Aku yang menyimpan setiap cerita dalam diamku. menuangkan setiap rasa pada pena didalam kertas putihku. Aku yang takut kamu tahu, meski aku ingin kamu melihat aku yang menyimpan rasa kepadamu. Sampai kapan aku harus menunggu atau menyimpannya dalam diamku dan merelakanmu bahagia atas rasa dihatimu.
setiap hari dipinggir danau ini aku menunggunya.. ditemani gitar tua peninggalan ayah, yang selalu mengiringi suaraku dan dia saat bernyanyi..
ibarat kaca hatiku telah pecah berkeping-keping .. seperti petir yang menyambar disiang hari .. saat mendengar ceritanya .. dia yang mencintai sseorang dan itu bukan aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Uswatun Khasanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Bersama bukan berarti memiliki
Aku menaruh kotak bekal dan kembali keluar kelas untuk mencari Arfan. Entah, tapi itu yang hatiku mau. Aku menemukannya di tempat favorite kita, pohon rindang di belakang sekolah.
Dia duduk dengan tenang, memejamkan mata. Kepalanya dibiarkan menatap kearah langit, kedua lengannya saling menggenggam diatas perutnya. Kakinya lurus tersilang.
Aku tak ingin mengganggunya, tapi aku ingin menghampirinya. Aku ingin sekali berbicara dengannya. Aku ingin sekali hatiku tenang bersama dengannya. Aku duduk disampingnya sambil menatapnya. Aku berusaha sepelan mungkin agar dia tidak sadar aku datang di sampingnya.
Baru saja aku duduk, matanya langsung terbuka dan melirik ke arahku. Lagi- lagi dia tersenyum kepadaku. Dia langsung duduk tegak menghadapku sambil tersenyum.
"ada apa ?" Tanyanya.
"harus ya ada apa-apa kalo gue nemuin lo ?" Ucapku memalingkan tubuhku lurus kedepan.
"ngga juga. Kali ada yang mau disampein ?."
"ngga. Pengen ajah sama lo, biasanya lo yang bisa mengembalikan suasana hati gue. Bisa bikin gue seneng lagi." Jelasku.
"terus siapa yang bikin gue seneng kalo suasana hati gue lagi ngga bagus ?" Tanyanya sambil melipat tangan didepan dan memanyunkan bibirnya.
"gue lah. Kan lo seneng katanya kalo sama gue." Ucapku.
"emang gue bilang begitu ?"
"iya.."
"ngga.."
"iya.." Kataku sambil mengelitiki pinggangnya.
Aku dan dia asik bercanda di halaman belakang sekolah, melupakan apa yang telah terjadi dan tanpa memikirkan apa yang sedang terjadi saat ini di sudut sekolah yang lain.
Mungkin cukup bagi ku untuk berharap kepada Reska, menginginkan lebih seperti yang aku inginkan. Reska hanya hiasan didalam kisahku saat ini , bukan keindahan yang bisa kumiliki. Aku ingin mencoba fokus mengatur rasaku, menghapus harapan yang ku tata dengan rasa dihatiku untuk Reska.
Mungkin kehadiran Risky adalah pelajaran untukku, merelakan Reska di waktu yang lebih cepat. Setelah kelulusan, mungkin saja aku benar-benar tidak lagi bersama dengan Reska. Aku pasti akan butuh waktu untuk terbiasa. Mungkin ini saatnya.
Setelah kejadian hari itu, Reska benar- benar tak menggangguku. Bahkan untuk berangkat sekolah bersamapun, tidak. Aku banyak menghabiskan waktu bersama dengan Arfan. Namun disela- sela kebersamaanku, canda tawaku dengan Arfan. Aku masih terbayang saat bersamaku dengan Reska.
Sudahku bilang, tidak semudah itu untuk bisa terbiasa tanpanya. Karena hari-hariku selalu dipenuhi olehnya. Dari pagi hingga malam hari.
Aku rasa hubungan Reska dan Risky membaik, mereka terlihat bersama lagi. Nampaknya Risky lebih bahagia dan tenang dari sebelumnya. Mereka menelusuri lorong dengan tawa bahagia. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dan mengharapkan hubungan baikku sebelumnya dengan Reska bisa tetap sama. Nyatanya aku harus menerima, aku kalah darinya.
Memang sudah seharusnya, suatu saat pun Reska akan menemukan pendamping hidupnya begitupun dengan diriku.
"susu strawberry, khusus gue bawain dari kantin buat lo." Ucap Arfan yang menghampiriku di bangku halaman belakang sambil memberikan susu strawberry didalam botol kaca.
"kalo khusus tuh langsung dari sapinya atau dari luar negeri gitu. Ini tuh ngga ada khusus- khususnya kalo dari kantin mah." Ucapku protes.
"emang ada sapi yang ngeluarin susu strawberry ?" Tanyanya.
"ada ! Kalo dia makan buah strawberry."
"wow , canggih juga."
"itu rasa apa ?" Tanyaku.
"pisang. Mau ?"
Aku menganggukkan kepala. Dan menukar sebotol susu milikku dengan milik Arfan.
