NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:11.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Leona melangkah keluar dari terminal kedatangan Bandara Changi, Singapura, dengan kacamata hitam besar yang menutupi sebagian wajahnya dan topi lebar yang membuatnya sulit dikenali.

Wajahnya tampak penuh amarah, dan pikirannya hanya dipenuhi Arlena.

Beberapa jam kemudian, dengan dokumen palsu dan bantuan kenalannya, Leona berhasil menyusup sebagai staf sementara di kediaman mewah keluarga Maxim, menyamar sebagai pelayan baru.

Seragam putih rapi menutupi identitas aslinya dan rambutnya yang biasanya terurai kini disanggul ketat.

Setiap langkahnya di lorong rumah megah itu terasa berat oleh dendam.

Ia menyapu, menghidangkan teh, dan menjalani peran pelayan dengan ekspresi tenang namun penuh perhitungan.

Di balik meja makan besar, Leona memperhatikan Arlena dari kejauhan dimana gadis yang kini dipanggil putri oleh semua orang, dengan sorotan penuh kasih dari kedua orang tuanya.

Arlena tampak bahagia, belum menyadari bahwa bayang masa lalu yang kelam tengah menyusup pelan ke dalam hidupnya.

"Aku akan mengambil kembali semuanya. Aku akan membuatmu menangis seperti aku dulu menangis," gumam Leona dalam hati, sambil menunduk hormat saat Nyonya Alena melewatinya.

Panggung kini telah berubah. Leona telah masuk ke tengah kehidupan Arlena dan badai yang tak terduga, perlahan mulai berhembus.

Malam mulai turun di kediaman mewah keluarga Maxim.

Langit Singapura berwarna jingga keemasan saat matahari tenggelam, sementara di dalam rumah, suasana hangat dan tenang menyelimuti setiap sudut.

Di kamar Arlena yang bernuansa putih pastel, pelayan baru yang menyamar masuk dengan langkah pelan.

Di tangannya, ia membawa nampan perak berisi segelas air hangat bercampur madu.

Senyum tipis menghiasi wajahnya, namun sorot matanya menyimpan niat gelap.

“Ini minuman malam Anda, Nona Arlena,” ucapnya lembut, membungkuk dengan penuh hormat.

Arlena yang sudah berganti pakaian tidur mengangguk pelan, senyum kecil di wajahnya.

“Terima kasih,” ucapnya, mengambil gelas itu tanpa curiga.

Leona menatapnya diam-diam dimana cairan dalam gelas itu tampak biasa saja, berwarna bening keemasan.

Namun ia tahu, dalamnya tersimpan dosis tinggi obat penenang yang cukup kuat untuk membuat Arlena tertidur pulas dan lebih buruk lagi, tak bisa bangun dengan mudah.

“Tidur nyenyak, Nona,” Leona berbisik nyaris tanpa suara ketika ia keluar dari kamar, menutup pintu perlahan di belakangnya.

Senyum puas muncul di wajahnya saat ia menuruni tangga kembali ke dapur.

Sementara itu, di kamar yang tenang, Arlena meminum air madu itu hingga habis.

Rasanya manis dan hangat, seperti biasa. Ia tak menyadari bahwa malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang gelap. Matanya mulai terasa berat napasnya lambat dan dalam.

Dan dalam hitungan menit, tubuhnya terbaring lemas di ranjang empuk, tak sadarkan diri.

Di luar kamar, Leona berdiri mengawasi dari lorong yang remang.

"Selamat tidur, Putri Tuan Maxim."

"Besok pagi, dunia akan mulai kehilanganmu."

Pagi yang seharusnya cerah di rumah keluarga Maxim berubah menjadi mencekam dalam sekejap.

Matahari baru saja menembus tirai jendela kamar Arlena, menyinari wajahnya yang pucat terbaring tenang di atas ranjang.

Mama Alena membuka pintu kamar dengan senyum hangat dan langkah ringan.

Ia membawa baki kecil berisi sarapan pagi, berharap bisa menyambut pagi bersama putrinya yang baru kembali.

“Sayang, bangun... Ini pagi yang indah,” ucap Mama sambil meletakkan baki di meja samping tempat tidur.

Mama mendekat, mengelus lembut rambut Arlena yang masih tertidur pulas.

“Arlena?” panggilnya lagi, kali ini lebih keras.

Namun tak ada respons. Wajah Mama mulai berubah.

Ia menyentuh pipi Arlena yang dingin dan mencoba mengguncang tubuh putrinya.

“PAPA!!” teriaknya panik, suaranya menggema di seluruh rumah.

Tuan Maxim yang sedang sarapan di bawah langsung berdiri, begitu pula dengan Aldric yang baru saja tiba dan melepas jasnya. Ia berlari menaiki tangga dua anak tangga sekaligus, menyusul ke kamar Arlena.

Saat Aldric masuk, ia melihat Mama menangis di sisi tempat tidur, tubuhnya bergetar.

Arlena terbaring kaku dengan wajah yang pucat, bibirnya sedikit kebiruan. Aldric langsung mendekat dan memeriksa denyut nadinya.

“Dia masih hidup... Tapi sangat lemah!” katanya tegas.

“Cepat panggil dokter! Sekarang juga!”

Dokter keluarga datang hanya dalam beberapa menit, segera melakukan pemeriksaan intensif.

Ia mengambil sampel darah Arlena, memeriksa pupil matanya, dan akhirnya mengangguk dengan wajah serius.

“Ini... bukan tidur biasa. Di tubuhnya ditemukan zat penenang dosis tinggi. Dia tidak akan bangun tanpa penanganan medis lanjut. Kita harus membawanya ke rumah sakit. Sekarang.”

