Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 | Si pengamat
Setelah pertemuannya dengan Galih, Alana masih saja bersikap cuek dan dingin. Hari-harinya dilalui seperti biasa. Hanya sekarang, Alana mulai jarang ke aula dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kedua sahabatnya di kantin.
Hingga suatu pagi, dia mendapat sebuah surat lagi di laci meja yang berisi permintaan maaf dan dapat dipastikan berasal dari Galih - kakak kelas yang telah menyatakan perasaannya, sesaat setelah mereka bertemu tatap.
Gila apa? Baru ketemu udah ngomong sayang? Ngeri bener tu cowok.
Alana merebahkan kepala di meja lalu perlahan memejamkan mata.
BRUKK!
Suara buku yang dijatuhkan tepat di meja Alana, membuat gadis itu terlonjak kaget.
Dengan geram, dia menoleh dan mendapati Gala tengah duduk di meja sebelah sambil tersenyum.
"HEH SETAN! LO ADA MASALAH APA SAMA GUE?"
Alana menggebrak meja dan menatap mata Gala dengan sorot tajam. Sedang teman-teman yang lain semakin terdiam mendengar suara Alana yang menggelegar dalam ruangan.
Bukannya takut, Gala bertepuk tangan lalu turun dari meja, mendekati wajah Alana lalu berbisik.
"Gue bener-bener nggak nyangka, ternyata lo sering berduaan sama cowok di aula. Hhh, pantes aja selalu buru-buru ngilang tiap istirahat."
Mendengar itu, jantung Alana serasa ingin loncat.
Kok makhluk ini tahu kalo gue ke aula? Trus soal cowok? Berarti ni kampret tahu juga tentang Galih?
Alana masih terdiam, namun batinnya begitu berisik.
Melihat lawannya terdiam, Gala semakin mendekat hingga hembusan napasnya terasa hangat di tengkuk si gadis.
"Udah sejauh mana lo sama Galih? Apa iya masih vir9in?"
PLAKK!!
Dengan sorot mata membara, Alana menampar wajah di hadapannya lalu menarik kerah baju Gala dengan kasar.
"Lo nggak berhak ikut campur, SETAN! Sekali lagi lo berani ganggu gue, gue pastikan hidup lo nggak bakal tenang!"
Alana melepas cekalannya lalu beranjak pergi, dia menerobos kerumunan di depan pintu.
Demi apa dia sampe ngomong gitu? Apa mereka saling kenal?
Langkahnya terhenti saat dari sudut mata, dia menangkap bayangan Galih yang berjalan ke arahnya.
Buru-buru Alana mengambil arah berbeda dan membuka sebuah pintu untuk sembunyi. Ternyata ruang penyimpanan barang olahraga dan di sana ada pak Cipto dan beberapa siswa tengah merapikan alat-alat.
"Ngapain kamu di situ?" Pak Cipto tertegun melihat Alana berdiri mematung di depan pintu. Gadis itu salah tingkah karena banyak pasang mata menatap ke arahnya sambil berbisik.
Siaall!!
Kenapa gue nggak liat dulu sih? Mereka kan kelas XII? Jangan-jangan Galih juga mau ke sini?
Belum berhenti dia memaki dalam hati, pintu bergerak maju membuat tubuh Alana sedikit terdorong.
"Alana? Kamu ngapain di sini?"
Yaps, benar saja. Galih dengan wajah penuh keringat, memasuki ruangan. Dia menatap gadis itu dengan kening berkerut, namun tak lama setelahnya bibir Galih tersenyum samar.
Tanpa menjawab, Alana bergegas keluar ruangan menuju toilet. Di sana dia membasuh wajah dan berdiri lama di depan cermin -merutuki kebodohannya.
Sementara di dalam kelas, Gala menyentuh pipi kirinya yang masih terasa panas. Beberapa cewek masih menatap tanpa kedip, sedang di luar kelas, masih saja riuh oleh berbagai komentar atas kekacauan tadi.
"Gala, ke UKS yuk. Biar diobatin, takut nanti bengkak." Bella sudah berdiri di samping meja sambil tangannya terulur memberikan sapu tangan. Gala terus mengobrol dengan teman-temannya tanpa sedikit pun menoleh ke arah Bella.
Di tempat duduknya, Sisi menatap kesal. Dia memukul meja namun teredam oleh tas di sana.
"Ngapain tu cewek gatel? Sok care aja, emang ya kudu dikasih pelajaran tu ulet bulu." Lirikan tajam Sisi membuat Vio segera mengusap punggung temannya.
"Si, jangan aneh-aneh. Tuh liat, Gala aja nggak noleh sama sekali."
Sisi terdiam, lalu Vio mengajak temannya ngobrol dengan topik lain.
Sementara itu di dalam toilet, Alana masih berdiri dengan wajah basah. Satu per satu bilik kini terisi, membuatnya tak lagi sendiri.
Mereka menyapa Alana lalu kembali pergi, takut cewek itu kembali kesurupan seperti waktu lalu.
