu berlumuran darah, dunia Hana seakan runtuh saat itu juga. Ia terduduk dengan pundak bergetar. Tangisan pilu seorang ibu yang kehilangan anaknya dapat membuat semua orang merasakan perasaannya.
Pagi hari itu terasa lebih dingin dari biasanya. Ketika seseorang mulai melakukan aktivitas biasanya, di desa itu sibuk melakukan upacara pemakaman sederhana untuk orang-orang yang sudah pergi kesisi tuhan.
George dimakamkan tepat di samping makam sang istri. Sedangkan Delia dan Elena di sandingkan bersebelahan, dan yang terakhir adalah Ralf. Pedang Ralf di tancapkan bersebelahan dengan makam Elena.
Mega, yang kehilangan kakak dan teman satu-satunya dalam waktu semalam hanya bisa terdiam di depan makam mereka berdua. Wajahnya sudah berantakan karena menangis. Mata dan hidungnya telah memerah, dan beberapa jejak air mata masih tertinggal di pipinya.
Kakak... Lena...
Mega tak kuasa berkata apapun lagi.
...★----------------★...
Di sebuah kamar mewah dengan penerangan begitu minim, seorang laki-laki berambut hitam perlahan membuka matanya, menampilkan manik biru safirnya.
Kasur yang kusut dan wajah yang penuh dengan keringat menjadi saksi bisu seberapa keras ia berjuang menahan rasa sakit akan kutukannya.
Ia bangkit lalu melihat ke dalam genggamannya. Salep itu masih ada disana.
Apakah aku pingsan sambil memeluk salep ini?
Altheon menoleh kesana kemarin, mencari sesuatu yang ia cari semalam.
Obatku tidak ada dimanapun.
Ia akhirnya mengarahkan pandangannya ke arah balkon, merasakan sinar hangat dari matahari yang mulai terbit.
Lalu, tiba-tiba ketukan pintu terdengar di ruangan sunyi itu.
"Masuk."
Pintu terbuka dan memperlihatkan seorang kepala pelayan kediaman Larrens.
"Ada apa?" tanya Altheon dengan tenang.
"Mohon maaf mengganggu waktu anda. Saya hanya ingin menyampaikan informasi tentang permaisuri," jelas kepala pelayan itu.
Tubuh Altheon langsung merasakan udara dingin menusuk punggung belakangnya. "Apa yang terjadi pada permaisuri...?" tanyanya dengan hati-hati.
Kepala pelayan itu mengangkat pandangannya dan menatap lurus ke arah Altheon. "Permaisuri telah tiada tadi malam."
Seperti petir di pagi hari, jantung Altheon terasa berhenti dalam sejenak. Tubuhnya merasa begitu dingin ketika mendengar berita yang sangat ia benci.
"Ba-bagaimana ... Bagaimana bisa terjadi?" Bibirnya bergetar, dan ke tenangannya mulai goyah.
"Beritanya mengatakan, permaisuri sudah ditemukan tidak bernyawa di atas kasurnya."
Penglihatan Altheon tidak bisa fokus. Pikirannya berpacu dengan liar dan tidak mau tenang seperti biasanya.
Tidak... Tidak mungkin... Ibu... Ibu, tidak!
Altheon menutupi wajahnya dengan tangan, menahan dirinya untuk menangis. Ia tidak boleh terlihat lemah disini, tidak!
Aku ... Aku harus memastikannya sendiri ....
Altheon mengangkat kepalanya lalu berkata dengan tegas, "Pertemukan aku dengan Count Larrens!"
"Maaf, Yang Mulia. Saat ini Count sedang sibuk dengan urusan wilayah," tolak kepala pelayan itu. Namun, Altheon tidak berniat mengalah kali ini.
Ia turun dari kasurnya dan berjalan mendekati pelayan yang sedang menunduk, yang berpura-pura seakan menghormati keberadaan Altheon di kediaman ini.
Altheon mengambil pedang kecil yang tergantung di dinding sebagai hiasan lalu, mengarahkannya tepat ke bagian bawah perut kiri kepala pelayan itu.
"Apa kamu sudah berani melawan perintah pangeran pertama kekaisaran Hilderic!?" ancam Altheon.
"Bawa aku kesana. Sekarang."
Perintahnya begitu absolute, membuat kepala pelayan hanya bisa menelan ludahnya dengan kasar.
"Ba-baiklah, Yang Mulia."
...★----------------★...
Ketika yang lain merasakan sebuah kehilangan yang begitu tiba-tiba dan dilanda oleh kesedihan. Di suatu tempat dengan penerangan yang remang-remang, terbaring seorang gadis berambut merah muda di atas kasur dengan penampilan penuh dengan balutan perban.
Kelopak mata itu bergetar lalu perlahan terbuka, menampilkan mata merah mudanya yang begitu kontras.
"Ugh!"
Tubuhnya terasa dicabik-cabik hingga membuat sedikit pergerakan saja bisa membuatnya sangat kesakitan.
Dimana aku...?
Napasnya tersengal-sengal dengan keringat mengucur begitu deras.