"tadi gue ketemu reska."
"gue juga tiap hari ketemu di kelas."
"dia nanyain, keadaan lo."
"emang ngga bisa liat sendiri gue baik-baik ajah tiap hari masuk sekolah." Balasku.
"dia minta gue untuk jagain lo, untuk selalu ada buat lo."
"ngga usah diturutin."
"tanpa dia minta, gue akan lakuin kok atas keinginan gue sendiri." Jelasnya.
Aku menatapnya selepas menenggak susu terakhirku.
"enak juga rasa pisang."
Arfan tersenyum memandangi botol yang digenggamnya.
"fan.." ucapku.
Dia menoleh sambil tersenyum.
"gue tau rasanya jadi lo, pasti ngga enak banget ya. Gue minta maaf banget, gue jahat banget ya sama lo ? Gue egois banget pengen tetap berteman sama lo."
"lo ngga jahat, lo ngga egois. Karena ini juga menjadi bagian dari keinginan gue untuk bisa deket sama lo. Itu udah cukup." Balasnya.
"oke, istirahat selesai waktunya kita balik ke kelas. Yuk." Ucapnya sambil menghela nafas dan berdiri.
"thank you, arfan." Ucapku pelan.
"laury, jangan merasa terbebani dengan apapun yang gue lakuin. Itu atas kemauan gue dan lo ngga ada salah apapun. Inget itu." Ucapnya sambil membungkuk dihadapanku.
Aku merasa beruntung ada dua lelaki yang menyayangiku dan begitu peduli terhadapku. Begitu menjagaku disaat orang tua ku jauh dariku. Mereka membuatku merasa memiliki mereka, meskipun mereka bukanlah milikku seutuhnya.
Disaat Tuhan memberikan Reska kisah cinta yang seharusnya dia dapatkan. Tuhan juga mengirimkan Arfan untukku agar aku tak merasa kehilangan. Meskipun Arfan tak bisa menggantikan Reska, tapi dialah yang mengisi kekosonganku tanpa adanya Reska.
Meskipun aku merasa bersalah atas rasa didalam hatinya. Aku tau karena aku pernah merasakannya dan pernah ada di posisinya. Arfan, aku berharap suatu saat rasamu dapat terbalas. Entah kapan aku harus menata hatiku sampai dapat bisa menerima perasaanmu. Jika rasa itu masih untukku.
Aku akan turut bahagia jika belum sampai saat itu kamu lebih dulu menemukan cintamu yang baru. Yang bisa mencintaimu lebih dari aku yang masih belajar untuk mencintaimu.
Waktu pulang sekolah tiba. Aku berjalan dipinggir trotoar. Aku melihat Reska yang membonceng Risky. Dia lewat tanpa menoleh kearahku. Risky memeluk Reska sambil tersenyum sinis kepadaku. Aku merasa aneh, dia tidak seharusnya memamerkan itu kepadaku. Mungkin dia merasa menang dariku karena Reska lebih memilihnya daripada aku.
Aku memberhentikan langkahku dan menatap mereka yang semakin menjauh. Tak disangka, Arfan juga baru keluar dari sekolah dan berhenti di hadapanku.
"ayo, naik. Gue anter." Ajak Arfan.
Aku tersenyum bahagia, karena pulang sekolahku terasa menyenangkan. Bisa berjalan-jalan bersama dengan teman. Arfan tak langsung mengantarku pulang, dia mengajakku berkeliling dan makan siang.
"oh iya, besok gue jemput lo ya. Siap - siap jangan sampai telat." Ucap Arfan.
Mengingat besok adalah LDKS akan dilaksanakan. Aku dan teman - teman lain yang menjadi osis harus datang lebih pagi untuk mempersiapkan semua.
Siang ini aku berjalan-jalan bersama dengan Arfan untuk mencari keperluan besok. Aku membeli beanie hat (topi kupluk untuk menghangatkan kepala). Aku memilihnya dengan bahagia. Kita memilih warna yang sama, yaitu biru muda.
"bagus kan ? Cerah ? Jadi kelihatan kalau malam." Ucapku.
"siap." Balas Arfan sambil mengacungkan jempol.
"apa lagi ?"
"ngga tau." Sahutku.
"sepatu ?" Tanyanya.
"serius ?" Tanyaku dengan wajah ceria.
Dia menganggukan kepala.
Kita sampai di toko sepatu dan mencoba beberapa model sambil tertawa bersama. Aku melalui hari ini dengan bahagia dan melupakan luka hatiku. Kita menemukan sepatu yang cocok dan senada dengan topi yang kita beli.
"oke ?"
"oke !" Balasnya.
Aku hendak mengeluarkan uang untuk membayar namun ditahan oleh Arfan.
"gue aja yang bayar."
"terimakasih." Ucapnya kepada kasir.
"yuk." Dia menggenggam tanganku sambil berjalan keluar toko.
"nih." dia memberikan ku satu kantong plastik berisikan dus sepatu yang baru saja dibeli.
"pakai ya besok." Pintanya.
"thank you loh." Ucapku.
"urwel." Balasnya dengan senyuman.
.
.
.