Aldric mengangkat tubuh Arlena dengan hati-hati, memeluknya seakan melindungi dari dunia yang telah berulang kali menyakitinya.

“Siapa yang melakukan ini...” gumamnya dengan rahang mengeras.

Matanya menyapu seisi kamar. Saat ia melewati pelayan baru yang berdiri di lorong, ia sempat melirik tajam, merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi saat itu, Arlena adalah prioritasnya.

Mereka bergegas menuju rumah sakit, mobil melaju cepat membelah pagi yang dingin.

“Bertahanlah, Arlena. Aku janji akan menemukan siapa yang melakukan ini padamu.”

Sesampainya di rumah sakit, suasana semakin tegang.

Tim medis yang sudah bersiap langsung menyambut Aldric dan Arlena di pintu masuk unit gawat darurat.

Aldric turun dari mobil sambil menggendong tubuh Arlena yang masih tak sadarkan diri.

“ICU! Cepat buka jalan!” teriak salah satu perawat yang mendorong ranjang dorong menuju ruang Intensive Care Unit.

Aldric meletakkan Arlena dengan hati-hati ke atas ranjang.

Jari-jarinya enggan melepas genggaman tangan Arlena, seolah takut jika ia pergi lagi. Dokter menariknya perlahan,

“Kami akan berusaha sebaik mungkin dan sekarang anda harus menunggu di luar.”

Pintu ICU tertutup perlahan di depan matanya dan lampu merah di atas menyala

Aldric berdiri mematung di lorong rumah sakit. Mama Lena bersandar di dinding sambil menangis dalam pelukan Tuan Maxim.

Dena menyusul tak lama kemudian, wajahnya cemas, dan ia langsung memeluk Mama Lena dengan tenang.

Jarum jam dinding seolah tak bergerak, setiap kali langkah perawat terdengar di koridor, Aldric langsung berdiri, berharap kabar.

Di dalam ICU, Arlena terbaring lemah dengan berbagai alat medis melekat di tubuhnya.

Racun dosis tinggi yang masuk ke tubuhnya sedang dilawan dengan cairan infus dan penawar yang disuntikkan secara bertahap.

Di luar, Aldric duduk di bangku tunggu, kepalanya tertunduk di kedua tangannya.

“Kalau aku tidak lengah dan tidak meninggalkan dia semalam…” gumamnya lirih.

“Kita akan mencari siapa pun yang melakukan ini sampai mereka akan membayar lunas semua penderitaan Arlena.”

Aldric menganggukkan kepalanya dan ia berjanji akan mencari orang yang telah melukai calon istrinya.

Dua jam kemudian dimana suara alarm dari alat medis di ruang ICU meraung nyaring hampir memecah keheningan dan membuat semua orang yang menunggu di luar tersentak.

Seorang perawat berlari keluar dengan wajah panik.

“Pasien mengalami penurunan drastis! Kami butuh waktu!” katanya cepat.

Dokter memeriksa kondisi Arlena yang tiba-tiba mengalami penurunan saturasi oksigen dan tekanan darah.

Nafasnya melemah, denyut nadi tak stabil. Beberapa alat bantu mulai menggantikan fungsi tubuhnya yang perlahan menyerah.

Mama Lena menutup mulutnya dengan tangan, air mata mengalir deras.

Tuan Maxim menggenggam tangannya erat, berusaha menenangkan istrinya walau wajahnya sendiri mulai pucat.

“Kami akan terus berusaha, tapi... mohon siapkan kemungkinan terburuk. Jika beliau ingin bicara terakhir kalinya, saat ini mungkin waktunya.”

Seketika semua orang terdiam dan Dena menunduk, menutup mulutnya dengan tangis tertahan.

Mama Lena hampir roboh jika tidak dipeluk oleh Tuan Maxim.

Aldric yang duduk membeku, tiba-tiba berdiri. Matanya merah, air mata membasahi pipinya. Ia langsung menghampiri dokter.

“Saya ingin masuk. Saya mohon hanya sebentar.”

Langkah Aldric gemetar saat memasuki ruang ICU. Aroma antiseptik menusuk hidung, bunyi alat detak jantung berdetak lemah.

Di tengah ruangan, Arlena terbaring lemah, wajahnya pucat, matanya setengah terbuka. Selang dan alat medis hampir menutupi seluruh tubuh mungilnya.

“Arlena…” suara Aldric serak. Ia menggenggam tangan Arlena yang dingin dan rapuh.

Dengan sisa tenaga yang nyaris habis, Arlena menoleh sedikit, bibirnya bergerak pelan,

“Maafkan aku, aku tidak bisa bertahan lebih lama…”

Aldric menunduk, air matanya jatuh ke tangan Arlena.

“Jangan bicara seperti itu... Aku belum siap kehilanganmu. Aku tidak akan pernah siap!” suaranya naik, bergetar, penuh kepedihan.

“Sampai kapanpun aku tidak akan ikhlas…” bisik Aldric, menggenggam tangan Arlena lebih erat.

“Jangan pergi… kumohon…”

Tiba-tiba monitor jantung mengeluarkan bunyi tanda bahaya. Detaknya melemah… lalu—

“Tim medis masuk!” teriak dokter dari belakang Aldric.

Aldric tak bisa bergerak, tubuhnya membeku dan hanya bisa menatap wajah gadis yang ia cintai seolah jiwanya sedang direnggut perlahan dari hidupnya.

Wktu seakan berhenti bagi Aldric dan tidak ada yang bisa menggambarkan hancurnya perasaannya selain satu kalimat yang terus terngiang di benaknya:

“Aku mencintaimu, Arlena. Jangan tinggalkan aku!!"

1
Rohana Omar
up la 1 atu 2 bab baru hati nak bacanya....ni up 1 bab lepas tu tercari2 bab seterusnya......
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!