Suara percikan kayu terbakar, dan hangatnya api membuat ruangan menjadi begitu aman namun juga mengerikan karena sunyi.
Tiba-tiba sebuah deritan pintu kayu yang terdengar hampir rubuh terbuka, menampilkan sosok seorang wanita dengan baju pelayannya dan seorang wanita bangsawan dengan gaun mewahnya.
"Kamu sudah bangun, nak?" Suara lembut bagai pisau yang siap menusuk itu membuat Elena berusaha keras menolehkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang berbicara itu.
Namun, sepersekian detik matanya membulat dengan sempurna karena terkejut.
Rambut merah yang bergelombang seperti darah, dan manik berwarna violet itu adalah ciri-ciri dari penjahat dalam novel 'My Little Prince'.
Sekarang Elena mengingat semuanya. Dunia ini bukanlah dunia biasa. Ini adalah dunia di dalam novel yang pernah ia baca di kehidupan sebelumnya. Novel yang bercerita tentang perang antar saudara demi mendapatkan kekuasaan. Novel penuh dengan pertumpahan darah di setiap langkahnya.
Tokoh utamanya adalah Pangeran Pertama dan juga Pangeran Kedua, dan karakter Elena hanyalah sebuah karakter sampingan yang akan mati bersama dengan Selir Pertama.
Masalahnya, akhir dari novel ini tidak jelas. Penulisnya berhenti ketika konflik mulai memuncak dan tidak ada yang tahu akhir dari semua kemalangan ini.
Lalu... Sekarang aku disini...
Elena seharusnya bertemu Selir pertama saat usianya menginjak 18 tahun. Saat itu ketika ia sedang mencari obat untuk ibunya yang terkena penyakit menular, ia tertangkap oleh penjual budak dan dijual di sebuah lelang para bangsawan.
Karena matanya yang uniknya, Selir Pertama yang berada disana saat itu merasa tertarik dan membantunya keluar dari sana.
Di novel, Elena tidak menyadari kejahatan sang Selir dan menganggapnya orang yang baik karena menolongnya. Namun, ia harus mengabdikan diri sebagai pelayan pribadi Pangeran Kedua dan menyamar sebagai anak laki-laki. Janji sang selir untuk memberinya kebebasan setelah sang Pangeran naik tahta.
Tidak memiliki pilihan, ia hanya bisa menyetujuinya. Namun, satu tahun setelahnya ia mendapatkan kabar bahwa ibunya telah tiada. Elena yang tidak memiliki tempat untuk pulang lagi hanya bisa berada disana hingga, ia berakhir di bawah pedangnya Pangeran Pertama bersama dengan Selir Pertama.
Harusnya seperti itu ... Tapi segalanya telah berubah ... Aku mengubah takdir, dan hal itu menjadi lebih buruk dari yang seharusnya...
"Apa yang sedang kamu pikirkan di kepala kecilmu itu, nak?" Viona bertanya dengan senyum tipisnya sembari menyesap teh yang telah disediakan oleh pelayannya yang tidak lain adalah Lyra.
"A-....And...." Elena kesulitan untuk mengeluarkan suaranya. Tenggorokannya terasa panas ketika ia berusaha mengeluarkan sedikit suara.
"Kamu kesakitan?" tanyanya lagi, masih dengan senyum tipisnya hingga membuat matanya menyipit. "Lyra, berikan dia obat."
Lyra mengangguk kecil lalu kembali dengan sebuah obat di tangannya. Ia meminumkan sesuatu yang terasa begitu pahit ke dalam mulut Elena, dan perlahan tubuh Elena mulai membaik seperti sebuah sihir.
Elena perlahan mulai bangkit dan duduk di atas kasur sembari menatap dengan waspada ke arah Viona dan Lyra secara bergantian.
"I-ini dimana...?" tanya Elena dengan hati-hati.
Viona hanya tersenyum lalu berkata, "Kamu sepertinya bukan gadis biasa, ya? Anak lain biasanya akan panik ketika terbangun di tempat yang asing."
Ucapannya itu menyentak Elena hingga membuatnya mengalihkan pandangannya. Ia harus berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan orang di depannya ini.
"Kamu tahu? Akulah yang telah menyelamatkanmu dari sungai itu. Apa tidak ada kata terimakasih darimu?" tanya Viona dengan wajah yang menatap rendah ke arah Elena namun, sedetik kemudian ia kembali tersenyum lembut.
"Te-terimakasih ...." Elena hanya bisa menunduk.
"Hanya itu?"
"...?"
Elena bingung dengan pertanyaan dari Viona. "A-apa yang bisa saya berikan kepada anda, nyonya?" tanya Elena dengan perasaan gelisah. Ia mencengkram kasur sembari mengigit bibir bawahnya dengan gugup.
Viona berdiri dan mendekati Elena dengan perlahan, mengulurkan tangannya dengan hati-hati seakan Elena adalah boneka yang rapuh. Ia mengelus rambut merah muda itu dan perlahan turun ke pipi lalu, mengusap kelopak mata Elena.
"Kamu... Apa kamu anak haram kaisar?"
To Be Continued