Gue harus apa? Malu banget sumpah! Mana banyak yang liat tadi. Ke kelas juga males banget liat makhluk astral itu, oh ... SIALL!!
Namun, detik berikutnya dia tersenyum lalu melangkah keluar.
Kini, Alana tengah berbaring di ranjang UKS dan ketika seorang penjaga datang, dia buru-buru memasang wajah melas seakan dirinya benar-benar sakit.
Tak lupa dia memberitahu kedua sahabatnya via chat agar tak dianggap bolos di pelajaran selanjutnya.
Sambil rebahan, kejadian malam itu justru kembali muncul dalam ingatan. Alana menghela napas lelah juga amarah yang membuatnya sesak.
Bagaimana tidak, malam itu sang ayah bersama temannya sengaja dinner di rumah. Diam-diam Alana melihat Bastian atau papanya mencuri pandang pada tamu wanita yang malam itu memakai pakaian sexy dengan belahan dada yang cukup mencolok.
Emang Papa aja yang mata keranjang, bener-bener nggak bisa dimaafin. Kasian Mama kalau sampai tahu.
Alana coba memejamkan mata untuk menghapus memori buruk yang terus melintas dalam benaknya.
Tak lama kemudian, pintu UKS terbuka, menampilkan wajah yang membuat amarah Alana kembali naik ke permukaan.
"Halo ratu singa, ngapain lo di sini? Sakit? Lo bisa sakit juga?"
Si gadis mendengus dan mengambil posisi miring menghadap dinding. Menyelimuti tubuhnya hingga sebatas bahu, lalu menutup telinga dengan sebuah bantal.
Gala yang baru datang, tersenyum kecil melihat tingkah Alana. Perlahan dia mendekat lalu menarik penutup telinga itu dan berbisik.
"Gara-gara lo, wajah ganteng gue ternodai. Lo kudu tanggung jawab ngobatin sampe sembuh."
Si gadis cepat berbalik dan ...
PLAK!!
Gala mengaduh, tak disangka dia akan kembali mendapat 'kecupan' panas di pipinya. Alana hanya diam dan kembali pada posisi awal, mengabaikan Gala yang merintih sambil mengusap kedua pipinya yang merah.
Emang dasar cewek siluman! Dasar gila!
Gala mengambil handuk kecil dan mengompres pipi sambil duduk menghadap tubuh Alana yang membelakanginya.
Sebelum ke UKS, masih di ruang kelas. Gala tak menghiraukan ajakan Bella. Dia tetap haha hihi meski pipinya terasa panas.
Sampai pada saat guru datang dan Sisi menjawab kala ditanya soal Alana, buru-buru dia berjalan maju dan meminta ijin.
"Heh siluman! Lo kudu ati-ati sama Galih, dia ngincer lo dari lama. Lo juga kudu ngerti, kalo dia bukan sembarang kakak kelas."
Gala diam menanti respons Alana. Tunggu punya tunggu, tubuh itu tetap pada posisinya, terdengar dengkuran halus dibalut napas yang teratur.
"Dasar cewek gila, diajak ngobrol malah molor. Bener-bener nggak punya adab!"
Gala beringsut ke atas ranjang sebelah lalu merebahkan tubuhnya membelakangi Alana. Hatinya kesal, isi kepalanya begitu berisik hingga dia mengikuti langkah cewek di sampingnya -menutup telinga dengan bantal.
Sedang Alana tersenyum sinis menghadap dinding, hatinya puas karena telah membuat cowok itu jengkel.
Siapa suruh gangguin gue, lagian ngapain tu setan ke sini sih?
Alana coba memejamkan mata, namun bayangan papa dan wanita itu kembali terlihat jelas di pelupuk mata. Puncaknya saat mereka berpamitan pulang, Alana melihat dengan jelas tangan Bastian memberikan sesuatu pada si wanita lalu mengangkat tangan ke telinga -kode untuk menghubungi.
ARRGGGHH!! Kenapa gue harus jadi anaknya? Kenapa, Tuhan? Apa salah Mama, sampai hati ditikam halus seperti ini?
Alana terisak, hatinya begitu sakit. Di saat yang sama, tubuhnya juga merasa ada yang salah. Dia teringat dr. Rian dan beberapa nasehat darinya.
Tuhan, tolong beri aku satu kesempatan lagi untuk menyelamatkan Mama dari laki-laki macam Papa. Jangan dulu ambil nyawaku sebelum semua kebusukan Papa mampu kubongkar. Aku sayang Mama, Tuhan. Aku nggak mau Mama terus dipermainkan seperti ini.
Air mata Alana mengalir dan jatuh membasahi bantal tempatnya merebahkan kepala. Rasa sakit itu membuat dia melupakan sekitarnya termasuk Gala yang kini menatapnya dengan kening berkerut.
Lo kenapa, Na? Kenapa lo nangis gitu? Luka apa yang lo simpen sendiri?
Gala masih mengamati tubuh Alana yang bergetar diiringi isak tangis tertahan.
*